Oleh: Da’i Pondok Pesantren Al-Fatah Cileungsi, Bogor, Jabar dan Redaktur Senior Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى نِعْمَةِ اْلإِيْمَانِ وَاْلإِسْلاَمِ, وَالْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى عَلَّمَنَا الْقُرْءَانَ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيًّا بَعْدَهُ اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ.
أَمَّابَعْدُ : فَيَاعِبَادَ اللهِ اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hadirin sidang Jumah rahimakumullah,
Baca Juga: Khutbah Jumat: Menggapai Syahid di Jalan Allah Ta’ala
Ada dua belas bulan urutan dalam Kalender Islam atau Hijriyah yang ternyata masih belum populer dikenal, dihafal, apalagi digunakan oleh umat Islam. Kalender yang terpampang di ruang-ruang tamu dan di kantor-kantor pada umumnya adalah Kalender Masehi. Kalender Hijriyah masih jarang dipasang. Padahal kalau kita menyimak sejarah perjuangan dan peradaban Islam, penanggalan Kalender Hijriyah merupakan sunnah Khalifah Umar bin Khattab dalam penentuan agenda kerja dua belas bulan dalam setahun.
Sejarah Kalender Islam dihitung berdasarkan hijrahnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dari Mekkah ke Madinah (waktu itu Yatsrib) memenuhi panggilan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang menjadi tonggak bersejarah perkembangan awal Islam.
Adapun urutan nama-nama dua belas bulan dalam Kalender Hijriyah tersebut, yang tentunya harus terus kita hafald an sebut, meliputi : (1) Muharram (2) Shafar (3) Rabi’ul Awwal (4) Rabi’ul Akhir (5) Jumadil Awwal (6) Jumadil Akhir (7) Rajab (8) Sya’ban (9) Ramadhan (10) Syawal (11) Dzulqa’dah (12) Dzulhijjah.
Tentang bilangan dua belas bulan dalam setahun ini, Allah sebutkan di dalam ayat:
Baca Juga: Khutbah Jumat: Mempersiapkan Generasi Pembebas Masjid Al-Aqsa
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ ۚ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
Artinya : ”Sesungguhnya bilangan bulan di sisi (hukum) Allah ialah dua belas bulan (yang telah ditetapkan) dalam kitab Allah semasa Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan yang dihormati. Ketetapan yang demikian itu ialah agama yang betul lurus, maka janganlah bulan yang dihormati itu (dengan melanggar larangan-Nya). Dan perangilah kaum kafir musyrik seluruhnya sebagaimana mereka memerangi kamu seluruhnya. Dan ketahuilah sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. At-Taubah [9] : 36 ).
Adapun bagi kita kaum Muslimin, penggunaan kalender itu adalah terkait dengan ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, seperti mengawali puasa Ramadhan, Idul Fitri, bulan Haji, dan Tahun Baru Islam.
Karena itu, marilah hadirin, sudah saatnya kaum muslimin di manapun berada untuk berhijrah menggunakan kalender Hijriyah dalam setiap kegiatannya. Seperti dalam pelaksanaan ta’lim, kalender di rumahnya, catatan di buku harian, dan dalam surat-menyurat. Minimal kalau menyebut tanggal Masehi, jangan lupa sebutkan tanggal Hijriyahnya, atau sebaliknya lebih baik, Hijriyahnya terlebih dahulu, baru kemudian Masehinya.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Jalan Mendaki Menuju Ridha Ilahi
Kaum muslimin juga hendaknya mengenalkan dan mengajarkan Kalender Hijriyah ini kepada anak-anak muslim. Sehingga dengan demikian lambat laun pemakaian kalender Hijriyah ini akan merata. Dengan menggunakan Kalender Hijriyah yang diamanatkan pertama kali oleh Khalifah Umar bin Khattab, berarti kita menghargai sekaligus mentaati apa yang telah diputuskan oleh Khalifah serta para sahabat lainnya.
Hadirin yang berbahagia,
Adapun perguliran tahun baru Hijriyah mengingatkan kita pada suatu kisah spektakuler dalam tarikh perjuangan Islam, yaitu peristiwa “Hijrah” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat dari Mekkah ke Yatsrib (Madinah) pada tahun 1 Hijriyah (bertepatan dengan tahun 622 Masehi).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan tidak kurang dari 30 kali perkataan hijrah atau pecahan dari kata hijrah di dalam Al-Quran. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya masalah hijrah dalam syariat Islam.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Akhir Kehancuran Negara Zionis
Banyak makna dan pelajaran berharga yang dapat kita ambil dari peristiwa Hijrah.
Pertama, hijrah merupakan tonggak monumental dan memiliki makna yang sangat berarti bagi perjuangan muslimin
Fase hijrah merupakan kebangkitan Islam yang semula diliputi suasana dan situasi tidak kondusif di Makkah menuju suasana prospektif di Madinah.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menyebut hijrah Nabi sebagai al-hijrah al-haqiqiyyah (hijrah sejati). Alasannya, hijrah fisik sekaligus refleksi dari hijrah maknawi itu sendiri. Dua makna hijrah tersebut sekaligus terangkum dalam hijrah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya ke Madinah.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Memberantas Miras Menurut Syariat Islam
Secara makani (fisik), mereka berjalan kaki dari Mekkah ke Madinah, menempuh padang pasir sejauh kurang lebih 450 km. Secara maknawi juga jelas, mereka berhijrah demi terjaganya misi Islam.
Dalam mengembangkan dakwah menyeru ke jalan Allah, para Nabi utusan Allah juga melakukan hijrah perpindahan secara dinamis dari satu tempat ke tempat lain. Di antaranya adalah Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam yang terkenal dalam sejarah karena perjalanan hidupnya yang penuh dengan ujian dan tantangan.
Adalah Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam yang berhijrah dari Babylonia (Iraq) menuju kawasan Baitul Maqdis (Palestina).
Allah mengabadikannya di dalam ayat :
Baca Juga: Khutbah Jumat: Menyongsong Bulan Solidaritas Palestina
فَآمَنَ لَهُ لُوطٌ وَقَالَ إِنِّي مُهَاجِرٌ إِلَى رَبِّي إِنَّهُ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Artinya : “Maka Luth membenarkan (kenabian)-nya. Dan berkatalah Ibrahim: Sesungguhnya aku akan berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku (kepadaku); sesungguhnya Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS Al-Ankabut [29] : 26).
Selanjutnya, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam juga melakukan hijrah beberapa kali, dari Palestina ke Mesir, dari Mesir kembali Palestina lagi. Termasuk, hijrah beliau dari Palestina menuju Mekkah yang dalam perkembangannya menjadi syariat haji. Kembali lagi ke Palestina, dilanjutkan kembali ke Mekkah.
Nabi Musa ‘Alaihis Salam juga mendapatkan perintah dari Allah untuk berhijrah dari negeri Fir’aun di Mesir menuju Perbatasan Palestina, melalui Jordania. Allah menyebutkannya di dalam ayat :
Baca Juga: Khutbah Jumat: Perintah Berhati-hati dalam Menyebarkan Informasi
وَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ يَسْعَىٰ قَالَ يَا مُوسَىٰ إِنَّ الْمَلَأَ يَأْتَمِرُونَ بِكَ لِيَقْتُلُوكَ فَاخْرُجْ إِنِّي لَكَ مِنَ النَّاصِحِينَ. فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفًا يَتَرَقَّبُ ۖ قَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Artinya : “Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata: “Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah [dari kota ini] sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu”. Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdo’a: “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu”. (QS Al-Qashash [28] : 20-21).
Sebuah perjalanan membangun peradaban atas semangat loyalitas, kesetiaan, keimanan, dan ketha’atan yang berujung pada sesuatu lebih baik atas ridha Allah.
Kitapun dituntut untuk berhijrah dari sistem jahiliyah menuju sistem Islam secara keseluruhan (kaffah). Mulai dari sistem pendidikan, ekonomi, budaya, kemasyarakatan, dan lain sebagainya ke dalam kesempurnaan Islam berlandaskan Al-Quran dan As-Sunnah. Hijrah pula dari hal-hal yang dilarang Allah menuju hal-hal yang diperintahkan-Nya. Hijrah dari perbuatan yang mubadzir dan mafsadat (merusak), menuju amal sholih yang lebih bermanfaat.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Memperkuat Pembelaan terhadap Masjid Al-Aqsa dan Palestina
Intinya hijrah meningalkan segala yang dilarang Allah menuju yang Allah perintahkan. Seperti disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam :
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
Artinya : “Seorang muslim adalah orang yang menjadikan muslim lainnya merasa selamat dari lisan dan tangan (perbuatannya). Sedangkan muhajir (orang yang hijrah) adalah orang yang meninggalkan segala yang dilarang Allah”. (HR Muttafaqun ‘Alaih).
Kedua, hijrah mengandung semangat perjuangan (ruhul jihad) dan rasa opimisme yang tinggi
Baca Juga: Khutbah Jumat: Menjadi Umat Unggul dengan Al-Qur’an
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya telah melawan rasa sedih dan takut dengan berhijrah, meski harus meninggalkan tanah kelahiran, sanak saudara dan harta benda yang dicintainya. Namun, Allah, Rasul-Nya, dan jihad fi sabilillah lebih dicintai dari semua daya pikat dunia.
Mereka sangat menikmati bagaimana mengamalkan ayat :
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Artinya : ”Katakanlah : jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”. (Q.S. At-taubah [9] : 24 ).
Baca Juga: Khutbah Jumat: Perintah Makan yang Halal dan Thayib
Ketiga, hijrah mengandung semangat persaudaraan
Ini seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada saat beliau mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar dalam ikatan satu kesatuan umat secara terpimpin(jama’ah) berlandaskan takwa kepada Allah.
Karenanya, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berhijrah dari Mekkah ke Madinah, langkah awal yang dilakukan beliau setelah membangun masjid sebagai sentral perjuangan kaum muslimin, adalah mempersaudarakan kaum pendatang (Muhajirin) dengan kaum pribumi (Anshar).
Adapun maksud beliau mengadakan persaudaraan itu adalah, untuk: (1) melenyapkan rasa asing pada diri sahabat muhajir di daerah yang baru yaitu kota Madinah, (2) membangun rasa persaudaraan antara satu sama lain di dalam agama Allah, (3) agar satu sama lain saling tolong-menolong, yang kuat menolong yang lemah, yang mampu menolong yang kekurangan, dan sebagainya.
Semangat persaudaraan sesama orang-orang beriman Allah tegaskan di dalam Al-Quran :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (QS Al-Hujurat [49] : 10).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali [agama] Allah seraya berjama’ah, dan janganlah kalian bercerai berai, dan ingatlah akan ni’mat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu [masa Jahiliyah] bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati kalian, lalu menjadilah kalian karena ni’mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk”. (QS Ali Imran[3] : 102-103).
Hadirin rahimakumullah.
Demikianlah, semoga kehadiran Tahun Baru Hijriyah ini mampu menumbuhkan optimisme perjuangan membangun peradaban masyarakat dengan berlandaskan nilai-nilai ukhuwah Islamiyah, rahmatan lil ‘alamin, umat Islam yang satu dan persatuan kesatuan umat Islam yang tidak mudah dipecah-belah. Aamiin yaa robbal ‘aalamiin. (T/P4/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)