MESKI berat terasa olehnya keputusan itu, tapi ia tetap menerima dengan hati yang ikhlas, demi perjuangan membangun peradaban di masa mendatang. Kala itu, tahun 1975, Mohammad Muchdir Alimin sejatinya akan melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi di Lampung yakni Universitas Lampung.
Ia meminta izin kepada orangtuanya untuk belajar di perguruan tinggi, namun saat itu Ustaz Saifuddin Adjukarsa sebagai salah satu sesepuh yang menjadi panutan memintanya fokus membantu merintis perkampungan Muhajirun.
Keputusan untuk tidak melanjutkan kuliah karena saat itu juga kondisi di Muhajirun masih sangat terbatas sumber daya manusianya. Beberapa yang ada di sana masih harus saling menguatkan dan fokus pada perintisan awal kampung tersebut. Jadi, keputusan yang diambil Ustaz Saifuddin saat itu tentu saja setelah melihat kondisi di lapangan yang masih memerlukan banyak tenaga yang bisa diandalkan. Muchdir saat itu adalah pemuda yang bisa diandalkan untuk memaksimalkan perintisan kampung Muhajirun.
”Sebenarnya karena keadaan saat itu juga masih sangat terbatas, ikhwan-ikhwan dan satu sama lain memang harus saling menguatkan. Maka Saya pun mendengar dan taat atas saran dari Ustaz Saifuddin untuk tidak kuliah dan fokus saja dulu membangun pondok pesantren di Muhajirun ini,” kata Muchdir.
Baca Juga: Bashar Assad Akhir Rezim Suriah yang Berkuasa Separuh Abad
Ia mengenang, saat itu, semangat para ikhwan di Lampung sangat luar biasa. Ia masih ingat bagaimana saat ada arahan hijrah ke Muhajirun, semua bergerak tanpa bertanya lagi. Hal itu membuktikan betapa ketaatan kepada perintah pimpinan adalah hal sakral yang tidak boleh diabaikan begitu saja.
”Alhamdulillah, ketika diminta untuk hijrah, semua semangat untuk hijrah. Padahal saat itu ada yang masih berada di pasar, saat mendengar arahan itu, tanpa pikir panjang langsung saja berangkat walaupun hanya membawa tempat tidur dan keluarga saja,” kata Muchdir, mengenang awal kepindahannya ke Muhajirun.
Di kampung yang baru itu, bahkan ada yang terpaksa tidur di tempat terbuka. Beruntung, saat itu cuaca tidak hujan saat malam tiba. Muchdir dan yang lainnya bisa beristirahat di gubuk-gubuk yang telah disediakan.
Pria kelahiran Pringsewu tahun 1956 itu masih sangat muda saat kampung Muhajirun dirintis. Dia masih ingat teman sekolahnya, Sugeng yang kemudian sukses menjadi pejabat di Universitas Lampung. Meski berbeda takdir, namun lelaki beristrikan Tripeni (meninggal tahun 2011) tetap semangat ikut membangun Muhajirun. Dari pernikahannya, ia dikaruniai 12 orang anak, sebuah keberkahan dari Allah.
Baca Juga: Nama-nama Perempuan Pejuang Palestina
Muhajirun kini
Muhajirun yang juga sempat dikenal dengan nama ”Kampung Wahyu” itu kini menjadi kampung muslim yang lebih maju dari kampung-kampung lain di sekitarnya. Bukan hanya telah terbangun gedung-gedung pondok pesantren, tapi di Muhajirun kini telah berdiri Masjid An-Nubuwwah yang mampu menampung lebih dari seribu jamaah shalat dan menjadi masjid terbesar saat ini di Lampung.
Masjid An-Nubuwwah terlihat sangat indah dan memiliki daya tarik tersendiri bagi siapa saja yang berkunjung ke Kampung Muhajirun. Selain masjid nan besar itu, ada beberapa bangunan lain yang kian menambah keyakinan betapa kampung Muhajirun hari ini terus berkembang pesat.
Kampung Muhajirun juga kerap kali dikunjungi beberapa tokoh nasional bahkan internasional, seperti dari Palestina untuk membagi ilmu dan informasi tentang situasi terkini Masjid Al-Aqsha.
