Khutbah Jumat : Muhasabah Tahun Baru Islam

Ali Farkhan Tsani (FB)

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior MINA (Mi’raj News Agency)

اَلْحَمْدُ للهِ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ وَمَوَّالَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
وَقَالَ اللهُ تَعَالَى فِي اْلقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَهُوَ أَصْدَقُ الْقَائِلِيْنَ، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ :يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ .

Hadirin jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah.

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah. Kita dapat berjumpa kembali dengan “Sayyidul Ayyam” (induk dari segala hari), yakni hari Jumat ini. Bukan hanya umur yang bertambah, Allah juga telah memberikan nikmat kesehatan serta nikmat istiqamah Islam dan Iman di dalam hati kita.

Sehingga dengan nikmat Iman dan Islam tersebut, terasa ringan kita melangkahkan kaki menyambut seruan azan, datang memenuhi panggilan Allah, menunaikan shalat fardhu Jum’at pada hari yang mulia ini di awal waktu. Lalu sama-sama mendengarkan tausiyah dari khatib.

Untuk itu marilah kita terus tingkatkan rasa syukur kita kepada Allah dengan senantiasa istiqamah melaksanakan segala perintah Allah, dan menjauhi segala larangan-Nya.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.

Alhamdulillah, tanpa terasa dan tanpa hura-hura  seperti lainnya. Kita mulai memasuki awal tahun baru 1439 .

Sebuah pelajaran terbesar dari Allah adalah bahwa Allah masih memberikan kesempatan kepada kita untuk melakukan (introspeksi diri) secara menyeluruh. Mulai dari keimanan kita, keislaman kita, ibadah kita, akhlak kita, pergaulan kita, ilmu kita, kewajiban kita, tanggung jawab kita, manajemen waktu kita, gaya hidup kita, shadaqah kita, perhatian kita terhadap aqidah anak-anak kita, hingga kontribusi kita bagi perjuangan menegakkan kalimah Allah, dalam dakwah, tarbiyah dan jihad fi sabililah.

Karena sesungguhnya dengan muhasabah atau evaluasi itulah menjadi kunci utama dalam kehidupan kita untuk menyongsong tahun yang akan datang dengan lebih baik lagi dalam ridha Allah.

Dengan muhasabah itu pula, kita dapat mengetahui kelemahan dan kelebihan kita pada waktu yang lalu, perbaikan hari ini dan persiapan serta perencanaan waktu yang akan datang. Kalau dalam manajemen organisasi ada perencanaan (Planning), pengorganisasin (Organising), pelaksanaan (Actuating) hingga pengawasan (Controlling) dan akhirnya penilaian (Evaluating).

Semua itu kita lakukan agar kualitas hidup kita, terutama kadar Iman dan Islam kita akan berkembang terus menuju ke arah yang benar dan lurus di bawah naungan ridha dan ampunan Allah.

Bahkan dengan muhasabah inilah kita dapat mengetahui hakikat dan persoalan diri kita secara pasti di hadapan Allah, amal apa yang sudah kita lakukan seiring bertambahnya kapasitas rezki yang Allah karuniakan kepada kita sebagai bekal menuju perjalanan hari esok, akhirat, yang amat panjang dan pasti.

Allah mengingatkan kita di dalam ayat-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Hasyr [59]:18).

Tentang pentingnya muhasabah atau evaluasi diri ini, Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata:

حَاسِبُوْا أَنْفُوْسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا

Artinya: “Hitung-hitunglah diri kalian sebelum kalian dihitung (oleh Allah)”.

وَزِنُوْاهَا قَبْلَ أَنْ تُزَانُوْا

Artinya: “Timbang-timbanglah amal kalian sebelum amal kalian ditimbang (oleh Allah)”.

Hadiri yang berbahagia.

Yang pertama dan utama hal yang wajib kita koreksi adalah masalah amaliah agama Islam kita.

Pertanyaan-pertanyaan yang pantas kita arahkan pada diri kita sendiri, termasuk pada diri kharib sendiri di antaranya adalah : “Sudah sejauh mana kita memahami dan mengamalkan ajaran agama kita?” “Sejauh mana pula kita sudah memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sebagai sumber utama ajaran agama kita?”

Terkait dengan masalah agama kita ini, maka yang patut kita evaluasi adalah marilah kita meningkatkan spirit dan semangat belajar, belajar dan belajar mendalami nila-nilai mulia ajaran kita, Al-Islam.

Karena Dienul Islam itu adalah ilmu, sedangkan ilmu tidak akan didapat kecuali dengan belajar dan mempelajarinya. Semuanya secara global dan universal tercakup dalam kitab suci Al-Quran, sebagai penawar dan kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya.

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا

Artinya : “Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian.” (QS Al-Isra  [17]: 82).

Karena itu amal terbaik adalah belajar Al-Quran dan kemudian mengajarkannya kepada orang-orang di sekitar kita, terutama yang menjadi tangung jawab kita, seperti anak-isteri kita, dan seterusnya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyebutkan:

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْاَنَ وَعَلَّمَهُ

Artinya: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya”.

Dengan bertadarus dan mengkaji kandungan pedoman hidup Al-Quran inilah, maka secara bertahap pola hidup kita, arah hidup kita menjadi sangat jelas yakni ridha Allah.  Sehingga dengan demikian akan mewarnai hidup kita, dalam ’Aqidah, Ibadah, Akhlak, Mu’amalah, Keluarga dan penerapan Syari’ah secara keseluruhan.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah.

Masalah kedua yang perlu kita evaluasi adalah masalah dunia kita. Maksudnya adalah bagaimanakah kita menyikapi kehidupan dunia ini? Apakah kita begitu sangat mencintai dunia, hingga sangat tergantung padanya dan menjadikannya menjadi tujuan hidup kita?

Ataukah berbagai fasilitas kehidupan dunia ini, mulai dari uang, rumah, kendaraan yang kita miliki, pangkat dan kedudukan, kita letakkan hanya sebagai sarana amal shalih dan kita tidak mencintainya melebihi cinta pada Allah dan Rasul-Nya?

Ini penting agar dalam mencari penghidupan (ma’isyah) dunia ini, harta yang kita cari dan miliki benar-benar berasal dari sumber yang halal dan tidak sedikitpun tercampur dengan yang haram.

Bukan hanya sampai di situ, tapi untuk apa saja harta itu kita gunakan? Serta seberapa besar kontribusi dari harta kita itu untuk juang di jalan Allah, menegakkan kalimah Allah, Al-Islam, yang menjadi agama yang kita anut dan banggakan.

Sebab, kalau kehidupan dunia ini malah menjauhkan kita dari ingat kepada Allah, malah menjadikan kita tambah maksiat, hingga Allah pun menguji kita dengan berbagai ujian. Maka, saatnya kita putar haluan, kembali bertaubat kepada-Nya, kembali ke jalan yang lurus.

Allah menyebutkannya:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ﴿١٢٤﴾قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَىٰ وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا﴿١٢٥﴾قَالَ كَذَٰلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا ۖ وَكَذَٰلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَىٰ

Artinya: “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” Berkatalah ia: “Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan.” (Q.S. Thaha [20]: 124-126).

Untuk itu, hadirin yang mulia.

Agar kita tetap istiqamah di jalan Allah, marilah kita perbanyak berinteraksi dengan orang-orang shalih, yang dengan keshalihannya itu dapat menyeret kita ke dalam pusaran kebaikan, ridha dan ampunan Allah, jannatu na’im.

Tinggalkan sejauh-jauhnya pergaulan intensif dengan orang-orang yang lalai kepada aturan Allah.

Allah memperingatkan kita di dalam ayat-Nya:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ اتَّقِ اللَّهَ وَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَالْمُنَافِقِينَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Artinya: “Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Ahzab [33]:1).

Jika kita memperbanyak berbakti pada Allah, berbuat baik, bersama orang-orang yang baik, berjuang bersama orang-orang yang berjuang di jalan Allah. Maka kenikmatan surga balasannya. Aamiin.

Namun, sebaliknya, manakala durhaka kepada-Nya, maka nerakalah akibatnya. Ma’udzubillah.

Allah pun sudah mengingatkan kita di dalam ayat-Nya:

إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ﴿١٣﴾وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (Q.S. Al-Infithar [82]: 13-14).

Al-Abraar (yaitu orang yang suka berbuat kebaikan), ia akan selalu dalam kenikmatan yang diberikan Allah di dunia maupun di akhirat. Adapun kaum fajir (orang yang suka berbuat kejahatan), maka mereka akan selalu berada dalam kesengsaraan di dunia dan akhirat.

Ibnul-Qayyim Al-Jauziyah mengatakan, ”Barangsiapa yang menyangka bahwa Allah akan menyamakan antara orang-orang yang berbuat taat dengan orang-orang yang suka berbuat maksiat, maka sesungguhnya ia telah berprasangka buruk terhadap Allah Ta’ala.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

أَمْ نَجْعَلُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَالْمُفْسِدِينَ فِي الْأَرْضِ أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ

Artinya: “Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?” (Q.S. Shad [38]: 28).

Hadirin sidang Jumat rahimakullah.

Demikianlah kurang lebih makna Muhasabah atau evaluasi diri akhir tahun dan awal tahun baru Hijriyah ini, yang dengannya semoga dapat menghijrahkan kita dari keburukan menuju kebaikan, dari kecintaan berlebihan pada dunia menuju cinta akhirat, dari kemalasan ibadah menuju khusyu, dari pertikain menuju persatuan dan dari kemaksiatan menuju amal shalih.

Semoga amal ibadah dan segala kebajikan kita tahun ini lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Amin ya Robbal ‘alamin.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

(A/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.