Antananarivo, MINA – Krisis politik di Madagaskar mencapai titik balik setelah Kolonel Randrianirina resmi terpilih sebagai Presiden Sementara pada Sabtu (18/10), menandai dimulainya masa transisi militer selama dua tahun di negara kepulauan tersebut. Pergantian kekuasaan ini terjadi setelah gelombang protes besar-besaran mengguncang pemerintahan Presiden Andry Rajoelina yang kini dikabarkan melarikan diri ke luar negeri.
Krisis bermula dari persoalan mendasar yang sudah lama menghantui masyarakat Madagaskar: pemadaman listrik bergilir dan kelangkaan air. Kedua isu tersebut memicu kemarahan publik dan memunculkan demonstrasi besar sejak 25 September 2025. Aksi yang semula damai berubah menjadi kerusuhan setelah aparat keamanan menindak keras massa, menewaskan beberapa demonstran.
Bentrok antara pengunjuk rasa dan pasukan keamanan tak terhindarkan. Lebih dari 100 orang dilaporkan terluka, sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat sedikitnya 22 korban tewas. Namun, Kementerian Luar Negeri Madagaskar meragukan jumlah tersebut dan menyebut data PBB belum terverifikasi secara independen.
Puncak krisis terjadi pada 11 Oktober, ketika sebagian anggota militer menolak perintah untuk menembaki demonstran. Satuan elit CAPSAT (Corps des Personnel et des Services Administratifs et Techniques) justru berbalik mendukung rakyat dan mendorong satuan lain untuk membelot. Situasi ini mempercepat kejatuhan Rajoelina yang pada sore hari dilaporkan meninggalkan negara itu secara diam-diam.
Baca Juga: Lebih dari Satu Juta Perempuan dan Anak Gaza Butuh Bantuan Pangan Mendesak
Sehari kemudian, 12 Oktober, CAPSAT mendeklarasikan diri sebagai Komando Tertinggi Angkatan Bersenjata dan langsung menunjuk kepala staf umum baru untuk memimpin struktur militer. Langkah tersebut diikuti dengan pengumuman pada 14 Oktober tentang pembubaran seluruh institusi negara, kecuali parlemen yang sebelumnya telah memakzulkan Rajoelina.
Kini, di bawah kepemimpinan Kolonel Randrianirina, Madagaskar memasuki babak baru dengan berbagai tantangan berat: menstabilkan keamanan nasional, meredam gejolak sosial, dan menyiapkan fondasi bagi pemerintahan sipil yang demokratis. Dunia internasional, termasuk PBB dan Uni Afrika, menyerukan agar transisi ini dilakukan secara damai dan menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Meski demikian, bayang-bayang ketegangan masih menyelimuti ibu kota Antananarivo. Rakyat Madagaskar menanti apakah pemerintahan sementara ini benar-benar mampu membawa perubahan nyata atau justru memperpanjang siklus krisis politik yang telah berulang dalam sejarah negara itu. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Trump dan Putin Akan Bertemu di Hungaria Bahas Gencatan Senjata Rusia-Ukraina