Oleh Amir Tarbiyah pusat, Ust Ahmad Zubaidi bin Ardhani
Disampaiakan di markaz pusat Jamaah Muslimin (Hizbullah) Cileungsi, Bogor
BERSYUKUR DI HARI RAYA IDUL FITRI
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا. الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي شَرَعَ لِعِبَادِهِ عِيْدًا يَذْكُرُوْنَهُ فِيْهِ، وَيَشْكُرُوْنَهُ عَلَى فَضْلِهِ وَإِحْسَانِهِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ يَسْتَوِي عِنْدَهُ مَا فِيْ سِرِّ الْعَبْدِ وَإِعْلاَنِهِ، وََأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَرْسَلَهُ اللهُ بِالْحَقِّ وَتِبْيَانِهِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ، أَمَّا بَعْدُ:
Baca Juga: Khutbah Jumat: Kewajiban dan Hak dalam Pandangan Islam
Segala puji bagi Allah swt yang memiliki nama-nama yang husna dan sifat-sifat yang sempurna. Puji dan syukur kita panjatkan kepada-Nya atas kemudahan agama yang telah dikaruniakan kepada hamba-hamba-Nya. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada yang berhak untuk diibadahi dengan benar kecuali hanya Allah swt semata, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad n adalah hamba dan utusan-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya dan seluruh kaum muslimin yang mengikuti jalannya.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa dan bersyukur kepada Allah swt. Karena, dengan sebab pertolongan-Nya kita semua bisa menjumpai seluruh hari di bulan puasa. Mudah-mudahan amal ibadah yang telah kita kerjakan di bulan yang penuh keutamaan tersebut diterima oleh Allah swt. Dan mudah-mudahan seluruh kesalahan serta kekurangan yang kita lakukan di bulan yang mulia tersebut diampuni oleh-Nya.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Menggapai Syahid di Jalan Allah Ta’ala
Saudara-saudaraku kaum muslimin rahimakumullah,
Tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu, dan bulan Ramadhan yang penuh dengan keberkahan dan keutamaan berlalu sudah. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang celaka karena tidak mendapatkan pengampunan dari Allah Ta’ala selama bulan Ramadhan, sebagaimana yang tersebut dalam doa yang diucapkan oleh malaikat Jibril ‘alaihissalam dan diamini oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni (oleh Allah Ta’ala ).
Hadirin rahimakumullah,
Lebaran ini berjuta orang gembira. Bukan saja karena bisa berkumpul dengan keluarga, melainkan karena merasa berhasil mengendalikan dirinya selama puasa Ramadan.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Mempersiapkan Generasi Pembebas Masjid Al-Aqsa
Orang yang menang pada hari ini adalah mereka yang mendapat ampunan dari Allah SWT. Rasulullah Saw dalam sabdanya: Sungguh sangat terhina dan rendah seseorang yang datang kepadanya Ramadhan kemudian bulan tersebut berlalu sebelum diampuni untuknya (dosa-dosanya). (HR.Tirmidzi).
Ramadhan telah berlalu dan sekarang kita melangkah di bulan Syawal. Kata orang, bulan Syawal adalah bulan kemenangan. Ya, kemenangan setelah selama sebulan penuh kita menjalani pelatihan fisik dan mental serta “berperang” melawan hawa nafsu dengan berpuasa. Dan hadiah kemenangan itu adalah pengampunan dosa.
Tapi…benarkah kita telah memenangkan “peperangan” itu? Dan apakah kita termasuk orang – orang yang berhak mendapatkan hadiah istimewa berupa pengampunan dosa? Yakin? Sebenarnya apa sih hakikat kemenangan itu?
Kita bisa dikatakan menjadi pemenang jika kita telah menjalani puasa dan ibadah lain selama Ramadhan lalu dengan penuh keimanan dan keikhlasan mengharap ridha ALLAH semata seperti sabda Rasulullah (yang artinya): “Siapa saja yang berpuasa Ramadhan karena keimanan dan keikhlasan mengharap ridha ALLAH akan diampuni dosa – dosanya yang telah lalu. Siapa saja yang melakukan qiyam al – lail (shalat tarawih) pada malam Lailatul Qadar karena keimanan dan keikhlasan mengharap ridha ALLAH akan diampuni dosa – dosanya yang telah lalu.” (HR. Muslim, Abu Dawud, at – Tirmidzi dan Ahmad). Hayoo…, puasa dan ibadah kita selama Ramadhan lalu sudah ikhlas karena ALLAH belum ya?
