Jatinangor, MINA – Seorang dokter spesialis bedah saraf asal Indonesia, dr. Dany Airlangga, Sp.BS., menceritakan pengalamannya bertugas di Gaza, Palestina. “Di hadapan dua pasien sekarat, kami hanya mampu selamatkan satu,” ungkapnya.
Bukan sekadar cerita kemanusiaan, tetapi deskripsi langsung dari medan genosida sistematis yang terus berlangsung di balik blokade dan serangan brutal Israel.
Pernyataan dr. Dany disampaikan dalam acara “Palestine Day” yang digelar pada Senin (12/5) di Masjid Al-Jabar, Jatinangor, Jawa Barat. Acara tersebut merupakan kolaborasi lembaga kemanusiaan SMART 171 dengan komunitas Baik Berisik dan Temani.id, sebagai bentuk edukasi publik terhadap krisis kemanusiaan di Palestina, khususnya bagi generasi muda.
Dalam testimoninya, dr. Dany mengungkap bahwa impiannya untuk bergabung dengan tim medis kemanusiaan di Gaza telah dipendam sejak 2007. Butuh 18 tahun persiapan mental dan teknis, hingga akhirnya pada Ramadhan 2025, ia berhasil menembus perbatasan dan bertugas di wilayah konflik yang hampir seluruh infrastrukturnya luluh lantak.
Baca Juga: Kepala BPJPH Saksikan Pemusnahan Produk Mengandung Babi
“Dalam sehari, bisa lima sampai sepuluh operasi. Kami hanya punya satu ruang operasi dan SDM terbatas. Ada saat ketika dua pasien dalam kondisi kritis bersamaan, dan kami harus memilih: menyelamatkan satu, dan kehilangan yang lain,” ujarnya lirih, menggambarkan kondisi rumah sakit di Gaza yang kekurangan peralatan, obat, dan tenaga medis akibat blokade ketat Israel.
Pengalaman tersebut, menurutnya, mengguncang dan sekaligus menampar kesadaran pribadi. “Warga Gaza sangat jauh dari keluhan. Berkali-kali mereka ditanya, jawabannya selalu: ‘Alhamdulillah ‘ala kulli hal,’” katanya, sembari mengakui betapa besar ketabahan warga sipil Palestina meski didera tragedi berkepanjangan.
Acara tersebut juga menghadirkan seorang pengungsi Palestina yang kini menetap di Indonesia. Ia membeberkan bahwa lebih dari 90 persen wilayah Gaza telah rata dengan tanah. Akses listrik, air bersih, pangan, dan obat-obatan telah terputus nyaris sepenuhnya.
“Rumah sakit dijadikan target, dokter ditangkap, disiksa, bahkan dibunuh. Salah satunya adalah dr. Hussam Abu Safiya yang hingga kini masih dipenjara dan mengalami penyiksaan oleh Israel,” ungkapnya.
Baca Juga: Ini Penampakan Amunisi yang Meledak di Garut
Lebih dari sekadar seminar atau lomba anak, Palestine Day merupakan upaya kolektif menyuarakan kepedulian. Ada lomba menggambar dan mewarnai untuk siswa, pertunjukan nasyid oleh anak-anak TPA hingga SMA, serta mini rally aksi mahasiswa dari komunitas Student for Justice for Palestine (SJP).
Semua itu dikemas untuk menumbuhkan kesadaran sejak dini bahwa tragedi kemanusiaan di Palestina adalah masalah bersama.
Direktur SMART 171 sekaligus dosen jurnalistik Universitas Padjadjaran, Maimon Herawati, menegaskan bahwa tekanan internasional tidak boleh berhenti.
“Kabar terbaru menunjukkan Israel makin terjepit secara politik dan ekonomi. Bahkan Presiden AS Donald Trump disebut telah menyepakati gencatan senjata dengan Hamas yang memungkinkan akses kemanusiaan melalui Rafah selama 70 hari. Jika AS bisa menekan, mengapa Indonesia tidak bisa menggertak?” tegasnya.
Baca Juga: Ledakan Amunisi tak Layak Pakai di Garut Tewaskan 13 Orang
“Acara ini adalah bentuk nyata bahwa warga Indonesia tidak tinggal diam. Kami ingin anak-anak dan mahasiswa tidak hanya tahu, tapi juga bersuara dengan cara mereka masing-masing,” tambahnya.
Palestine Day ditutup dengan pengumuman pemenang lomba dan aksi solidaritas simbolik yang dipimpin oleh para mahasiswa. Di tengah krisis kemanusiaan global, suara solidaritas dari berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia, menjadi harapan yang terus dijaga agar Palestina tidak terlupakan. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Ulang Larangan Study Tour, Wagub Taj Yasin: Jangan Bebani Orang Tua dan Utamakan Keselamatan