Oleh: Rendy Setiawan, Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam bersabda, “Hasan dan Husain adalah pemimpin para pemuda penduduk Syurga, dan ayah mereka lebih baik dari mereka.”
Sesungguhnya kehidupan dan kematiannya merupakan gambaran yang indah dari insan yang mulia, penuh pengorbanan, iffah, suci, jiwa yang tenteram dan bersih. Patut baginya memperoleh kedudukan yang tinggi di dunia dan di akhirat, karena dia adalah cucu Rasulullah putera Ali bin Abu Thalib dan Fatimah Az-Zahra, pemimpin pemuda Syurga dan penghulu para syuhada, dialah Husein bin Ali radhiyallahu ‘anhumaa.
Layak baginya memperolehi tempat yang mulia di antara orang-orang soleh, karena beliau meninggalkan jabatan khalifah dengan cara bermandikan darah para syuhada. Beliau mengutamakan meninggikan bendera Islam sebagai ganti mengumandangkan teriakan perang. Hatinya memancarkan rahmat, kasih sayang, kalbunya diliputi dengan perasaan kasih, dan jiwanya penuh dengan sifat keutamaan.
Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat
Kita awali kisah Husain bin Ali dari tahun 60 H, dimana ketika itu, Yazid bin Mu’awiyah dibaiat menjadi khalifah. Yazid yang sudah berumur 34 tahun diangkat oleh ayahnya, Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma sebagai khalifah umat Islam menggantikan dirinya. Ketika Yazid dibaiat ada dua orang sahabat Nabi yang enggan membaiatnya, mereka adalah Abdullah bin Zubeir dan Husein bin Ali bin Abi Thalib ridwanullah ta’ala ‘anhum ajma’in.
Ketika pasukan Yazid bin Mu’awiyah meminta Abdullah bin Zubeir untuk berbaiat, ia mengatakan, “Tunggulah sampai malam ini, akan aku sampaikan apa yang ada di benakku.” Saat malam tiba, maka Abdullah bin Zubeir pergi dari Madinah menuju Mekkah. Demikian pula Husein bin Ali bin Abi Thalib, ketika beliau diminta untuk berbaiat, beliau mengatakan, “Aku tidak akan berbaiat secara sembunyi-sembunyi, tapi aku menginginkan agar banyak orang melihat baiatku.”
Saat malam menjelang, beliau juga berangkat ke Mekkah menyusul Abdullah bin Zubeir. Kabar tidak berbaiatnya Husein dan perginya beliau ke kota Mekkah sampai ke telinga penduduk Kufah. Penduduk Kufah tidak menginginkan Yazid menjadi khalifah bahkan juga Mu’awiyah, karena mereka mengaku sebagai pendukung Ali dan anak keturunannya. Lalu penduduk Kufah pun mengirimi Husein surat yang berisi, “Kami belum berbaiat kepada Yazid dan tidak akan berbaiat kepadanya, kami hanya akan membaiat anda sebagai khalifah.”
Semakin hari, surat tersebut pun semakin banyak sampai ke tangan Husein, jumlahnya mencapai 500 surat. Tidak terburu-buru menanggapi isu ini, Husein mengutus sepupunya Muslim bin Aqil bin Abi Thalib menuju Kufah untuk meneliti dahulu kebenaran berita tersebut. Tibalah Muslim bin Aqil di Kufah dan ia melihat kebenaran berita yang sampai kepada Husein dan mengabarkannya.
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia
Penduduk Kufah pun membaiat Husein melalui Muslim bin Aqil. Kabar dibaiatnya Husein melalui Muslim bin Aqil sampai ke Syam, tempat Khalifah Yazid bin Muawiyah. Ia segera mencopot gubernur Kufah, Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu karena Nu’man tidak mengambil tindakan apa pun atas kejadian itu. Sebagai penggantinya, diangkatlah Ubaidullah bin Ziyad menjadi amir Kufah.
