Jakarta, MINA – Koalisi Nasional Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau (KMNSPT) mendorong peran lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) Nasional dan masyarakat sipil dalam advokasi pengendalian tembakau melalui Mekanisme HAM Internasional PBB.
Hal tersebut ditegaskan dalam Diskusi HAM Nasional yang digelar KMNSPT bekerja sama dengan Rumah Media Indonesia dan lembaga Pengendalian Tembakau International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (The Union) secara hibrida, Kamis (11/8).
Kordinator KMNSPT Ifdhal Kasim mengungkapkan, Indonesia menjadi salah satu negara yang belum meratifikasi FCTC (Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau). Oleh karena lemahnya regulasi tersebut, angka perokok muda di Indonesia sangat tinggi.
“Pengendalian merokok adalah upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, mencegah penyakit yang diakibatkan konsumsi tembakau, melindungi HAM untuk hidup sehat dan melindungi bangsa dan negara dari kerugian ekonomi yang lebih besar,” kata Ifdhal dalam sambutannya.
Dia juga menyampaikan, pengaturan pengendalian tembakau dalam isu peringatan kesehatan bergambar (pictorial health warning), rokok elektrik, dan akses penjualan terhadap anak dan kaum marginal belum memenuhi standar HAM.
Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) merupakan kerangka kerja internasional dalam pengendalian tembakau yang mengikat secara hukum.
Pokok-pokok isi FCTC antara lain: mengatur konsumsi melalui mekanisme pengendalian harga dan pajak; iklan, sponsorship, dan promosi; pemberian label dalam kemasan rokok (peringatan kesehatan); dan mengatur dalam penjualan produk tembakau kepada anak dibawah umur.
FCTC telah diratifikasi oleh 175 negara anggota WHO pada 2003. Namun, hingga saat ini Indonesia Indonesia masih menjadi salah satu dari 10 negara yang belum menjadi party konvensi FCTC.
Baca Juga: Sertifikasi Halal untuk Lindungi UMK dari Persaingan dengan Produk Luar
Negara yang telah menandatangani sebelum tanggal 29 Juni 2004 disebut “telah meratifikasi” FCTC. Sedangkan negara yang menyetujui setelah batas waktu yang telah ditentukan disebut “telah melakukan aksesi” FCTC. Aksesi mempunyai hak yang sama dengan ratifikasi.
Senior Advisor Human Rights Working Group Rafendi Djamin mengharapkan agar aksesi FCTC dapat segera dilaksanakan dan pembahasan RPP Tembakau dapat segera selesai, sehingga dapat segera diberlakukan agar masyarakat Indonesia dapat memperoleh hak untuk hidup sehat, produktif dan harmonis dengan lingkungannya, guna memenuhi kesinambungan pengembangan sumber daya manusia.
Selain itu, Ifdhal Kasim yang juga Ketua Komnas HAM RI Periode 2007-2012 menekankan dampak tembakau bagi HAM terutama hak atas kesehatan. Tembakau telah menjadi epidemi, yang mana terjadi peningkatan prevalensi penyakit tidak menular yang pemicunya dari rokok.
Hal ini tidak hanya menyebabkan anggaran negara yang tergerus untuk pembiayaan kesehatan masyarakat melalui BPJS, namun juga membahayakan anak-anak dan perempuan terutama ibu hamil, melanggar hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta mengerus ekonomi nasional, di mana impor lebih tinggi daripada ekspor.
Baca Juga: Menko Budi Gunawan: Pemain Judol di Indonesia 8,8 Juta Orang, Mayoritas Ekonomi Bawah
“Komnas HAM, sebagai bagian dari tanggung jawab, memberikan perhatian pada hak-hak di dalam kategori ekonomi, sosial dan budaya, salah satunya adalah hak kesehatan sebagai bagian dari hak asasi manusia untuk hidup di lingkungan yang sehat,” ujarnya.
Hak hidup, tidak hanya dikorelasikan dengan pembunuhan dan tindakan kesewenang-wenangan, tetapi juga terkait dengan kondisi suatu negara untuk menghidarkan masyarakat dari kematian yang sebenarnya dapat dicegah, misalnya kematian akibat rokok.
Indonesia menjadi pasar global tertinggi untuk perdagangan rokok dan berdasarkan data BPS pada 2021, masyarakat Indonesia lebih banyak membelanjakan pendapatannya untuk rokok daripada kebutuhan pokok dan pangan yang bergizi.
Direktur Promosi Kesehatan dan pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI Dr Imran Agus Nurali, Sp. KO menyatakan, berbagai upaya telah dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dalam pengendalian produk tembakau.
Baca Juga: Hingga November 2024, Angka PHK di Jakarta Tembus 14.501 orang.
Dia juga mendorong semua elemen masyarakat untuk terus meningkatkan upaya pengendalian tembakau.
Hingga saat ini prevalensi perokok secara nasional masih tinggi yaitu 34,7 persen, dan tercatat sebagai perokok ketiga dunia dan prevalensi perokok lelaki tertinggi di dunia. Begitu juga dengan prevalensi perokok anak masih naik dari 7,2 persen pada 2017 naik menjadi 9,1 persen pada 2018.
Kemenkes juga tengah melakukan peningkatan literasi kesehatan berupa ajakan kepada masyarakat untuk melakukan aktivitas fisik, konsumsi gizi seimbang, kesehatan mental, area bebas dari narkoba, produk tembakau dan alkohol, area bebas dari kekerasan, perundungan dan pelecehan, pengelolaan lingkungan hidup yang sehat, aman dan ramah disabilitas, deteksi dini masalah kesehatan dan tindak lanjutnya serta kesehatan reproduksi.(R/R1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Menag: Guru Adalah Obor Penyinar Kegelapan