Khilafah, Kekuasaannya Atas Karunia Allah (Kajian QS An-Nur Ayat 55)

(Foto: Zaenal/MINA)

Oleh : KH. Arief Hizbullah, MA., Pengasuh Pondok Pesantren Shuffah Hizbullah Al-Fatah Maos, Cilacap, Jawa Tengah

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan mengerjakan amal saleh, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai (). Dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barang siapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur; 24:55)

Asbābun Nuzūl

 Ibnu Jarîr ath-Thabari rahimahullâh (wafat: 310-H) mengatakan:

وَذُكُرُ أَنَّ هَذِهِ الْآيَةُ نَزَلَتْ عَلَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ أَجْلِ شَكَايَةً بَعْضِ أَصْحَابِهِ إِلَيْهِ فِي بَعْضِ الْأَوْقَاتِ التِّي كَانُوا فِيْهَا مِنَ الْعَدُوِّ فِي خَوْفٍ شَدِيْدٍ مِمَّا هُمْ فِيْهِ مِنَ الرُّعْبِ وَالْخَوْفِ، وَمَا يُلَقُّوْنَ بِسَبَبِ ذ۠لِكَ مِنَ الْأَذَى وَالْمَكْرُوْهِ

“Disebutkan bahwa ayat ini turun kepada Rasulullâh dikarenakan keluh kesah sebagian sahabat beliau pada beberapa kejadian memilukan yang menimpa mereka dari pihak musuh, berupa rasa takut yang mencekam dan menteror, berupa gangguan dan hal-hal menyusahkan yang mereka jumpai karena kejadian-kejadian memilukan tersebut.” [Tafsîr ath-Thabari: 19/209[1]]

Imâm as-Sam’âni asy-Syâfi’i rahimahullâh (wafat: 489-H) mengatakan:

وَذْكُرُ بَعْضِ أَهْلُ التَّفْسِيْرِ: أَنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ تَمْنُوْا أَنْ يُظْهَرُوْا عَلَى مَكَّةَ، فَأنْزَلَ اللهِ تَعَالَى هَذِه الْآيَةِ

“Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa para Sahabat Rasulullâh r berangan-angan untuk menguasai Makkah (yang saat itu tengah dikuasai oleh orang-orang musyrik), maka Allah menurunkan ayat ini.” [Tafsîr as-Sam’âni: 3/544[2]]

Makna Kalimat

a) Ibnu Jarîr ath-Thabari menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “wa’amilush shâlihât” dalam ayat ini adalah:

(وَأَطَاعُوْا اللهَ وَرَسُوْلًهُ فِيْمَا أَمْرَاهُ وَنًهْيَاهُ)

“mereka menaati Allah dan Rasul-Nya pada perkara yang diperintahkan dan perkara yang dilarang oleh keduanya.” [lihat Tafsîr Ath-Thabari: 19/209]

Syarat suatu amal dikategorikan sebagai amal soleh adalah:

  1. Amal tersebut harus dilaksanakan secara ikhlas.
  2. Amal tersebut sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah.

b) Makna (لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ) adalah (لِيُوَرِّثَنَّهُمُ اللهَ أَرْضٌ الْمُشْرِكِيْنَ مِنَ الْعَرَبِ وَالْعَجْمِ، فَيَجْعَلَهُمْ مُلُوْكَهَا وَسَاسِتَها); “Allah akan mewariskan kepada mereka (orang-orang yang beriman dan beramal shaleh) negeri orang-orang musyrik dari kalangan Arab maupun Non-Arab, lantas mereka menjadi penguasa-penguasa di negeri tersebut.”

c) Makna (وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ) adalah (وَلِيُوْطَئَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمْ، يَعْنِي: مِلَّتَهُمْ الَّتِي اِرْتَضَاهَا لَهُمْ، فَأَمْرُهُمْ بِهَا); “Allah akan mengokohkan pijakan agama mereka, yaitu agama mereka yang diridhai Allah untuk mereka, yang diperintahkan oleh Allah untuk beragama dengannya (yaitu Islam).”

d) Makna (وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ) adalah (وَلِيُغَيِّرَنَّ حَالُهُمْ عَمَّا هِيَ عَلَيْهِ مِنَ الْخَوْفِ إِلَى الأَمْنِ); “Dan Allah akan menggantikan keadaan mereka dari ketakutan menjadi aman.”

e) Dalam Tasîr ath-Thabari disebutkan bahwa makna (يَعْبُدُوْنَنِيْ) adalah (يُخَضِعُوْنَ لِي بِالطَّاَعَةِ وَيُتَذْلِلُوْنَ لِأَمْرِي وَنَهْيِي); “Mereka menundukkan diri pada-Ku dengan ketaatan, dan mereka menghinakan diri di bawah perintah-Ku dan larangan-Ku.” Mujahid rahimahullâh mengatakan: (يَعْبُدُوْنَنِيْ) yaitu

 (لاَ يُخَافُوْنَ غَيْرِي)

“Mereka tidak takut kepada selain-Ku.”

f) Makna (لاَ يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا) adalah (لاَ يُشْرِكُوْنَ فِي عِبَادَتِهِمْ إِيَّايَ الأَوْثَانِ وَالْأَصْنَامِ وَلاَ شَيْئًا غَيْرَهَا، بَلْ يُخَلِّصُوْنَ لِي الْعِبَادَةِ فَيُفَرِّدُوْنَهَا إليَّ دُوْنَ كُلَّ مَا عَبْدٌ مِنْ شَيْءٍ غَيْرِي); “Mereka tidak menyekutukan Aku dalam peribadatan mereka kepada-Ku dengan sesuatu apapun seperti berhala dan patung-patung, akan tetapi mereka memurnikan peribadatan hanya untuk-Ku. Mereka mengkhususkan ibadah tersebut hanya untuk-Ku, tidak untuk segala macam sesembahan selain-Ku.”

Al-Qur’ân menegaskan bahwa penyebab utama rasa takut yang merasuki orang-orang yang tidak beriman kepada Allâh adalah semata-mata karena kesyirikan mereka. Allâh berfirman:

سَنُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ بِمَا أَشْرَكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَأْوَاهُمُ النَّارُ وَبِئْسَ مَثْوَى الظَّالِمِينَ

“Kami akan campakkan rasa takut ke dalam hati orang-orang kafir, disebabkan mereka telah berbuat syirik kepada Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak pernah menurunkan keterangan tentangnya. Tempat kembali mereka adalah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal bagi orang-orang yang zhalim.” [QS. Ali ‘Imran; 3:151]

نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ عَلَى الْعَدُوِّ

“Aku (Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam) ditolong (oleh Allah dengan dicampakkannya rasa takut di hati) musuh-musuhku.” [Shahih Muslim no. 523].

Maksud Ayat

Para ulama tafsir menjelaskan bahwa dalam ayat yang mulia ini, sebenarnya terdapat sumpah Allah yang tersirat dari ungkapan “layastakhlifannahum….dst” yang diistilahkan oleh pakar bahasa al-Qur’an sebagai jawâbul-qasm (jawaban sumpah). Lalu apa sumpah Allah tersebut? Dia bersumpah akan menjadikan orang-orang yang beriman dan beramal shalih sebagai khalifah (penguasa) di muka bumi yang akan mengatur dunia dengan syari’at-Nya.

Dia telah membuktikan sumpah tersebut pada umat-umat sebelumnya, saat Dia menganugerahkan kekuatan dan kekuasaan kepada Sulaiman dan Daud ‘alaihimassalâm, dankepada Bani Isrâîl saat mereka berhasil mengambil alih kekuasaan dari tangan-tangan Raja yang zalim di Mesir dan Syam. Dia juga bersumpah akan menjadikan Islam sebagai agama yang kokoh dan mengungguli agama-agama lainnya. Rasa aman akan tercipta, dan akan menggantikan ketakutan yang menyelimuti kaum muslimin.

Namun janji Allah tersebut ada syaratnya. Dalam ayat yang agung ini, setidaknya disebutkan ada tiga syarat yang harus terpenuhi agar janji-janji Allah di atas bisa terwujud: pertama; iman dan amal shalih, kedua; beribadah hanya untuk Allah (tauhid), dan ketiga; menjauhi syirik dengan segala ragamnya, termasuk beramal dengan maksud selain Allah.

Kemudian barangsiapa yang kufur nikmat (dengan meninggalkan syarat-syarat di atas) setelah anugrah kejayaan dan keamanan umat tersebut diraih, maka merekalah orang-orang yang fasik, yang telah keluar dari ketaatan kepada Allah dan telah berbuat kerusakan.

Janji Tersebut telah Terwujud

An-Nahhâs rahimahullâh menjelaskan bahwa janji Allah dalam ayat tersebut sudah ditunaikan di masa hidup Rasulullâh. Terbukti dengan penaklukan kota Makkah dan berbondong-bondongnya manusia di jazirah Arab memeluk Islam [lih. Tafsîr al-Qurthubi: 12/297].

Mufassir yang lain mengatakan bahwa ayat ini adalah dalil atas kekhalifahan Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsmân, dan ‘Ali radhiallâ’anhum jamî’an. Dengan kata lain, janji Allâh dalam ayat ini terwujud dan eksis pada masa kekhalifahan mereka. Karena merekalah kaum yang telah beriman kepada Allâh dengan sebenar-benar Iman, merekalah generasi terbaik dalam menegakkan ibadah dan amal shalih, menyembah hanya kepada Allâh secara totalitas lahir dan batin. Demikianlah pendapat adh-Dhahhâk rahimahullâh Sehingga tidak salah jika Abul ‘Âliyah rahimahullâh mengatakan, ketika menafsirkan siapa orang-orang yang dimaksud dalam ayat ini:

هُمْ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Mereka adalah para Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.” [Tafsir Ibnu Abi Hatim: 8/2627, no. 14760].

‘Abdurrahmân bin ‘Abdilhamîd al-Mishri rahimahullâh mengatakan:

عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَبْدِ الْحَمِيدِ الْمِصْرِيَّ، يَقُولُ: أَرَى وِلايَةَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، يَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأَرْضِ الآيَةَ.

“Saya melihat kekhilafahan Abu Bakar dan ‘Umar radhiallâhu’anhumâ ada termaktub dalam Kitâbullâh ‘azza wa jallâ, yaitu dalam ayat: ‘Wa’adallâhulladzîna âmanû minkum….dst” [Tafsir Ibnu Abi Hatim: 8/2628, no. 14764]

Ibnul ‘Arabî rahimahullâh mengatakan:

وَإِذَا لَمْ يَكُنْ هَذَا الْوَعْدُ لَهُمْ نَجَزَ، وَفِيهِمْ نَفَذَ، وَعَلَيْهِمْ وَرَدَ، فَفِيمَنْ يَكُونُ إِذًا؟ وَلَيْسَ بَعْدَهُمْ مِثْلُهُمْ إِلَى يَوْمِنَا هَذَا، وَلَا يَكُونُ فِيمَا بَعْدَهُ

“Jikalau janji (dalam ayat) ini bukan untuk mereka (para Sahabat), tidak tertunaikan pada mereka, dan tidak datang untuk mereka, maka kepada siapa lagi kalau begitu? Sementara tidak ada satupun yang mampu menyamai mereka sampai hari ini, dan tidak pula di masa depan.” [Tafsîr al-Qurthubi: 12/297]

Janji tersebut terus berlaku bagi siapa saja yang memenuhi syarat

Para ulama ahli tafsir seperti al-Qurthubi rahimahullâh (wafat: 671-H) berpendapat bahwa janji Allâh dalam ayat tersebut berlaku umum untuk seluruh umat Muhammad. Dalam tafsirnya berliau mengatakan:

هَذِهِ الْحَالُ لَمْ تَخْتَصَّ بِالْخُلَفَاءِ الْأَرْبَعَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ حَتَّى يُخَصُّوا بِهَا مِنْ عُمُومِ الْآيَةِ، بَلْ شَارَكَهُمْ فِي ذَلِكَ جَمِيعُ الْمُهَاجِرِينَ بَلْ وَغَيْرُهُم… فَصَحَّ أَنَّ الْآيَةَ عَامَّةٌ لِأُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرُ مَخْصُوصَةٍ.

“Janji Allâh ini tidak terbatas hanya untuk Khulafâ-ur Râsyidîn radhiallâhu’anhum saja, sampai harus dikhususkan dari keumuman ayat. Bahkan segenap Muhâjirîn dan kaum muslimin yang lain juga masuk dalam janji-janji ayat ini (tentu saja jika syarat-syaratnya terpenuhi-pen)… sampai pada ucapan beliau… Maka pendapat yang shahih adalah bahwa ayat ini berlaku umum untuk umat Muhammad r , tidak bersifat khusus (untuk generasi tertentu dari umat ini-pen).” [Tafsîr al-Qurthubi: 12/299]

Al-Imâm As-Sa’di rahimahullâh (wafat: 1376-H) mengatakan:

وَلاَ يَزَالُ الْأَمْرِ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةٍ، مُهِمًّا قَامُوْا بِالْإِيْمَانِ وَالْعَمَلِ الصَّالِحِ، فَلَّا بُدَّ أَنْ يُوْجَدُ مَا وَعَدَهُمُ الله، وَإِنَّمَا يُسَلِّطُ عَلَيْهِمُ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِيْن، ويُديلهم فِي بَعْضِ الْأَحْيَانِ، بِسَبَبِ إِخْلَالِ الْمُسْلِمِيْنَ بِالْإِيْمَانِ وَالْعَمَلِ الصَّالِحِ.

“(Janji Allâh dalam ayat ini) akan senantiasa berlaku sampai hari kiamat, selama mereka (kaum muslimin) menegakkan iman dan amal shalih. Diraihnya apa yang telah dijanjikan Allâh, adalah sebuah kepastian. Kemenangan orang-orang kafir dan munafik pada sebagian masa, serta berkuasanya mereka di atas kaum muslimin, tidak lain disebabkan oleh pelanggaran kaum muslimin dalam iman dan amal shalih.” [Tafsîr as-Sa’di hal. 573].

tidak merebut kekuasaan

Kehadiran khilafah bukan untuk merebut kekuasaan, berdasarkan hal – hal sebagai berikut :

  1. Allah Swt mengawali misi kenabian bukan dari kekuasaan tetapi diawali dari figur kenabian yang justru pada saat itu tidak memiliki kekuasaan apapun.
  2. Tidak ditemukan adanya dalil yang memerintahkan dengan jelas supaya merebut kekuasaan.
  3. Kekuasaan merupakan karunia yang diberikan oleh Allah Swt kepada hamba – hamba-Nya yang Dia kehendaki ( Qs Ali Imran : 26 , yang memenuhi syarat – syarat yang disebutkan dalam Qs An- nuur : 55)
  4. Peperangan dalam Islam bukan untuk merebut kekuasaan tetapi untuk mempertahankan kehormatan Islam dan muslimin yang di dzolimi oleh musuh – musuh Islam hal ini berdasarkan dalil – dalil sebagai berikut :

Sabda Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam :

لاَ تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ ، وَسَلُوا اللَّهَ الْعَافِيَةَ ، فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاصْبِرُوا

“Janganlah kalian mengharapkan bertemu dengan musuh (perang), tapi mintalah kepada Allah keselamatan. Dan bila kalian telah berjumpa dengan musuh, bersabarlah.” (HR. Bukhari no. 2966 dan Muslim no. 1742).

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ * الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلاَّ أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللهُ

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”…” (QS:Al-Hajj | Ayat: 39-40).

Dalam ayat ini, penyebab disyariatkannya perang sangat jelas sekali. Yaitu, karena umat Islam dizalimi dan diusir dari negeri mereka tanpa alasan yang dibenarkan.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْـمُعْتَدِينَ

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS:Al-Baqarah; 2:190).

Imam al-Qurthubi mengatakan, “Ayat ini diturunkan bertutur tentang perang. Tidak ada perselisihan bahwa perang pada awalnya dilarang. Yaitu pada masa sebelum hijrah. berdasarkan ayat:

ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ

“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik.” (QS:Fushshilat | Ayat: 34).

Juga firman Allah:

فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ

“maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka.” (QS:Al-Maidah | Ayat: 13).

Dan ayat-ayat lainnya yang serupa, yang diturunkan di Makkah. Ketika umat Islam hijrah ke Madinah, barulah ada perintah untuk berperang (al-Jami’ al-Ahkam Alquran, 1/718).

Tanda – Tanda Kekhilafahan yang Dikuatkan Kekuasaannya di Muka Bumi

Dalam konteks kekuasaan, ada empat jenis amalan lahiriyah yang dijadikan indikasi oleh para ulama atas kekhalifahan Islam yang termasuk dalam janji ayat ini. Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah rahimahullâh mengatakan:

وَصَلَاحُ أَمْرِ السُّلْطَانِ بِتَجْرِيدِ الْمُتَابَعَةِ لِكِتَابِ اللَّهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ وَنَبِيِّهِ وَحَمْلِ النَّاسِ عَلَى ذَلِكَ فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ جَعَلَ صَلَاحَ أَهْلِ التَّمْكِينِ فِي أَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ: إقَامُ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَر

“Kebaikan seorang penguasa adalah dengan memurnikan ittibâ’ pada Kitabullâh dan Sunnah Rasul-Nya, serta menjadikan orang-orang untuk melakukan hal yang sama. Karena Allâh telah menjadikan kebaikan bagi Ahlut Tamkîn dengan adanya 4 perkara; penegakan shalat, penunaian zakat, amar ma’ruf dan .” [Majmû’ al-Fatâwa: 28/242]. Apa yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyyah tersebut, didasarkan pada firman Allah:

الَّذِينَ إنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ

“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar…” [QS. Al-Hajj: 41].

Wallâhuta’âla A’lam bish shawab.

(R01/P1)

 Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

*Tausiyah  ini disampaikan KH. Arief Hizbullah, MA. dalam Tabligh Akbar Jama’ah Muslimin (Hizbullah) 1438 Hijriyah di Masjid At-Taqwa, Komplek Pondok Pesantren Al-Fatah Cileungsi, Bogor, 24 Sya’ban 1438/21 Mei 2017.

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.