Baca Juga: Khutbah Jumat: Jalan Mendaki Menuju Ridha Ilahi
Selain itu, sang pemenang adalah orang – orang yang menunaikan yang wajib, memperbanyak amalan yang sunnah, meninggalkan yang haram, menjauhi yang makruh, dan mempersedikit yang mubah untuk mengejar yang wajib dan sunah, serta menjalani semua itu dengan keimanan dan keikhlasan. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah (yang artinya): “Siapa saja yang berpuasa Ramadhan, mengetahui ketentuan – ketentuannya, dan menjaga apa saja yang harus ia jaga di dalam Ramadhan, akan dihapuskan dosa – dosanya yang telah lalu.” (HR. Ahmad). Jadi, ga asal puasa, tapi juga harus memahami hakikat puasa itu sendiri. (Eh, puasa kita bulan lalu sudah sesuai ketentuan belum ya?)
Jadi, meskipun Ramadhan Mubarak telah berakhir, kebiasaan baik kita selama Ramadhan ga boleh ikutan berakhir. Yang selama Ramadhan biasa bangun malam, lanjutkan kebiasaan itu setelah Syawal. Yang biasa tilawah 1 juz per hari, jangan berhenti setelah Syawal. Juga, yang biasa mengkaji ilmu – ilmu Islam lewat kuliah Shubuh, lanjutkan aktivitas itu setelah Syawal. Yang terbiasa menutup aurat selama Ramadhan, jangan dibuka lagi setelah Ramadhan usai.
Kemenangan atas Ramadhan bukan ditunjukkan dengan pakaian baru apalagi pesta ketupat. Kemenangan sejati adalah jika kita berhasil memperbaiki kualitas diri selama Ramadhan dan mempertahankannya setelah Ramadhan berlalu. Kualitas diri yang dimaksud adalah kadar keimanan serta tingkat ketertundukan kita pada Sang Mudabbir.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Baca Juga: Khutbah Jumat: Akhir Kehancuran Negara Zionis
Siapa yang paling dibenci oleh setan? Pasti jawabannya adalah orang yang habis melaksanakan diklat Ramadhan. Bagaimana tidak! Upaya setan untuk menggelincirkan manusia selama 11 bulan harus porak poranda akibat kehadiran Ramadhan. Sebab, di Ramadhan itulah kita masuk di dalam diklat rohani untuk dilatih kembali bagaimana caranya mengendalikan hawa nafsu, yang selama ini dijadikan setan sebagai pintu masuk untuk menggelincirkan manusia. Jika demikian, andalah…!! wahai saudaraku seiman, yang menjadi target setan. Saat ini, setan kembali mengerahkan seluruh kekuatannya dan mengatur strategi-strategi baru yang dianggap jitu, karena mereka harus berhadapan dengan manusia-manusia tangguh yang telah dididik oleh Ramadhan selama sebulan untuk melatih mengendalikan hawa nafsu.
Gerakan setan menurut al-Qur’an, ada tiga, yaitu menghalangi manusia dari jalan yang kebenaran. Setan akan melakukan berbagai macam upaya agar manusia terhalang dari kebenaran; atau seandainya ia tahu kebenaran, namun ia akan dipengaruhi agar tidak kuat untuk melakukannya, sebab jiwanya lemah.
Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah swt,
Setelah Ramadhan, Kita harus Godaan Hawa Nafsu. Yang dimaksud dengan al-hawa al-mutabba’ (hawa nafsu yang diikuti) adalah yang tercela, baik menurut pandangan syar’i maupun akal.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Memberantas Miras Menurut Syariat Islam
Apabila diperhatikan dengan seksama ayat-ayat Allah yang jelas, hadits-hadits Nabi saw. dan perkataan kaum salaf, niscaya kita dapati bahwa ketiga-tiganya sangat mencela hawa nafsu.
Di antara ayat-ayat Allah yang mencela hawa nafsu adalah firman Allah SWT,“Maka pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan-nya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan penutup atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya tersesat)? Maka mengapa kalian tidak mengambil pelajaran?” (Al-Jaatsyiah: 23).