Ubaidullah langsung bergerak cepat hendak mengupayakan penangkapan Muslim bin Aqil. Langkah pertama yang dilakukan Ubaidullah adalah mengintrogasi sahabat-sahabat dekat Muslim. Ia menangkap Hani’ bin Urwah, kemudian menanyai keberadaan Muslim kepadanya. Hani’ bin Urwah bersikukuh tidak akan membocorkan rahasia persembunyian Muslim, akhirnya ia ditahan. Penahanan Hani’ bin Urwah memancing reaksi dari Muslim bin Aqil, ia mengerahkan 4000 orang mengepung benteng Ubaidullah bin Ziyad menekannya agar membebaskan Hani’.
Sayang, kisah penghianatan penduduk Kufah ternyata berulang, mereka yang sebelumnya membaiat Muslim bin Aqil pergi meninggalkannya. Di siang hari saja jumlah 4000 tersebut menyusut hanya menjadi 30 orang dan ketika matahari terbenam tinggallah Muslim bin ‘Aqil seorang diri. Akhirnya ia pun terbunuh.
Sebelum wafat, ia memberi pesan kepada Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash untuk menyampaikannya kepada Husein bin Ali bin Abi Thalib “pulanglah bersama keluargamu. Jangan engkau terpedaya oleh penduduk Kufah. Karena mereka telah berkhianat kepadamu dan kepadaku.”
Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia
Husein radhiallahu ‘anhu bersama 73 anggota keluarganya tetap melanjutkan niatnya menuju Kufah. Pada saat hendak berangkat menuju Kufah, Husein bertemu dan dinasihati oleh beberapa sahabat Nabi agar mengurungkan niatnya menuju Kufah. Di antara sahabat yang menasihati Husein adalah: Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhumaa, “Kalau sekiranya orang-orang tidak mencela aku dan engkau, akan aku ikat tanganku ini di kepalamu. Tidak akan kubiarkan engkau pergi.”
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhumaa, setelah mendengar keberangkatan Husein menuju Kufah, ia bergegas menyusulnya dan berhasil bertemu dengannya setelah perjalanan 3 malam. Abdullah bin Umar bertanya, hendak kemana engkau? “Menuju Irak,” jawab Husein.
Husein mengeluarkan surat-surat penduduk Irak yang menunjukkan mereka berpihak kepada dirinya. Husein mengatakan, “Ini surat-surat mereka, aku akan ke sana dan menerima baiat mereka.”
Abdullah bin Umar tidak setuju dan mengatakan, “Aku akan sampaikan kepadamu sebuah hadis. Sesungguhnya Jibril pernah datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alayhi Wasallam. Ia memberi pilihan kepada Nabi antara dunia dan akhirat, beliau pun memilih akhirat dan tidak menginginkan dunia. Engkau adalah darah daging Rasulullah, demi Allah! Janganlah salah seorang dari kalian (keluarga Nabi) mengambil dunia tersebut atau menggapai bagian yang telah Allah jauhkan dari kalian.”
Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya
Husein pun tetap pada pendiriannya berangkat menuju Kufah. Melihat pendirian Husein, menangislah Abdullah bin Umar dan mengatakan “aku titipkan engkau kepada Allah dari pembunuhan.” Sahabat lainnya Abdullah bin Zubeir juga mengingatkan, “hendak kemana engkau wahai Husein? Engkau mau menemui orang-orang yang telah membunuh ayahmu dan menghina saudaramu (Hasan bin Ali)? Janganlah pergi!.” Namun Husein pun tetap berangkat.
Abu Said Al-Khudriy mengatakan, “Wahai Abu Abdillah (Julukan Husein bin Ali radhiyallahu ‘anhumaa), aku ada sebuah nasihat untukmu dan aku adalah orang yang sangat mencintaimu. Aku mendengar berita bahwa pendukungmu di Kufah menulis pernyataan kepadamu, mereka mengajakmu keluar dari Mekkah dan bergabung dengan mereka di Kufah. Janganlah engkau menemui mereka! Sesungguhnya aku mendengar ayahmu sewaktu di Kufah mengatakan, ‘Demi Allah, aku telah membuat penduduk Kufah bosan dan marah dan mereka pun membuatku bosan juga membuatku marah. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang memenuhi janji.”
Saat Husein hendak melanjutkan perjalanan, sampailah Amir bin Sa’ad, salah seorang utusan dari Muslim bin ‘Aqil. Amir mengabarkan tentang terbunuhnya Muslim bin ‘Aqil dan penghianatan orang-orang Kufah.
Mendengar berita tersebut Husein pun sadar apa yang ia lakukan akan sia-sia, ia pun memutuskan untuk pulang. Namun anak-anak Muslim bin ‘Aqil menginginkan perjalanan dilanjutkan menuntut hukuman atas tewasnya ayah mereka.
Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia
Sampai akhirnya, Husein bin Ali bin Abi Thalib tiba di Tanah Karbala. Mengetahui Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu berangkat menuju Kufah, Ubaidullah bin Ziyad berencana mencegatnya agar tidak memasuki Kufah dengan mengirim 1.000 pasukan yang dipimpin oleh Al-Hurru bin Yazid At-Tamimi kemudian ditambah 4000 pasukan dibawah kepemimpinan Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash.
Saat tiba di Karbala, Husein bertanya tentang nama daerah tersebut, “daerah apa ini?” Orang-orang menjawab, “Ini adalah daerah Karbala.” Husein pun langsung mengatakan, “Karbun (bencana) dan balaa’un (musibah).”
Awal Terbunuhnya Husein
Diintai 5000 pasukan membuat Husein semakin menyadari bahwa janji-janji penduduk Kufah itu hanyalah omong kosong. Apalagi pasukan-pasukan itu sendiri adalah penduduk Kufah yang telah mengiriminya surat.
Baca Juga: Suyitno, Semua yang Terjadi adalah Kehendak Allah
Lalu Husein mengajukan 3 alternatif kepada pasukan Kufah sebagai jalan keluar; pertama, Husein meminta agar pasukan Kufah mengawalnya pulang ke Mekkah (agar ia dan keluarganya terjaga) atau yang kedua, pasukan Kufah mengizinkannya untuk pergi ke daerah perbatasan agar ia bergabung dengan pasukan kaum Muslimin untuk berjihad atau alternatif ketiga, mereka mengizinkannya menuju Yazid agar ia membaiatnya secara langsung.
Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash pun menanggapi positif pilihan yang diajukan Husein, ia mengusulkan agar Husein mengirimkan utusan ke Yazid terlebih dahulu dan ia sendiri mengirimkan utusan ke Ubaidullah untuk memberitakan kabar ini sekaligus alternatif yang diajukan Husein.
Setibanya utusan Umar bin Sa’ad di hadapan Ubaidullah dan menyampaikan apa yang dikehendaki Husein, Ubaidullah pun bergembira dan memberi kemuliaan kepada Husein agar ia sendiri yang memilih sesuai dengan yang ia kehendaki; kembali ke Mekkah atau Madinah, menuju daerah perbatasan, atau menuju Yazid di Syam, ia serahkan kepada pilihan Husein.
Namun, pada saat yang sama penasehat Ubaidullah bin Ziyad yang bernama Syamr bin Dzul Jausyan, seorang yang sangat membenci keluarga Ali bin Abi Thalib, angkat bicara atas keputusan Ubaidullah, “Demi Allah, urusannya tidak demikian, dia yang harus tunduk kepada putusanmu.”
Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi
Maksud perkataan Syamr adalah engkau wahai Ubaidullah adalah pemimpin bukan dia (Husein), jadi dia yang harus tunduk kepada putusanmu bukan sebaliknya. Ternyata Ubaidullah yang tadinya memuliakan Husein berpaling mengikuti saran dari sahabat dekatnya, Syamr bin Dzul Jausyan.
Ubaidullah memutuskan menawan Husein dan dibawa ke hadapannya di Kufah sebagai tawanan kemudian ia yang menentukan kemana Husein seharusnya diasingkan. Setelah sampai perintah Ubaidullah di tanah Karbala, Husein pun menolak kalau dirinya dijadikan tawanan, ia seorang Muslim terlebih ia adalah keluarga Rasulullah.
Karena Husein menolak untuk ditawan, maka pasukan Ubaidullah itu berusaha menangkap paksa dirinya, Husein mengatakan, “kalian renungi dulu apa yang hendak kalian lakukan. Apakah dibenarkan (secara syariat), kalian memerangi orang sepertiku? Aku anak dari putri Nabi kalian dan tidak ada lagi di bumi ini anak dari putri Nabi kalian selain diriku. Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam bersabda tentang aku dan saudaraku (Hasan bin Ali), ‘dua orang ini adalah pemimpin para pemuda penghuni surga.’