Baca Juga: Sosok Abu Mohammed al-Jawlani, Pemimpin Hayat Tahrir al-Sham
Harus diakui, Muhajirun hari ini adalah buah kerja keras dari proses perjalanan panjang dan kucuran keringat para pendahulu di kampung itu. Muchdir bercerita, Muhajirun yang awalnya dirancang sebagai sebuah kompleks pondok pesantren itu mendapat momentum saat ada tawaran tanah dari seorang bernama Pak Angga.
Saat itu, menurut Muchdir diselenggarakan ta’aruf (tabligh akbar) dengan diikuti seluruh jamaah di wilayah Lampung. Ia bersama kawan-kawannya memasang 32 spanduk pengumuman akan didirikan Pesantren di Muhajirun, Lampung Selatan. Spanduk-spanduk tersebut berukuran 8 meter dan terbuat dari belacu (jenis kain yang terbuat dari serat kapas alami dan belum melalui proses pemutihan atau pewarnaan, sehingga warnanya cenderung krem atau keabu-abuan).
”Waktu itu, spanduk-spanduk itu saya buat sendiri, dibantu oleh Basori, meski saat itu Ia tidak ikut ke Muhajirun. Dari 32 spanduk itu, ada yang dipasang di Kedaton, nah dari situlah Pak Angga membaca,” katanya.
Pak Angga adalah administratur NV Pradipa, yang komisarisnya waktu itu bernama Ratu Alamsyah Prawiranegara. Setelah melihat spanduk itu, Ia menemui Ustaz Saepuddin di Pringombo, nama lain dari Pringsewu tempo dulu. Muchdir pun diajak oleh Ustaz Saifuddin bersama-sama dalam pertemuan tersebut.
Baca Juga: Abah Muhsin, Pendekar yang Bersumpah Jihad Melawan Komunis
Dari pertemuan itu, Pak Angga menawarkan tanah untuk pesantren. Ia memiliki tanah yang bisa digunakan untuk membangun pesantren. Bersama Pak Supri, ayahnya Aris, mereka merupakan bagian dari NV Pradipa. NV Pradipa ini adalah perusahaan swasta, dan mereka ingin mendirikan usaha baru di lokasi yang kini menjadi Kampung Muhajirun.
Rencana itu mendapatkan rekomendasi dari Imaam Wali Al-Fattaah, dan tawaran untuk membeli tanah itu disepakati secara kolektif. Awalnya ada tawaran untuk membeli 100 hektare tanah, dengan rencana mewakafkan 2 hektare. Tentu saja prosesnya tidak mudah, karena di samping punya kewajiban untuk mengurus siapa-siapa saja yang akan ikut hijrah, dan tentu saja harus diputuskan secara musyawarah.
”Saya ikut dalam diskusi tersebut meski masih saat itu saya sendiri sebenarnya dalam proses belajar. Belajar memahami setiap permasalahan, dan belajar memahami bagaimana menyelesaikan masalah. Setelah itu, kami menginventarisir ikhwan-ikhwan yang akan ikut serta hijrah ke kampung baru yang kini bernama Kampung Muhajirun,” kata Muchdir.
Sekira tahun 1974, Muchdir masih ingat tidak semua kawan-kawan dalam perjuangan dakwah itu sepenuhnya pindah ke Muhajirun. Sebanyak 37 kepala keluarga kala itu yang siap hijrah ke kampung baru yang baru dirintis tersebut. Hidup di kampung baru dengan segala kondisi yang tidak menentu, tentu menjadi tantangan tersendiri seperti yang dijelsakan di atas.
Baca Juga: Pangeran Diponegoro: Pemimpin Karismatik yang Menginspirasi Perjuangan Nusantara
Demi hijrah ke kampung baru yang belum jelas bakal seperti apa kondisi hidup yang akan mereka alami nanti, maka di antara mereka berusaha mengantisipasi sesuai kemampuan dan apa adanya. Di antara mereka itu ada menjual rumahnya, ada juga yang sengaja langsung mencabut sekolah anaknya untuk dipindahkan ke lokasi kampung baru, padalah kepastian nasib di masa depan belum jelas. Tapi karena keimanan semata dan keyakinan yang sudah teguh akan masa depan, maka semua risiko itu sudah siap mereka tanggung.
