Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

KH Hasyim Asy’ari: Ulama, Guru Bangsa dan Penyeru Jihad Melawan Penjajahan

Widi Kusnadi Editor : Arif R - 17 detik yang lalu

17 detik yang lalu

0 Views

foto KH Hasyim Asyari (wiki)

DALAM perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, selalu ada sosok yang tidak hanya hidup untuk dirinya, tetapi menjadi cahaya penerang dan suluh bagi masyarakat pada masanya. KH Hasyim Asy’ari adalah salah satunya. Beliau bukan sekadar sosok ulama, tetapi juga penggerak, guru bangsa, dan pemantik api perlawanan terhadap penjajahan.

Dalam masa perjuangan melawan penjajahan, ketika Indonesia berada di bawah cengkeraman kolonial, suaranya bergema lantang, menggetarkan hati umat. Beliau menyerukan fatwa jihad melawan penjajahan sebagai prinsip kemerdekaan. Fatwa itulah yang kelak menjadi salah satu titik balik perjalanan bangsa menuju kebebasan dan kedaulatan.

KH Hasyim Asy’ari lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 14 Februari 1871. Dari kecil ia sudah ditempa dengan tradisi pesantren yang kuat, dididik dalam suasana religius dan penuh disiplin. Beliau menuntut ilmu ke berbagai pesantren di Jawa, lalu memperdalam ilmunya hingga ke Tanah Suci Makkah, Saudi Arabia.

Sekembalinya ke tanah air, KH Hasyim mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng, yang kemudian menjadi salah satu pusat pendidikan Islam terbesar dan berpengaruh di Nusantara. Dari tempat inilah lahir para generasi ulama, pejuang, dan pemimpin bangsa.

Baca Juga: Syekh Muhammad Amin al-Husaini: Mufti Palestina dalam Jejak Sejarah Kemerdekaan Indonesia

Kiprahnya tidak hanya terbatas di bidang pendidikan. KH Hasyim juga menjadi penggerak organisasi Islam terbesar di tanah air, Nahdlatul Ulama (NU), yang didirikannya pada 1926 silam.

NU kemudian tumbuh menjadi wadah perjuangan umat, menjaga tradisi, meneguhkan akidah, dan kelak menjadi benteng perlawanan terhadap kolonialisme. Sebagai Rais Akbar NU, KH Hasyim meletakkan dasar perjuangan yang kokoh: cinta tanah air adalah bagian dari iman, dan kemerdekaan adalah hak semua bangsa yang harus diperjuangkan.

Puncak dari peran besarnya tercermin dalam fatwa jihad yang beliau keluarkan pada 22 Oktober 1945. Saat itu, pasukan Belanda yang membonceng NICA berusaha kembali menancapkan kuku kolonial di bumi Indonesia.

Mendengar kabar tersebut, KH Hasyim mengeluarkan resolusi jihad melalui Muktamar NU di Surabaya. Isi fatwa itu tegas: melawan penjajah hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap Muslim di daerah yang terancam, dan fardhu kifayah bagi yang berada di daerah sekitar. Kata-kata itu meledak bagai petir di tengah langit perlawanan, membakar semangat rakyat untuk angkat senjata.

Baca Juga: Kontribusi dan Pemikiran Soekarno untuk Palestina

Fatwa jihad ini tidak lahir dari ruang hampa. Ia lahir dari keyakinan mendalam KH Hasyim Asy’ari bahwa penjajahan adalah bentuk kezaliman, dan melawannya adalah perintah agama.

Beliau memandang bahwa kemerdekaan bukan semata cita-cita politik, tetapi bagian dari ibadah, bagian dari penghambaan manusia kepada Allah Ta’ala. Dalam pandangan KH Hasyim, membiarkan bangsa dijajah sama saja dengan membiarkan agama dan martabat diinjak-injak bangsa asing dan kaum Kuffar.

Respon masyarakat terhadap fatwa ini luar biasa. Dari Surabaya hingga seluruh pelosok Jawa, para santri, kiai, dan rakyat biasa berbondong-bondong mengangkat senjata. Pertempuran 10 November 1945 yang dikenang sebagai Hari Pahlawan adalah buah dari fatwa jihad tersebut.

