Malak Al-Maut (Malaikat Maut) dulunya, dikatakan oleh para teolog Islam, salah satu malaikat yang disukai Allah, seorang pelayan setia yang dipercayakan untuk memisahkan jiwa orang dari tubuh mereka, ketika waktunya tiba.
Bagi orang baik, dikatakan, malaikat kematian muncul dalam bentuk yang bersahabat, seorang pendamping datang untuk memudahkan jalannya ke sisi lain.
Bagi mereka yang telah berdosa, malaikat itu tampak sebagai binatang yang mengerikan, setan datang untuk menimbulkan penghakiman ilahi dan mengunci jiwa mereka untuk dihukum dalam keabadian.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam
Bagi kebanyakan tahanan di barisan terhukum mati Pakistan, Malaikat Maut tampak sebagai sosok seorang Sabir Masih.
Sejak 2006, Sabir telah menjadi salah satu dari tiga algojo di kota timur Pakistan, Lahore, ibu kota Provinsi Punjab yang berpenduduk paling padat di negara itu.
Meski dia mengatakan bahwa dia tidak mengikuti jejak orang tuanya, tapi dia mengklaim telah menggantung lebih dari 250 orang terpidana mati sejak dia mulai bekerja.
Sabir berasal dari keluarga algojo. Ayahnya, Sadiq, menggantung tahanan selama 40 tahun sebelum pensiun pada tahun 2000.
Baca Juga: Erdogan Umumkan ‘Rekonsiliasi Bersejarah’ antara Somalia dan Ethiopia
Sabir memiliki kakek dan saudara laki-laki yang pekerjaannya sama. Kakeknya, Tara Masih, menggantung Zulfiqar Ali Bhutto, perdana menteri terpilih pertama di Pakistan, pada tahun 1979.
Tara harus diterbangkan dari Bahawalpur ke Lahore, karena algojo di penjara Kot Lakhpat Lahore – ayah Sabir – menolak untuk menggantung pemimpin yang populer tersebut.
Sebagai seorang anak, Sabir selalu tahu bahwa dia akan berakhir dalam bisnis keluarga.
Pertama kalinya mengeksekusi, pria 33 tahun itu membunuh seorang pria, seorang pembunuh yang dihukum mati, tapi ia tidak ingat namanya.
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
“Saya tidak tahu apa-apa pada saat itu. Saya baru saja melihat seorang pria digantung sekali di depan saya,” katanya saat bercerita di rumah pamannya, 25 km di luar Lahore. “Saya melihat (guru saya) mengikat sebuah jerat sekali, kedua kalinya saya yang melakukannya sendiri. Ketika saya menarik tuasnya, saya tidak benar-benar memikirkannya, Anda menarik tuasnya, orang itu jatuh. Fokus saya ada pada tanda dari pengawas penjara.”
Itu adalah hari pertamanya di tempat ia bekerja.
Dalam delapan bulan, dia mengatakan dengan bangga, dia telah mengeksekusi 100 pria.
Namun, pada tahun 2008, pekerjaan Sabir dihentikan tiba-tiba, karena pemerintah Partai Rakyat Pakistan yang baru terpilih melakukan moratorium tidak resmi atas eksekusi mati. Langkah itu tetap berlaku hingga satu serangan besar terjadi pada Desember 2014, ketika orang-orang bersenjata menyerbu sebuah sekolah di Peshawar, menewaskan lebih dari 150 orang, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak.
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
Serangan teroris itu mengejutkan negara tersebut, pemerintah dengan cepat mencabut moratorium hukuman mati, sebagai peringatan kepada anggota kelompok bersenjata seperti Taliban Pakistan dan yang lainnya, karena telah menyerang target negara dan sipil dalam sebuah perang yang telah berlangsung sejak 2007.
Dalam hitungan jam, Sabir berada dalam perjalanan ke Faisalabad dari kampung halamannya di Lahore, untuk mengadakan pertemuan dengan dua orang yang dihukum karena kasus “terorisme”.
Setelah moratorium dicabut, banyak wartawan mendatangi rumahnya. Sabir terpaksa menyelinap pergi dari rumahnya dan menuju ke Faisalabad.
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
“Ini Hukum Negara Kami”
Sejak moratorium dicabut, Pakistan telah mengeksekusi setidaknya 471 orang, menurut Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan (HRCP) yang independen.
Tahun lalu, Pakistan menempati peringkat kelima dalam daftar algojo Amnesty International di seluruh dunia, mengeksekusi setidaknya 87 orang. Hampir semua kasus tersebut ada di provinsi Punjab, tempat Sabir bertugas.
Apakah hukuman mati dibenarkan? Itulah pertanyaan yang ditujukan kepadanya.
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
“Inilah hukum negara kami, apa yang harus saya rasakan tentang hal itu? Tidak apa-apa, ini hanya pekerjaan,” jawabnya.
Namun, ada sedikit keraguan yang ia rasakan, menurutnya pekerjaan itu tidak pantas dia lakukan untuk mencari nafkah.
Emosi Saat Eksekusi
Baca Juga: Trump: Rakyat Suriah Harus Atur Urusan Sendiri
Saat petugas penjara membawa narapidana untuk digantung, dalam semenit Sabir menyiapkan tali. Ia akan mengukur panjang tali dan mengikat simpul berdasarkan tinggi dan berat badan narapidana. Terkadang dia salah melakukannya.
Pengadilan yang adil, bagaimanapun, telah menundukkan sistem peradilan Pakistan, khususnya penggunaan hukuman mati, selama bertahun-tahun.
Tahun lalu, Mahkamah Agung Pakistan membebaskan dua saudara laki-laki, Ghulam Qadir dan Ghulam Sarwar, dari dakwaan pembunuhan, setelah mereka menghabiskan lebih dari 10 tahun dalam status terpidana mati. Yang menjadi masalah, keduanya telah dieksekusi di penjara utama Bahawalpur pada bulan Oktober 2015. Sabir sudah lama lebih dulu menarik tuasnya.
“Saya tidak merasakan apapun,” katanya, saat mendengar kabar tentang pembebasan tersebut. “Jika ada orang yang merasakan ketegangan tentang hal itu, itu adalah inspektur penjara, atau wakilnya, atau menteri utama. Saya tidak mengeluarkan surat perintah hitam.”
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah
Pada saat tertentu, Sabir melihat wajah terpidana mati dari dekat yang tanpa kepura-puraan. Terkadang mereka menangis. Beberapa orang bahkan meminta pengampunan dari Sabir, dari pengawas penjara, dari siapapun yang mau mendengarkan mereka. Namun, para terpidana itu harus menerima nasibnya.
Sementara ada pula yang bangga dan tetap senang dengan perbuatan mereka. Seperti saat mengeksekusi dua pelaku serangan bunuh diri terhadap Presiden Jenderal Pervez Musharraf pada tahun 2004. Mereka digantung pada bulan Desember 2014.
“Mereka datang kepada saya 12 menit sebelum mereka digantung. Mereka mengucapkan slogan, dan saling menyapa dengan gembira, seolah-olah mereka sedang shalat Idul Fitri. Mereka mengatakan bahwa mereka diikat menuju surga,” kata Sabir.
Membela pekerjaannya sebagai algojo di tiang gantungan, Sabir mengatakan, “Saya membunuh orang berdasarkan hukum. Pembunuh telah membunuh dengan pilihan mereka, tapi saya tidak membunuh dengan pilihan saya sendiri.” (A/RI-1/P1)
Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir
Sumber: tulisan Asad Hashim di Al Jazeera
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Agresi Cepat dan Besar Israel di Suriah Saat Assad Digulingkan