Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Masjid-masjid di Jakarta, ternyata menjadi ujung tombak yang berperan sebagai lembaga yang menyediakan posko penampungan korban banjir.
Tidak hanya tenda-tenda pengungsian yang dibangun oleh Dinas terkait setempat dan Palang Merah Indonesia (PMI), warga juga menempati rumah ibadah berupa masjid dan Mushala.
Seperti di Masjid Raya “Uswatun Hasanah” yang berlokasi di di Jalan Raya Daan Mogot KM 10 No 100, Jakarta Barat. Sekretaris Masjid Raya Uswatun Hasanah, Firmansyah mengatakan, masjid tersebut rutin menjadi tempat mengungsi warga lima tahun terakhir, setiap kali bencana banjir terjadi.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Sebagai induk dari masjid-masjid yang tersebar di Tanah Air, Dewan Masjid Indonesia (DMI) mengapresiasi langkah masjid-masjid, khususnya di Jakarta, membuka tempat penampungan korban banjir.
Menurut Ketua DMI, Andy Mappaganty, hal itu selaras dengan hasil muktamar DMI beberapa waktu lalu. “Masjid itu tempat pelayanan masyarakat. Sekarang di mana-mana masjid menjadi tempat penampungan korban banjir,” ujar Andy.
Masjid Al-Barokah, Jalan Warakas 5 Gang 06 RT08/RW 09, Kelurahan Warakas, Kecamatan Tanjung Priuk, Jakarta Utara, juga menjadi posko pengungsi banjir Jakarta.
Warga yang meliputi balita hingga lansia mengungsi ke Posko di Masjid Al-Barokah yang menampung sekitar 200 warga dari RW 09.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Masih banyak masjid-masjid dan mushala Jakarta yang membuka diri untuk menampung warga yang menjadi korban banjir, bahkan menampung warga non-Muslim sekalipun.
Terkait masjid dan banjir, kali ini penulis mengemukakan tiga kisah masjid dari 816 masjid Jakarata yang terdaftar di Sistem Informasi Masjid Kementerian Agama RI.
Masjid Nuruljannah, terkepung banjir hingga pengembang
Sebuah mushala berukuran 6 x 4 meter dibangun di pinggir rawa di Kapuk Muara, Jakarta Utara pada 1981. Namanya Nuruljannah.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Pada tahun 1990, seorang warga Jatimulya Tangerang, HM Yusuf, mewakafkan tanah miliknya yang ada di lokasi mushala. Maka mushala pun dibangun menjadi Masjid Nuruljannah.
Kegiatan pengajian agama terselenggara aktif di masjid di bawah asuhan (alm) Ustadz Muhammad Sahlan Abu Thoro, membina para pemuda lingkungan sekitar. Juga dibuka Madrasah Ittiqon dengan murid seratus lebih.
Namun, lingkungan dan suasana masjid yang penuh dakwah harus terusik oleh banjir yang pertama kali datang di musim hujan, setelah di sisi utara masjid diurug dan dibangun kawasan ruko oleh pengembang Duta Harapan Indah (DHI).
Pembangunan itu membuat area resapan dan tampungan air yang berupa rawa, semakin menyempit. Masjid Nurul Jannah dan lingkungan warga jadi rawan kebanjiran. Untuk mencapai masjid, harus melalui jembatan kayu bahkan ketika jembatan rusak warga harus menerobos rawa dari jalan raya.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Dalam kondisi lantai masjid yang terendam banjir, shalat berjamaah lima waktu pernah dilaksanakan di atas deretan meja-meja madrasah. Shalat Jumat memakai rumah warga yang bersebelahan dengan masjid.
Pada 2001, kubah masjid yang setinggi tiga meter akhirnya dibongkar dan menjadi lantai masjid. Shalat Jumat pada waktu itu harus dilaksanakan tanpa adanya atap. Khatib Jumat sekaligus Ketua Masjid Nurul Jannah, Ustad Nana Supena, berkhutbah menggunakan payung karena panasnya terik matahari.
Sejak banjir tahun 2000-an, Masjid Nurul Jannah menjadi tempat penampungan warga yang menjadi korban rutin banjir Jakarta.
Pada banjir Jakarta 9 Februari 2015 ini, sekitar 25 Kepala Keluarga (KK) mengungsi ke masjid, menyisakan dua shaf untuk shalat berjamaah. Bahkan hingga hari keenam, masih ada beberapa KK yang tinggal sementara di masjid.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Yayasan Nurani Dunia, pimpinan Imam Prasodjo tidak lepas pula menggelontorkan bantuannya untuk masjid ini.
Kini lokasi Masjid Nurul Jannah dan lingkungan warga sekitarnya, seperti “dasar mangkok” yang terkepung oleh kawasan ruko DHI dan area pemukiman, sehingga rawan oleh banjir tahunan Jakarta.
Namun demikian, Ustad Nana mengakui ada kemajuan dibandingkan banjir di tahun-tahun sebelumnya.
“Tapi sekarang mendingan, sudah banyak pompa penyedot air, jadi banjir menggenang hanya sebentar. Hanya itu kemajuannya,” kata Ustad Nana kepada Mi’raj Islamic News Agency (MINA).