“Andaikan kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini dan semua yang ada di dalamnya,” (Al-Mukminuun: 71).
Dan ayat-ayat lain yang senada cukup banyak jumlahnya.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Menyongsong Bulan Solidaritas Palestina
Adapun dalam hadits, Imam Ahmad, Ibnu Majah, dan al-Hakim telah meriwayatkan dari Nabi saw., beliau bersabda, “Orang yang terhormat itu adalah orang yang menundukkan dirinya dan beramal untuk bekal setelah mati, dan orang yang fajir itu adalah seseorang yang dirinya memperturutkan hawa nafsunya dan berangan-berangan memperoleh balasan yang baik dari Allah.”
Hadirin rahimakumullah,
Pelajaran yang dapat kita ambil dari kejayaan umat Islam pada masa lalu diantaranya, pertama, umat Islam perlu memiliki pemimpin yang memiliki komitmen kuat dalam mensosialisasikan al Quran dalam kehidupan sosial masyarakat yang dipmpinnya. Tanpa adanya pemimpin yang mampu mengajak rakyat mentaati perintah dan larangan Allah maka diperkirakan efektivitas dakwah akan sulit dan bisa jadi mengalami hambatan berat, karena musuh-musuh Islam tidak rela Islam dan umat islam berjaya di negara ini.
Kedua, al Quran menjadi petunjuk atau ‘way of life’ kehidupan masyarakat Islam. Oleh karena itu segala persoalan kehidupan dalam pembangunan di negara ini perlu mengacu pada perintah-perintah Allah dan menjauhi larangannya sebagaimana diajarkan Tuhan melalui al Quran. Wewenang dan kekuasaan tentu perlu diraih untuk lebih cepat mensosialisasikan nilai-nilai Islam. Meski demikian dakwah kultural tetap dilangsungkan karena keduanya (politik dan kultural) merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Perintah Berhati-hati dalam Menyebarkan Informasi
Ketiga, pendidikan di segala jenjang tingkatan perlu memasukkan al Quran sebagai bagian yang dipelajari di sekolah dan perguruan tinggi terutama bagi umat Islam dan lembaga pendidikan Islam. Tidak ada dikotomik antara ilmu pengetahuan dan ajaran Islam melalui ayat-ayat qawliyyah (al Quran dan Hadist). Dengan demikian maka pemahaman tentang fiqih tidak hanya pada syariat ibadah madhoh semata tetapi lebih jauh fiqih bisa dikaitkan dengan ilmu pengetahuan sehingga akan muncul pelajaran tentang fiqh sains yang akan menambah keyakinan umat Islam akan kebesaran kekuasaan Allah.
Hadirin rahimakumullah,
Sejarah Islam mencatat, keberhasilan para pemimpin dikalangan umat islam, khususnya ketika zaman Rasulullah SAW. Konsep kepemimpinan ini masih menjadi sebuah tanda tanya besar dikalangan umat islam sendiri, apalagi ditambah dengan, semakin hilangnya pigur-pigur, dan tokoh-tokoh yang mahir dalam kepemimpinan, perbedaan tersebut karena dipengaruhi oleh, sebagian ajaran-ajaran orang Barat.
Mengapa banyak negara yang penduduknya mayoritas muslim, akan tetapi system pemerintahannya masih mengadopsi system barat? Itu juga disebabkan karena pemimpinnya yang tidak mengedepankan system islam dan memilih system barat yang pada akhirnya dapat mengikis habis pemahaman asli umat islam terhadap kepemimpinan.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Memperkuat Pembelaan terhadap Masjid Al-Aqsa dan Palestina
Tidak bisa dipungkiri bahwa sejak jaman dahulu sampai sekarang ini, orang-orang barat selalu mengontrol kepemimpinan umat islam dan tentunya terpilih atau tidaknya seorang pemimpin pun (misalnya kepala Negara) tidak terlepas dari campur tangan mereka dan dibantu oleh antek-antek mereka yang tersebar di mayoritas negara yang berpenduduk muslim. Ini merupakan kendala dan menjadi tantangan yang sulit bagi umat islam yang menginginkan kepeminpinan bardasarkan islam.
Belum lagi tersebarnya stigma masyarakat akan kejelekan kepemimpinan islam yang sudah tertanam dalam benak mereka bahwa islam hanya mengajarkan kekerasan, identik dengan teroris, dan lain sebagainya yang pada akhirnya menimbulkan fhobia terhadap islam. Seiring dengan bergantinya zaman, maka bergantipulalah sistem kepemimpinan, akan tetapi bagi umat islam sistem kepemimpinan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnyalah, sistem yang paling baik dan akurat, dengan tidak mengenyampingkan sistem-sistem baru yang memang itu sejalan dengan yang dicontokan rasul, dan diajarkan di dalam al-Quran. Artinya, kita tidak menolak ataupun menerima system barat secara keseluruhan akan tetapi memfilternya dan mengambil yang sejalan dengan spirit Islam.
Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah swt,
Anjuran bersedekah bukan saja ditujukan kepada kaum lelaki, tapi juga kepada Kaum Perempuan. Rasulullah saw. bahkan berwasiat secara khusus kepada kaum perempuan. Saat bertemu dengan Asma’, Rasulullah saw. berkata, “Berinfaklah dan janganlah kamu menghitung-hitung hartamu, karena Allah juga akan menghitung-hitung rezeki-Nya untukmu. Dan janganlah engkau bakhil dengan hartamu, karena Allah juga akan bakhil kepadamu.” (Bukhari, hadits nomor 2420)
Baca Juga: Khutbah Jumat: Menjadi Umat Unggul dengan Al-Qur’an
Pada kesempatan lain, saat usai shalat di sebuah tanah lapang, Rasulullah saw. berseru, “Wahai manusia, bersedekahlah kalian!” Kemudian beliau menuju ke tempat para wanita dan bersabda, “Wahai para wanita, bersedekahlah kalian semua, karena aku telah melihat banyak penghuni neraka adalah dari golongan kalian.”
Mereka berkata, “Ya Rasulullah, mengapa hal itu bisa terjadi?” Rasulullah saw. menjawab, “Karena kalian sering melaknat dan mengingkari pemberian suami. Aku tidak pernah melihat golongan yang lemah akal dan agamanya, namun dapat menghilangkan kejernihan akal seorang lelaki yang teguh selain dari kalian, wahai para wanita.”
Setelah mendengar anjuran itu, para wanita itu segera melepas anting-anting dan cincin mereka. Para shahabiyah itu bersegera menunaikan anjuran Rasulullah saw. Bersedekah. Kemudian Rasulullah saw. pergi. Sesampai di rumah, datanglah Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud. Ia meminta izin untuk bertemu. Salah seorang istri beliau pun berkata, “Wahai Rasulullah, ini ada Zainab.” Kemudian Rasulullah saw. bertanya, “Zainab siapa?” “Zainab istri Abdullah bin Mas’ud,” jawab istri beliau. Rasulullah saw. berkata, “Izinkan ia masuk.”
Setelah masuk, Zainab berkata, “Wahai Nabi Allah, hari ini Engkau telah menyuruh kami untuk bersedekah, dan aku mempunyai perhiasan yang ingin aku sedekahkan, namun Ibnu Mas’ud beranggapan bahwa ia dan anak-anaknya yang lebih berhak menerima sedekahku.” Rasulullah saw. bersabda, “Ibnu Mas’ud benar. Suamimu dan anak-anakmu adalah orang-orang yang paling berhak menerima sedekahmu.” (Tirmidzi, hadits nomor 664)
Begitulah para wanita di zaman Rasululllah saw. Mereka selalu bersegera jika melihat peluang untuk beramal dan berbuat kebajikan. Tidak berpikir dua kali. Sungguh beda dengan kita. Meski setiap hari melihat korban bencana di televisi dan membaca berita bayi-bayi menderita busung lapar di koran, semua itu tidak menggerakkan tangan kita untuk mengulurkan bantuan. Masih asyik dengan hobi kita bershopping ria ke mall-mall.(P004/R03)
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ. اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِينَ فِي كُلِّ مَكَانٍ. اللَّهُمَّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا مُطْمَئِنًّا وَسَائِرَ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ، وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ، وَالْحَمْدُ لِلهِ ربِّ الْعَالَمِينَ.