Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kita Lemah Sahabat: Untuk Apa Kita Bangga?

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 24 detik yang lalu

24 detik yang lalu

0 Views

SAHABAT, pernahkah kita bertanya pada diri sendiri: untuk apa sebenarnya kita bangga? Apakah karena harta yang melimpah? Jabatan yang tinggi? Rupa yang indah? Atau relasi luas yang kita punya? (Foto: ig)

SAHABAT, pernahkah kita bertanya pada diri sendiri: untuk apa sebenarnya kita bangga? Apakah karena harta yang melimpah? Jabatan yang tinggi? Rupa yang indah? Atau relasi luas yang kita punya? Semua itu terlihat besar di mata manusia, namun sesungguhnya kecil di hadapan Allah. Kita ini tidak lebih dari sebutir debu yang ditiup angin, rapuh, fana, dan bisa lenyap kapan saja.

Sejak awal kehidupan, kelemahan kita begitu nyata. Saat lahir, kita menangis tanpa daya. Orang tua yang merawat, memberi makan, menjaga, dan mendidik. Tanpa mereka, kita tak mungkin bertahan. Imam Hasan al-Bashri berkata, “Wahai anak Adam, engkau hanyalah kumpulan hari. Setiap hari yang hilang darimu, maka hilanglah sebagian dirimu.” Bukankah ini mengingatkan bahwa kita tidak memiliki kekuatan selain pertolongan Allah?

Ketika tumbuh dewasa, kita sering terjebak dalam ilusi kekuatan. Kita merasa pintar, merasa berhasil, merasa mampu mengatur hidup sendiri. Padahal, Allah berfirman dengan tegas: “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An-Nisa: 28). Lemah adalah identitas asli kita. Maka pantaskah kita berbangga seakan segalanya berasal dari diri kita?

Sahabat, semua yang kita miliki hanyalah titipan. Imam Ibn Qayyim pernah berkata, “Janganlah engkau merasa memiliki sesuatu, karena pada hakikatnya semua hanya titipan Allah. Jika Dia menghendaki, sekejap mata saja Dia mampu mencabutnya.” Maka apa yang kita banggakan dari harta, rupa, jabatan, atau relasi, jika semua bisa hilang dalam sekejap?

Baca Juga: Bagaimana Hamas Putuskan Posisinya terhadap Rencana Trump?

Saat kita menikah, bukankah kita tetap butuh orang lain? Ada wali, saksi, keluarga, dan masyarakat yang mendukung. Kita tidak bisa berdiri sendiri. Bahkan dalam momen paling sakral hidup pun, kita lemah dan bergantung. Begitu pula ketika ajal menjemput, jasad kita tak mampu berbuat apa-apa. Orang lain yang memandikan, mengkafani, menyalatkan, hingga menguburkan. Itulah bukti kelemahan kita.

Lalu, mengapa kita masih sombong dengan apa yang bukan milik kita? Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh menasihati, “Janganlah engkau merasa mulia dengan pakaianmu, makananmu, atau tempat tinggalmu. Karena kemuliaan yang sejati adalah dengan ketaatan kepada Allah.” Maka jelaslah, ukuran kemuliaan bukanlah harta benda, melainkan ketaatan.

Sahabat, kita ibarat debu di padang pasir. Terlihat sekejap, lalu hilang ditiup angin. Ibn Atha’illah dalam Al-Hikam menulis: “Amalmu bukanlah sebab engkau dekat dengan Allah, melainkan kasih sayang-Nya yang mengizinkanmu beramal.” Jadi, bahkan ibadah yang kita banggakan pun bukan murni karena kekuatan kita, tapi karena karunia Allah.

Betapa banyak orang yang bergelimang harta, namun hidupnya hampa. Betapa banyak orang yang tampan dan cantik, namun hatinya gersang. Betapa banyak orang yang berkuasa, namun hatinya gelisah. Sebab semua kebanggaan dunia hanyalah fatamorgana. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Dunia hanyalah tiga hari: kemarin yang telah pergi, esok yang belum tentu engkau temui, dan hari ini yang menjadi kesempatanmu beramal.”

Baca Juga: Relevansi Surat Al-Ahzab 35 di Akhir Zaman

Apalah arti kekayaan jika pada akhirnya harta itu ditinggalkan? Apalah arti jabatan jika pada akhirnya kursi itu diwariskan? Apalah arti rupa jika pada akhirnya wajah itu dimakan tanah? Sahabat, setiap kebanggaan dunia adalah jebakan jika tidak kita sandingkan dengan kesadaran bahwa semua hanyalah titipan Allah.

Kita sering lupa bahwa kita hanyalah musafir. Kita sedang dalam perjalanan menuju akhirat. Ibnul Qayyim menulis, “Dunia adalah ladang, akhirat adalah negeri tujuan, dan manusia adalah musafir. Bekal terbaik mereka adalah taqwa.” Maka, apakah layak musafir berbangga dengan perbekalan remeh, sementara kampung abadi sedang menantinya?

Sahabat, hakikat kekuatan bukanlah banyaknya harta, melainkan kekuatan iman. Hakikat kemuliaan bukanlah tingginya jabatan, melainkan kerendahan hati di hadapan Allah. Hakikat kecantikan bukanlah paras indah, melainkan akhlak mulia. Dan hakikat relasi bukanlah luasnya jaringan dunia, melainkan banyaknya doa dari orang-orang shalih untuk kita.

Imam Malik rahimahullah pernah berkata, “Tidak ada yang lebih mulia daripada seseorang yang Allah jadikan istiqamah di atas jalan ketaatan.” Jadi, jangan salah kaprah. Kemuliaan bukan karena manusia memuji, melainkan karena Allah ridha. Dan keridhaan itu datang dari hati yang tunduk, jiwa yang ikhlas, dan amal yang lurus.

Baca Juga: Zionis Israel, Wajah Busuk Peradaban Modern

Sahabat, setiap detik adalah kesempatan untuk menundukkan hati. Jangan biarkan kebanggaan semu menutupi mata hati kita dari hakikat kelemahan kita. Karena ujung hidup kita bukanlah senyum manusia, melainkan hisab Allah. Dan pada saat itu, semua kebanggaan dunia tidak akan berguna sedikit pun.

Bila hari ini kita memiliki sesuatu, jangan bangga, tapi bersyukur. Bila hari ini kita diberi ujian, jangan putus asa, tapi sabar. Imam Ibnul Mubarak berkata, “Boleh jadi engkau berbangga dengan sesuatu yang justru akan menjadi sebab kehinaanmu di akhirat.” Maka, hati-hatilah dengan apa yang kita banggakan.

Sahabat, mari kita akhiri renungan ini dengan satu kesimpulan: kita benar-benar lemah, dan tidak ada yang bisa kita banggakan kecuali Allah. Harta hanya titipan, jabatan hanya amanah, rupa hanya ujian, dan relasi hanya sarana dakwah. Kebanggaan sejati adalah ketika Allah ridha. Ibnul Qayyim menutup dengan kalimat yang menyejukkan: “Kebahagiaan hati yang hakiki adalah ketika ia bergantung penuh kepada Allah, bukan kepada selain-Nya.”[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Peringatan Rasulullah tentang Fitnah Akhir Zaman

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Tausiyah
Kolom