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Menurut Yusuf Ibrahim – tokoh masyarakat – selain faktor alam, memang harus diakui kesadaran warga kurang, seperti pembuangan sampah yang tidak teratur. Termasuk pembangunan yang kurang memperhatikan lingkungan.
“Jika pembangunan memperhatikan lingkungan, seperti adanya saluran pembuangan air yang baik, pasti tidak masalah,” kata Yusuf.
Masjid Nurul Jannah terpaksa menjadi tempat yang terendah, seperti mangkok. Masjid ini menjadi basis kekuatan warga tetap bisa bertahan di lokasi itu.
Sebab, menurut Yusuf, pengembang sudah mengelilingi lingkungan mereka. Dan pembangunan pengembang tidak akan sempurna jika masjid dan sejumlah pemukiman warga masih ada di tengah-tengah.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Posisi yang terkurung membuat warga tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan ada warga yang terpaksa menjual tanahnya kepada pengembang.
“Yang kami harapkan, selain pemerintah bertindak cepat dengan pompanya, kami juga berharap di sini ada fasilitas-fasilitas sosial yang ketika kita butuhkan, ada. Seperti perahu yang bisa berfungsi untuk membeli kebutuhan,” tambah Yusuf.
Masjid Nuruljannah menjadi sangat penting, karena masjid ini menjadi basis dakwah yang sesuai sunnah di bawah asuhan (alm) Ustad MS Abu Thoro.
Dakwah tauhidnya yang halus dan santun dapat mengubah pola pikir klenik dan syirik masyarakat sekitar menjadi masyarakat yang mengerti sunnah. Terutama dalam praktek shalat berjamaah dan pelurusan akidah dalam pelaksanaan acara aqiqah, pesta pernikahan dan takziah kematian.
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
Setelah Ustad MS Abu Thoro wafat pada 1991, dakwah itu terus dilanjutkan oleh murid-muridnya yang dipimpin oleh Ustad Nana.
Masjid At-Taqwa, terendam banjir sejak 1968
Akan sedih jika mengetahui, sebuah masjid selama berpuluh-puluh tahun selalu terendam oleh banji tahunan Jakarta, apakah terendam beberapa hari ataukah hanya sehari.
Masjid bernasib malang itu adalah Masjid At-Taqwa yang berdiri di Tomang Banjir Kanal Rt 001/011, Kelurahan Tomang, Jakarta Barat, tepatnya di belakang bangunan megah mall Roxy Square.
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu
Untuk banjir 9 Februari 2015, masjid ini terendam hanya satu hari. Ketua Masjid At-Taqwa, Amrullah, mengakui sekarang banjir cepat surut. Hal senada juga diaminkan oleh warga dan jamaah masjid, Pujono.
Setiap hujan lebat, masjid berpotensi terendam air. Sejak 1997, genangan air di waktu banjir menjadi lebih lama.
Namun pada tahun 2007, masjid harus terendam lama, sehingga warga mengungsi ke Mall Roxy Square selama delapan hari. Hal itu terjadi ketika tanggul Sungai Ciliwung jebol.
“Pembangunan Roxy Square tidak mempengaruhi banjir di sini, justeru membantu jadi tempat pengungsian,” kata Amrullah yang juga Ketua Rt 001/011 ini.
Baca Juga: RSIA Indonesia di Gaza, Mimpi Maemuna Center yang Perlahan Terwujud
Selain berposisi di pinggiran Sungai Ciliwung, masjid juga berada di bawah aliran listrik sutet (saluran utama tegangan tinggi).
Masjid dibangun bukan di atas tanah wakaf, tapi tanah garapan warga yang memang diperuntukkan untuk dibangun masjid. Selama masjid masih digunakan, maka pemilik atau ahli warisnya tidak boleh mengambilnya. Tapi jika masjid sudah tidak digunakan lagi, maka pemilik atau ahli warisnya bisa mengambil tanah itu kembali.
Ketika banjir sering melanda, kebanyakan mushala dan masjid akan meninggikan pondasinya. Namun yang menjadi pertanyaan, kenapa sekian puluh tahun sering kebanjiran, Masjid At-Taqwa tetap bertahan dengan ketinggian lantainya. Bahkan lantai utama tempat shalat lebih rendah dari jalan.
“Alasan utama tidak ditinggikannya masjid adalah tidak ada dananya,” jawab Amrullah ketika wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA) menanyakan alasan itu.
Sejauh ini, tidak ada instansi atau lembaga-lembaga yang menyalurkan bantuan besar kepada masjid, sehingga kondisinya seperti itu saja.
Status tanah masjid yang bukan wakaf, menjadi kendala tersendiri untuk mengajukan permohonan bantuan secara resmi.
Namun gebrakan pemerintah ibukota Jakarta di masa-masa gubernur sebelum Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama, telah berhasil membuat banjir lebih cepat surut dari sebelumnya.
Pengadaan pompa penyedot air dan pembangunan tanggul di era Gubernur Sutiyoso, penambahan pompa dan penyempurnaan tanggul di era Gubernur Fauzi Bowo, serta relokasi waduk di era Joko widodo, membuat banjir semakin cepat surut jika datang.