Mendengar ucapan Husein, sebanyak 30 pasukan Ubaidullah bin Ziyad termasuk panglima perangnya Al-Hurru bin Yazid At-Tamimi bergabung dengan pasukan Husein. Jadilah pertempuran tidak seimbang antara pasukan Husein berjumlah sekitar 100 orang menghadapi ribuan tentara Ubaidullah bin Ziyad.
Baca Juga: Dato’ Rusly Abdullah, Perjalanan Seorang Chef Menjadi Inspirator Jutawan
Menghadapi kenyataan itu, Husein bin Ali bin Abi Thalib tidak merasa gentar sedikitpun. Ia laksana singa yang menerjang musuh-musuhnya, namun keberanian saja tak cukup untuk mengalahkan tentara Ubaidullah bin Ziyad. Ketika semua keluarganya telah menemui syahid mereka, tinggallah Husein sendiri bersama anaknya yang masih kecil yang sedang sakit.
Akhir Hayat Husein bin Ali
Akhirnya, setelah berjuang menghadapi tentara Ubaidullah bin Ziyad, pada tanggal 10 dari bulan Muharram tahun 61 H, di usianya yang ke 54 tahun 6 bulan, Husein bin Ali terbunuh bersama keluarga Rasulullah yang lain. Seorang yang secara langsung membunuh Husein dan memenggal kepalanya bernama Sinan bin Anas. Kepala Husein kemudian dibawa ke hadapan Ubaidullah bin Ziyad, kemudian Ubaidullah memasukan kayu ke dalam mulut Husain seraya berkata, “alangkah bagusnya gigi ini.”
Salah seorang sahabat Rasulullah yang sudah sangat sepuh, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang menyaksikan kejadian itu berkata, “Demi Allah, aku sering melihat Rasulullah mencium tempat yang engkau masukan kayu itu. Demi Allah, aku akan selalu mendoakan keburukan untukmu.”
Baca Juga: Hambali bin Husin, Kisah Keteguhan Iman dan Kesabaran dalam Taat
Seorang sahabat lainnya mengatakan, “Aku akan sangat malu jika aku termasuk salah seorang dari mereka kemudian Allah memasukanku ke dalam Surga dan bertemu Rasulullah.”
Ketika kabar kematian Husein sampai ke Syam, Yazid bin Mu’awiyah pun terkejut dan menangis. Para ahli sejarah termasuk Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Yazid hanya memerintahkan Ubaidullah bin Ziyad untuk mencegahnya masuk ke Kufah, bukan membunuhnya.” Setelah peristiwa itu Yazid memuliakan keluarga Husein dan mengamankan anggota keluarganya yang tersisa sampai kembali ke Madinah dan Mekkah.
Demikianlah mereka yang mengaku Syiah (Pendukung) Ali dan keluarganya, mereka membelot dan menumpahkan darah Ahlul Bayt Nabi Shallallahu ‘Alayhi Wasallam. Dalam peristiwa ini, ada tiga orang yang berperan besar sehingga cucu Nabi yang mulia ini meninggal dunia. Mereka adalah Ubaidullah bin Ziyad, Syamr bin Dzul Jausyan, dan Sinan bin Anas, ketiga orang ini adalah Syiah (Pendukung) Ali di Perang Shiffin, mereka termasuk dalam barisan pasukan Ali bin Abi Thalib.
Bisa jadi mereka yang meratapi kematian Husein di Hari Asyuraa, menganiaya diri mereka, berandai-andai bersama Husein, dan merasakan penderitaannya. Namun demikian, jika mereka berada di hari tersebut, mereka akan turut serta dalam pasukan Kufah yang membelot dari Husein bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ta’ala ‘anhuma dan kemudian memeranginya. (P011/R01)
Baca Juga: Dari Cleaning Service Menjadi Sensei, Kisah Suroso yang Menginspirasi
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Disarikan dari Buku Inilah Faktanya: Meluruskan Sejarah Umat Islam Sejak Wafat Nabi Hingga Terbunuhnya Husain, karya Syaikh Utsman bin Muhammad Al-Khamis dan sumber-sumber lainnya.