Modal Ketaatan
Hijrah itu memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada rasa tak enak, berat melangkah kaki, meninggalkan keluarga besar dan sanak famili. Tapi demi memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya, membangun komitmen ketaatan kepada ulil amri, maka semua rasa yang menyesakkan dada itu bisa ditepis dan menggantinya dengan keikhlasan hatia.
”Hanya bermodal ketaatan dan keyakinan penuh kepada Allah untuk hijrah demi mengembangkan dakwah menebar sunnah hidup berjamaah.” kata Muchdir.
Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat
Saat datang ke Muhajirun pun, Muchdir dan teman-temannya mendapati kawasan hutan bekas perkebunan karet itu sudah berantakan, banyak belukar dan semak-semak cukup lebat. Beberapa pohon sisa-sisa tanaman perkebunan seperti cengkeh dan tumpang sari masih tumbuh di kawasan itu.
”Ternyata, tanah yang kami beli tidak seluas yang diharapkan. Setelah dicek oleh BPN Agraria, tanah yang ada hanya 83 hektare. Meskipun begitu, perjuangan untuk membangun pesantren yang cukup panjang dan kompleks ini masih harus diteruskan dengan semangat juang. Kami berusaha mengupayakan legalitas dan dukungan finansial untuk proses ini,” katanya.
Dari 1974, Muchdir dan beberapa orang yang sudah hijrah ke Muhajirun mulai bergerak ke lokasi perkampungan baru tersebut. Awalnya, hanya ada gubuk yang terbuat dari bahan seadanya. Para penghuninya adalah mereka yang awalnya tinggal di kawsan itu. Muchdir sempat menyayangkan tidak memiliki dokumen foto awal saat perkampungan itu dirintis.
Di tengah proses perjalanan membangun kampung Muhajirun, kata Muchdir ada seseorang yang cukup berperan, seperti Pak Edi dari NV Pradipa. Ia merupakan staf di perusahaan tersebut. Dia adalah teman Muchdir yang ikut bersama Ustaz Saefuddin membangun kampung Muhajirun.
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia
Muchdir masih ingat, ke 37 orang yang datang bersamanya itu langsung membangun tempat tinggal di perumahan NV, yang terletak di depan Imung. Di sana, mereka tinggal di bedeng-bedeng. Beberapa dari mereka sudah pindah dari bedeng tersebut ke lokasi yang lebih baik di depan LPTI. Proses tersebut berjalan cepat dan lancar.
Bersamaan hijrahnya para pengemban dakwah ke Muhajirun, saat itu gagasan untuk mendirikan pesantren pun terus digiatkan. Muchdir bersyukur, hari ini anak-anak Muhajirun sudah mendapat pendidikan yang lebih baik dan bisa kuliah di beberapa kampus ternama di Lampung. Berbeda dengan dirinya yang merelakan tidak kuliah untuk ikut mengawali pembangunan kampung Muhajirun.
Muchdir percaya ketaatan adalah modal untuk meraih impian bagi setiap orang yang sudah mempunyai amir atau pimpinan. Ia juga meyakini bahwa ketaatan dalam melaksanakan amanah dakwah akan berbuah cepat atau lambat. Dia sangat bersyukur karena segala limpahan nikmata yang Ia rasakan hari ini adalah buah dari amaliah di masa awal saat ikut andil membangun Muhajirun.
”Kami sekeluarga tidak pernah merasa khawatir menjalani kehidupan ini selama ketaatan selalu dikedepankan, karena di balik ketaatan yang dikerjakan itu Insya Allah akan ada berkah,” ujar Muchdir.
Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia
Sejak awal, Muchdir fokus menetap di Muhajirun, tidak berpindah-pindah. Hal itulah yang akhirnya mengajarkan Muchdir dan keluarga tentang arti keberkahan hidup yang datang dari ketulusan dalam beribadah. Ia berharap apa yang telah dikerjakannya dapat dilanjutkan generasi berikutnya.
”Saya tidak mengerti bagaimana kami bisa memiliki apa-apa yang kami miliki sekarang. Namun, saya sangat meyakini janji Allah yang pasti akan membantu setiap hamba yang berjuang di jalan-Nya,” ujarnya. [bahron ansori]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya