Oleh: Uray Helwan Rusli, Penulis Buku Khilafah vs Yahudi
Janji Allah untuk menjadikan Bani Israil Khalifah di bumi (Baitul Maqdis) kemudian terwujud setelah Firaun dan bala tentaranya ditenggelamkan di Laut Merah dan masa Nabi Musa ‘alaihissalam berlalu. Masa kerasulan era berikutnya, Nabi Daud alahissalam menjadi khalifah pertama bagi Bani Israil, seiring dengan anugerah kekuasaan yang terbentang di bumi para Nabi, Baitul Maqdis. Masa kejayaan berikutnya adalah Kerajaan Nabi Sulaiman, inilah puncak keemasan kekuasaan bagi Bani Israil. Dengan demikian janji Kekhilafahan yang Allah sampaikan melalui lisan Nabi Musa alaihissalam kepada Bani Israil tersebut, telah terwujud.
Diamalkannya Kembali Jama’ah Muslimin (Hizbullah)
Kita kembali pada topik awal dari tulisan ini, yakni tentang kemunculan khilafah sebagai fakta BESAR KEDUA. Dengan izin Allah semata khilafah tersebut eksis dalam bentuk satu Jama’ah yang berada diantara berbagai golongan kaum Muslimin. Atau dengan kata lain perwujudannya tidak mesti menunggu bersatunya seluruh kaum Muslimin dalam satu panji. Ia dimulai dari segolongan kaum Muslimin yang mengamalkan kepemimpinan Khilafah ‘Ala Minhaajinnubuwwah.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Bicara tentang khilafah pada dasarnya tidak terlepas dari sebutan Al Jama’ah. Karena sebenarnya tidak ada perbedaan antara Al Jama’ah dengan Khilafah, kedua-duanya sama-sama bicara tentang pelanjut kepemimpinan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Sama-sama fil ardh, rahmatal lil ‘alamin. Bahkan sebutan Khulafaurrasyidin Al Mahdiyyin digelar dengan tiga sebutan: Khalifah, Amirul Mu’minin dan Imamul Muslimin. Ketiga gelar tersebut mengacu pada ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits shahih.
Tumbangnya simbol kekhilafahan Turki Utsmani 1924, maka dimulailah suatu masa, dimana kaum muslimin larut dalam euforia “politik Islam”. Perjuangan melalui “partai-partai Islam” menjadi pilihan utama sebagai kendaraan untuk mewujudkan kejayaan Islam dan Muslimin. Dengan impian, ketika partai Islam menjadi pilihan rakyat, kekuasaan pun akan diraih dan pada gilirannya konsep-konsep Islam akan diterapkan sebagai aturan main dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalaupun tidak dengan partai, ada juga yang memilih pola yang lebih revolusioner seperti gerakan bawah tanah untuk mengkudeta kekuasaan yang ada. Impiannya masih sama, ketika upayanya berhasil, pemerintahan akan serta merta diganti dengan “pemerintahan Islam”.
Mimpi seperti itulah yang menjadi mainset perjuangan kaum Muslimin di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia, sejak dulu hingga saat ini. Namanya bisa berbeda namun alur pikirnya tetap sama: Politik untuk meraih kekuasaan, kekuasaan untuk mewujudkan syariat Islam.
Tidak mudah untuk keluar dari mainset tersebut. Karena ia sudah berakar dan menjalar ke sendi-sendi pemahaman kaum Muslimin. Ia didukung terbitan buku-buku harakah serta fikrah bahkan pada terjemahan Al Quran, Assunnah dan penulisan-penulisan tarikh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pun tidak terlepas dari mainset tersebut. Seperti pada beberapa buku tarikh tidak segan-segan penulis (penerjemah) menyatakan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai kepala negara dan Madinah sebagai negara Islam yang pertama.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Perlu penghayatan yang mendalam terhadap khiththoh Shallallahu Alaihi Wasallam dan Khulafaurrasyidin almahdiyyin untuk keluar dari mainset tersebut, dan yang jelas tidak mungkin tanpa adanya karunia kepahaman dari Allah ‘Azza Wajalla. Sungguh semua ilmu dalam genggaman Allah dan Ia membagi kepada siapa yang Ia Kehendaki.
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran”.(QS. Al Baqarah: 269).