Ribuan pejuang gugur, tetapi darah mereka menjadi pupuk bagi tegaknya kemerdekaan Indonesia. Tanpa fatwa KH Hasyim, mungkin semangat perlawanan itu tidak akan sedemikian membara.

Baca Juga: Laksamana Malahayati Lulusan Akademi Baitul Maqdis Aceh

Prinsip hidup KH Hasyim Asy’ari berakar pada kesederhanaan, keikhlasan, dan keberanian. Beliau dikenal sebagai sosok yang tawadhu, tetapi tegas dalam prinsip. Slogan yang selalu ia tegakkan adalah “Hubbul wathan minal iman” — cinta tanah air adalah bagian dari iman.

Ungkapan ini bukan sekadar kata indah, melainkan pegangan hidup yang mengikat iman dengan perjuangan, menghubungkan agama dengan tanah air.

Dalam dakwahnya, KH Hasyim menekankan pentingnya akhlak, ilmu, dan amal. Ia percaya bahwa ilmu tanpa akhlak akan membawa kerusakan, sementara akhlak tanpa ilmu akan kehilangan arah.

Ia juga menekankan persatuan, karena hanya dengan persatuan umat Islam dapat melawan penjajahan yang memecah belah. Prinsip-prinsip inilah yang kemudian diwariskan kepada generasi penerusnya, dan hingga kini masih menjadi fondasi perjuangan umat Islam Indonesia.

Baca Juga: Terima Kasih, Ali Taher: Wartawan Palestina untuk Merdeka yang Kita Nikmati Hari Ini

Banyak tokoh bangsa memberikan penghormatan tinggi kepada KH Hasyim Asy’ari. Bung Karno pernah menyebut beliau sebagai “benteng moral bangsa” yang suaranya menggema dalam hati rakyat.

Sementara KH Wahid Hasyim, putra beliau yang juga pejuang dan Menteri Agama pertama Indonesia mengatakan bahwa ayahnya adalah sosok yang selalu memandang perjuangan dengan kacamata keimanan, bukan sekadar politik. Ulama-ulama besar pun mengakui wibawanya, menjadikan fatwanya sebagai pegangan umat.

KH Hasyim Asy’ari adalah contoh nyata bagaimana agama dan kebangsaan berjalan seiring, bagaimana iman melahirkan keberanian, dan bagaimana fatwa seorang ulama dapat mengubah jalannya sejarah.

Beliau tidak hanya meninggalkan warisan berupa pesantren, organisasi, atau karya fisik lainnya, tetapi juga semangat yang terus menyala hingga kini, semangat melawan ketidakadilan, semangat menjaga martabat bangsa, dan semangat menjadikan iman sebagai dasar perjuangan.

Baca Juga: Kisah Aep, 20 Tahun Lebih Jadi Pedagang Perabot Dapur

Membaca perjalanan KH Hasyim, kita belajar bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang dibayar mahal. Fatwa jihadnya adalah bukti bahwa agama selalu berdiri di pihak kebenaran dan keadilan.

Di tengah zaman yang berubah, pesan beliau tetap relevan. Umat yang beriman harus berani, umat yang bersatu tidak akan dikalahkan, dan cinta tanah air adalah bagian dari iman.

Jika hari ini kita merasakan nikmat kemerdekaan, jangan lupa ada doa dan darah para santri, ada tekad para kiai, dan ada fatwa jihad KH Hasyim Asy’ari yang mengobarkan semangat perlawanan.

Dari Tebuireng, Jombang, dari hati seorang ulama yang ikhlas, lahirlah api perjuangan yang membakar semangat seluruh bangsa. Api itu tidak boleh padam, sebab ia adalah cahaya yang akan terus menuntun kita menjaga dan mengisi kemerdekaan dengan iman, ilmu, dan persatuan. []

Baca Juga: Jejak Fatimah Adawiyah, Keliling Jabodetabek untuk Mengajarkan Al-Quran

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda