Kisah 70 Tahun Lalu, Timnas Indonesia di Olimpiade Melbourne

Timnas Indonesia di Olimpiade Melbourne 1956.(Foto: FIFA)

Melbourne 1956, adalah sejarah di mana Timnas Indonesia menjadi buah bibir dunia. Pertarungan tim sepak bola antara Indonesia melawan Soviet menjadi permainan yang menarik kala itu. Indonesia yang tidak diperhitungkan sama sekali harus bertemu tim beruang Uni Soviet yang digjaya.

Pada laga tanding yang dihelat di Olympic Park Stadium Melbourne, Australia, 29 November 1956, Merah putih sukses menahan imbang Soviet tanpa gol. Setelah laga dilanjutkan sampai tambahan waktu pun, kedudukan tak berubah.

Tak mau kalah dari Unit Soviet hingga tiupan peluit terakhir tambahan waktu, menjadi buah bibir di mana-mana. Para atlet Olimpiade Melbourne 1956 bergosip tentang mengesankannya pertahanan Timnas Sepak Bola Indonesia.

Presiden FIFA, Sir Stanley Rous juga melontarkan pujian betapa sempurnanya pertahanan tim Garuda.

Saat itu, tidak seperti aturan sekarang dalam dunia sepak bola. Belum ada aturan penentu kemenangan dengan adu penalti, seperti sukses Timnas U23 asuhan Shin Tae Yong menyingkirkan Korea Selatan dalam drama adu penalti.

Baca Juga:  Israel Tembaki Warga Sipil Gaza yang Sedang Cari Sinyal Internet

Pertandingan Garuda melawan Uni Soviet harus diulang dalam dua hari berselang. Pesepakbola Indonesia punya dua hari untuk istirahat dan mengatur strategi bagaimana menaklukan Uni Soviet. Namun, mata-mata sepak bola Soviet ketika itu berhasil mencuri strategi bagaimana membobol pertahanan Indonesia.

Akhirnya Garuda pun takluk dari beruang Soviet dengan skor telak 0-4. Kisah 70 tahun yang lalu itu, menjadi sejarah tak terlupakan bagi orang Indonesia yang saat kini berusia senja. Kisah heroik yang patut dikenang di kancah sepak bola dunia.

Soviet ketika itu adalah tim papan atas di dunia. Mereka memiliki sosok kiper legendaris, Lev Yashin. Sementara Timnas Indonesia saat itu sama sekali tidak dianggap sebagai tim yang hebat di mata dunia. Meski demikian, heroisme Garuda melawan Soviet ketika itu mendapat pujian dari Presiden FIFA periode 1961-1974, Sir Stanley Rous.

Baca Juga:  Kevin Sanjaya Resmi Mundur dari Pelatnas PBSI

Dua dasawarsa kemudian, Indonesia punya peluang lolos ke ajang olimpiade. Timnas Indonesia gagal mendapat tiket ke Olimpiade Montreal 1976 setelah dikalahkan Korea Utara melalui adu penalti pada babak final pra Olimpiade Grup II Zona Asia.

Laga yang dihelat di Stadion Utama Gelora Bung Karno, 26 Februari 1976 tersebut berlangsung sengit. Kedua tim bermain dengan gaya yang kontras. Korea Utara bermain defensif dan mengandalkan serangan balik cepat.

Sementara, Indonesia mengandalkan agresivitas dan kecepatan para pemain mereka, terutama dari sektor sayap.

Pada adu penalti, Indonesia kalah 4-5 dari Korea Utara setelah eksekusi penalti Oyong Liza, Anjas Asmara, dan Sueb Rizal gagal membobol gawang Jin In Chol.

Sejak saat itu, langit-langit Merah Putih tidak pernah lagi menyaksikan kehadiran Timnas Indonesia di panggung Olimpiade.

Baca Juga:  Hai Israel, Apa Salah Indomie?

Kini sejarah hampir berulang, Indonesia harus menghadapi Irak dalam perebutan posisi ketiga, jika menang melawan Irak Timnas akan memastikan tiket ke Olimpiade 2024 di Paris, sebuah kesempatan emas untuk mengubah sejarah.

Tentu, tidaklah mudah. Irak adalah lawan yang tangguh, dengan tekad yang sama kuatnya The Lions Mesopotamia (julukan Timnas Irak) dipenuhi para pemain bintang yang merumput di Eropa.

Dari 26 pemain Timnas Irak tersebut, mayoritas bermain di liga luar negeri. Selain di liga-liga Eropa, sejumlah pemain juga memperkuat tim-tim Asia, seperti Ali Adnan, yang bermain di Liga Iran, hingga Frans Putros di Liga Thailand.

Pertandingan Kamis malam nanti akan menjadi panggung bagi dua tim yang tidak akan mundur di hadapan tantangan apa pun. Semua mata akan tertuju pada Stadion Abdullah bin Khalifa, Doha, Qatar, ketika dua kekuatan bertemu dalam perang penuh gengsi dan ambisi.

Penantian panjang setelah 70 tahun berlalu, akankah kepak sayap Garuda mampu terbang menuju Olimpiade Paris? Kita doakan! []

Wartawan: Arif Ramdan

Editor: Rana Setiawan