Tersebutlah seorang hamba Allah yang dianugerahi kepahaman dari-Nya terhadap masalah dien sehingga mampu memisahkan urusan politik dengan pengamalan sistem kemasyarakatan umat Islam. Sehingga kepemimpinan kaum Muslimin berhasil diwujudkan tanpa dicampuradukkan dengan kekuasaan politik. Beliau adalah Wali Al Fattaah, yang dikenal sebagai wartawan dan tokoh pergerakan Islam, baik pada zaman penjajahan maupun setelah kemerdekaan Indonesia. Kala itu ia menjabat sebagai Sekretaris Umum Pengurus Besar PARII (Partai Islam Indonesia), bersama Dr. Soekiman Wirjosanjoyo. Beliau terlibat aktif dalam berbagai gerakan keislaman seperti bersama tokoh lainnya membentuk PII (Partai Islam Indonesia) tahun 1938, menjadi Ketua Muda II Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan memprakarsai Kongres Muslimin Indonesia (KMI),[1] serta penggagas organisasi paramiliter Barisan Hizboellah (1942).[2]
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Karir politik beliau juga cukup cemerlang, yakni diangkat sebagai Residen Pekalongan, Kepala Bagian Politik Kementerian Dalam Negeri dan Pegawai Tinggi Ketatapradjaan. Sementara di bidang pers terlihat peran beliau yang sangat besar seperti Redacteur Pemberita Kemadjoean di Surabaya (1928), Wd Hoofredacteur Medan Doenia di Semarang (1929), Redacteur Bintang Mataram di Yogyakarta (1930), Redacteur Marian Mustika di Yogyakarta dan Redacteur Penanggung Jawab Oetoesan Indonesia (1931-1934), Redacteur Doenia Pegadaian organ PPPB (1934), Hoofredacteur Soeara Boeroeh di Yogyakarta (1938-1939) dan Redacteur Islam Bergerak di Yogyakarta, organ PII (1918).[3]
Jika yang diinginkan adalah sebatas karir politik dan posisi penting di organisasi keislaman serta dunia pers, maka hal tersebut telah terpenuhi. Akan tetapi ada yang lebih penting dari semua itu, yakni mewujudkan kesatuan bagi kaum Muslimin menurut Allah dan Rasul Nya. Inilah yang tergambar dalam seruan beliau kepada para pemimpin dan pemuka umat Islam pada kongres alim ulama / mubalighin seluruh Indonesia pada tanggal 27-28 Jumadil Akhir 1372 (14-21 Maret 1953):[4]
“Apabila organisasi-organisasi Islam, baik yang berpolitik ataupun tidak, kembali kepada pimpinan Allah dan Rasul Nya, insya Allah umat Islam akan bersatu. Akan tetapi kalau hanya mengutamakan pendapatnya masing-masing, sekalipun katanya ikhlas, apalagi bila tidak ikhlas sehingga gelap gulita di keliling umat, mereka akan mencari jalan sendiri-sendiri dan mencoba mencari pendapat lain yang lebih baik. Oleh karena itu, marilah kita bersatu dengan berpegang pada tali Allah dan Rasul Nya. Kalau hanya dengan pendapat saja, kita tidak akan mencapai persatuan.”
Pada tanggal 10 Dzulhijjah 1372 H (20 Agustus 1953 M) Wali Al-Fattaah bersama muslimin lainnya, termasuk salah seorang alim ahli hadits, Syekh Muhammad Ma’sum, menetapi Jama’ah Muslimin (Hizbullah). Dengan tujuan untuk memenuhi perintah Allah dan Rasul Nya, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam agar kaum muslimin berjama’ah dan menjauhi firqah-firqah. Keputusan ini secara terbuka diumumkan pada upacara resmi di Gedung Adhuc Staat (sekarang Bappenas), jalan Taman Surapati no. 1 Menteng, Jakarta Pusat. Diantara anggota parlemen yang hadir adalah M. Isa Anshari dan Nur el Ibrahim. Pada waktu itu Wali Al Fattaah dibai’at sebagai Imam. Dengan meninggalkan cara perjuangan yang pernah ditempuh sebelumnya, Wali Al Fattaah bersama-sama Muslimin lainnya berusaha menempuh perjuangan menurut khiththoh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bagi terwujudnya satu kesatuan Muslimin yang diridhoi Allah Subhanahu Wata’ala. Kemudian pada tanggal 8 Jumadil Ula 1374 H (3 Januari 1955 M) beliau secara resmi mengumumkan pengunduran dirinya dari Masyumi.[5]
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Pada tahun 1376 H (1956 M) diadakan musyawarah Ahlul Halli wal Aqdi yang pertama yang dihadiri tidak hanya dari kalangan Jama’ah Muslimin (Hizbullah) namun juga dari para alim dan zuama lainnya, menghasilkan keputusan: Wajib adanya satu jama’ah dan satu imamnya dan hendaknya dunia Islam berlomba-lomba ke arah itu. Adakan satu pimpinan karena Allah semata-mata. Dan menyerukan agar kaum Muslimin kembali kepada pimpinan Allah dan Rasul-Nya, dalam satu Jama’ah Muslimin sebagai rumahnya sendiri. Hasil keputusan ini kemudian dikumandangkan ke dunia Islam melalui radio oleh Abdullah bin Nuh (kepala penyiaran luar negeri RRI bagian bahasa Arab).
Untuk mengevaluasi sejauh mana realisasi kaum muslimin terhadap keputusan musyawarah Ahlul Halli wal Aqdi I, pada tahun 1378 H (1959 M) diadakan kembali musyawarah Ahlul Halli wal Aqdi (II). Merujuk pada hadits Huzaifah ibnul Yaman bahwa menghadapi situasi perpecahan dikalangan Muslimin Rasululullah Shallallahu Alaihi Wasallam memerintahkan untuk: Talzamu jama’atal muslimina waimamahum (tetaplah engkau pada Jama’ah Muslimin dan imam mereka). Setelah dibahas dan diteliti dari berbagai segi, akhirnya diambil suatu keputusan bahwa Jama’ah Muslimin (Hizbullah) inilah satu-satunya jama’ah muslimin di dunia. Dan Wali Al Fattaah kembali dibai’at sebagai Imam. Keputusan ini juga disiarkan melalui radio oleh Abdullah bin Nuh.[6]
Wali Al Fattaah terus menyerukan kepada kaum Muslimin untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya dengan menetapi Jama’ah Muslimin (Hizbullah) dan membai’at Imamnya. Hal ini beliau lakukan hingga akhir hayatnya. Beliau berpulang ke rahmatullah pada hari Jum’at, 27 Dzulqo’dah 1396 H (19 Nopember 1976 M) di Banyumas, Jawa Tengah, setelah sepekan sebelumnya memberi petunjuk kepada lima orang hamba Allah tentang cara memilih Imam pengganti beliau. Kelima orang hamba Allah tersebut adalah Mas’ud Muradi, Abdullah Fadhil Aly Siraj, Ahmad Ihsan Putra, Saefuddin dan Sirajuddin bin Arsyad. Keesokan harinya jenazah beliau dikebumikan setelah diba’at Muhyiddin Hamidy sebagai Imamul Muslimin pengganti beliau.[7]
Sejak ditetapi kembali wadah al jama’ah yang kemudian dimaklumkan ke seluruh dunia banyak nada-nada miring bahkan terkesan melecehkan yang dilontarkan kaum Muslimin terhadap hal ini. Namun semua itu justru semakin meneguhkan para hamba Allah yang berhimpun di dalamnya. Dari waktu ke waktu kaum Muslimin yang membai’at Imamul Muslimin terus bertambah, seiring dengan hembusan keraguan yang dilontarkan oleh mereka yang tidak senang terhadap dakwah jama’ah, imamah dan bai’at.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Bahkan ketiga kata tersebut yang diusung oleh Jama’ah Muslimin (Hizbullah), sempat dikonotasikan dengan gambaran yang negatif oleh sebagian umat Islam di negeri ini. Dianggap ekslusif, membuat tandingan dalam pemerintahan Indonesia, ekstrim, sesat, aliran baru, gerakan hizbiyah, bughot, dan lain-lain.
Akan tetapi semata-mata karena pertolongan Allah Subahanahu wata’ala semua kalimat yang dilontarkan tersebut akhirnya hilang dengan sendirinya tanpa memberikan pengaruh yang berarti terhadap pertumbuhan dan perkembangan dakwah al-jama’ah. Allah senantiasa menyempurnakan cahaya-Nya meskipun banyak manusia yang membencinya dan berupaya dengan berbagai cara untuk memadamkannya.
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya. (QS Ash-Shaf [61] :8).
Lima Tahun
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Kita telah berada di bagian akhir dari tulisan ini. Sebagai kesimpulan dari bahasan tentang FAKTA KEDUA, yakni tentang Periode Khilafah.
Ternyata ia mengerucut pada satu periode waktu: Lima Tahun. Ya, hanya berjarak lima tahun antara tonggak de jure Fakta Besar Pertama (yakni Yahudi memproklamasikan berdirinya negara Israel tahun 1948. Peristiwa ini merupakan simbol kebangkitan mereka yang akan menjadi mata rantai kehancurannya). Lima tahun kemudian Allah taqdirkan wujudnya Khilafah ‘Ala Minhajinnubuwwah, dengan ditetapi kembali wadah Jama’ah Muslimin (Hizbullah) tahun 1953.
Antara fakta pertama dengan fakta kedua, masing-masing berjalan menurut garis takdirnya. Dan keduanya kemudian Allah “pertemukan” dengan dikumandangkannya Ghazwah Futuh Al-Aqsha oleh Imamul Muslimin pada bulan September 2006, sebuah road map untuk membebaskan Masjid Al-Aqsho dari cengkeraman Yahudi Zionis laknatullah.
Yahudi sepertinya tidak akan pernah berhenti sampai mereka benar-benar berhasil merealisasikan impian buruk yang terpendam ribuan tahun, yakni mewujudkan negara Daud Raya, dengan menjadikan Haikal Soloman atau Kuil Ketiga (setelah mereka menghancurkan Masjid Al-Aqsho) sebagai pusat kekuasaannya. Di sisi lain Jama’ah Muslimin (Hizbullah) terus bergerak pasti, berjihad mengembalikan kemuliaan Masjid Al-Aqsho, sehingga umat Islam leluasa sholat di sana dan keadilan ditegakkan terhadap manusia-manusia zalim yang selama ini merongrongnya, selanjutnya kedamaian untuk negeri Palestina dan dunia pada umumnya. Dengan atau tanpa dukungan kaum Muslimin dunia, atau banyaknya suara sumbang yang berupaya untuk melemahkan maupun menghentikannya, namun sungguh ini akan terus bergerak. Karena semua ini semata-mata lillahi ta’ala, hanya bersandar kepada Allah.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Untuk memenuhi seruan-Nya, ketika DIA membukakan peluang mulia, menolong agama Nya, sebagaimana ayat-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS Muhammad [47] : 7)
Peluang itu dulunya menjadi wasilah kemuliaan anbiya dan sholihin. Kini peluang itu Allah bukakan di depan mata kita yakni PEMBEBASAN MESJID AL-AQSHA. Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang berjihad di jalan-Nya dalam barisan yang tersusun rapi, tertib dan terpimpin laksana bangunan yang tersusun kokoh.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (QS Ash-Shaf [61] : 4).
Sebaliknya Allah murka dan melarang kaum Muslimin hidup bercerai berai dan berselisih. Karena akan menghilangkan kekuatannya dan diancam dengan azab yang pedih.
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS Al-Anfal [8] : 46).
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (QS Ali Imran [3] : 105).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Wallahu a’lam.(P004/R02/P4)
[1] Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah Khilafah yang Mengikuti Jejak Kenabian, Penyunting Muhadjir Al Murtaqy, 2011, Pustaka Amanah, Cilengsi-Bogor. Hal. xix.
[2] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 2, 2010, Salamadani, Bandung. Hal. 184
[3] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 2, 2010, Salamadani, Bandung. Hal. 184
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
[4] Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah Khilafah yang Mengikuti Jejak Kenabian, Penyunting Muhadjir Al Murtaqy, 2011, Pustaka Amanah, Cilengsi-Bogor. Hal. xxi
[5] Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah Khilafah yang Mengikuti Jejak Kenabian, Penyunting Muhadjir Al Murtaqy, 2011, Pustaka Amanah, Cilengsi-Bogor. Hal. xxii
[6] Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah Khilafah yang Mengikuti Jejak Kenabian, Penyunting Muhadjir Al Murtaqy, 2011, Pustaka Amanah, Cilengsi-Bogor. Hal. 81-85
[7] Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah Khilafah yang Mengikuti Jejak Kenabian, Penyunting Muhadjir Al Murtaqy, 2011, Pustaka Amanah, Cilengsi-Bogor. Hal. xxv-xxvi
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)