“Intinya jika air Sungai Ciliwung tidak lebih tinggi dari tanah pemukiman, maka tidak akan banjir,” kata Amrullah.
Tiga masjid penjaga sunnah
Antara Masjid Nurul Jannah di Jakarta Utara dengan Masjid At-Taqwa di Jakarta Barat, meski berbeda nasib hari ini, tapi keduanya memiliki kesamaan, yaitu sama-sama memilihara tata cara ibadah sesuai sunnah, sesuai apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Hal itu terlihat dari penjagaan kemurnian akidah dan tata cara ibadah melalui pelaksanaan pengkajian ilmu Al-Quran dan hadits setiap pekan dan bulanan yang sifatnya lebih besar.
Memperjuangkan masjid agar terbebas dari praktik-praktik yang tidak pernah diajarkan dalam Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tidaklah mudah. Membutuhkan kegigihan untuk melepas keyakinan takhayul dan klenik dari budaya masyarakat, setidaknya budaya itu tidak sampai masuk ke dalam lingkungan masjid.
Jika Masjid Nuruljannah dan At-Taqwa akrab oleh banjir tahunan ibukota Jakarta, maka berbeda dengan Masjid Al-Jihad, Kamal Muara.
Masjid Al-Jihad, membangun dengan modal nol Rupiah
Pada tahun 1998, dimulailah pembangunan Masjid Al-Jihad dengan modal uang hanya ratusan ribu belaka.
Masjid Al-Jihad berlokasi di Kamal Muara, Kecamatan Penjarigan, Jakarta Utara.
Dengan prinsip menghindari bantuan dana dari meminta di jalan raya, warga Kampung Baru bahu membahu membangun masjid yang dipimpin oleh Abu Dzar, warga Palmerah, Jakarta Barat, orang yang diberi kepercayaan wakaf tanah.
Kekurangan biaya dalam pembangunan, terasa sangat teringankan oleh sumbangan tenaga dari berbagai pihak, baik oleh warga sekitar pembangunan, maupun tenaga-tenaga yang datang dari luar Kamal Muara. Tenaga-tenaga sukarelawan biasanya datang di hari-hari tertentu, seperti di hari-hari libur.
Pada tahun 2000, akhirnya masjid sudah bisa digunakan untuk shalat berjamaah.
Namun perubahan iklim yang cepat dan berangsur semakin turunnya tanah Jakarta, kawasan Kamal Muara sangat rawan banjir air rob, air pasang laut.
Semakin tahun, air rob semakin rutin menjadi banjir dan ketinggiannya membuat banjir semakin dalam.
Ada bulan-bulan tertentu ketika air rob naik cukup tinggi, imbasnya Masjid Al-Jihad mulai kemasukan banjir.
Bagi masyarakat biasa, menjadi keanehan tersendiri terkait banjir rob. Awalnya rob besar hanya datang tiga hari dalam beberapa bulan, tapi kemudian bisa datang setiap bulan. Bahkan ada masanya rob datang tiga hari dalam sepekan.
Pada tahun 2012, Masjid Al-Jihad sudah tidak bisa dipertahankan, karena dalam beberapa hari banjir rob datang terus menerus.
Akhirnya, pengurus masjid bersepakat membangun ulang pada tahun itu dengan modal pembangunan nol rupiah.
Dengan mengandalkan koneksi dan sumbangan dari warga, Masjid Al-Jihad baru pun mulai dibangun. Panitia pembangunan sama seperti yang dulu, menghindari mencari bantuan dengan meminta di jalan raya.
Upaya mencari bantuan pembangunan dilakukan di berbagai tempat dan lembaga swasta maupun pemerintah. Namun, prinsip tidak mencari bantuan di tengah jalan raya seperti masjid kebanyakan, membuat pembangunan Masjid Al-Jihad berjalan sangat lambat.
Hingga tahun ketiganya untuk renovasi total, masjid belum mencapai 50 persen pembangunan.
Masjid Al-Jihad termasuk masjid yang juga mempertahankan amalan sunnah, bahkan masjid ini pernah diserbu oleh warga kampung tetangga karena mempertahankan tata cara ibadah yang sesuai Al-Quran dan As-Sunnah.
Menurut pemuka agama warga kampung tetangga, kitab ulama mereka lebih benar dari pada Al-Quran.
“Mereka mengatakan kitab mereka lebih baik dari Al-Quran,” kata Abdul Hamid, Ketua DKM Masjid Al-Jihad kepada Mi’raj Islamic News Agency (MINA).
Situasi tegang penuh emosi pada saat itu diperkirakan membuat tokoh agama warga kampung tetangga “gelap pemikiran” hingga bisa tercetus kalimat tersebut.
Perjuangan mencari donasi dengan menghindari cara-cara tidak Islami, bukanlah hal mudah, seperti itulah yang dirasakan oleh Ketua Panitia Pembangunan Masjid Al-Jihad, Ustad Ahmad Ridwan Lubis, yang banyak berkecimpung di dunia pendidikan madrasah. (L/P001/R11)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)