Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)
Chaim Azriel Weizmann, adalah penemu actone,cairan kimia yang diperlukan dalam proses pembuatan cordite-propelan, eksplosif yang sangat diperlukan dalam semua persenjataan Inggris. Penemuannya dianggap sangat berjasa dalam kemenangan Inggris pada Perang Dunia I (1914-1918). Sebuah perang besar sekutu (Britania-Raya atau Inggris, Perancis dan Rusia, didukung Amerika Serikat) berhadapan dengan aliansi Jerman, Austria-Hongaria dan melibatkan Kekaisaran Ottoman (Utsmaniyah).
Dukungan penemuan Wiezmann, presiden pertama Organisasi Zionis Dunia itu, membawanya mempunyai hubungan akrab dengan para pemimpin Inggris. la yang lahir di Rusia, belajar kimia di Jerman dan sebagai juru bicara Zionis di Inggris, memiliki posisi tawar yang tinggi, karena kemenangan Inggris dalam PD I tersebut tak bisa lepas dari bahan kimia temuannya.
Perdana Menteri Inggris kala itu, David Lyod-George pun setelah menang perang, mengundang Weismann dan menyampaikan penawaran kepada pakar kimia Yahudi itu sejumlah uang sebagai tanda terima kasihnya. Bahkan berjanji untuk memenuhi apa pun permintaan Weismann. Inggris akan berupaya sekuat mungkin mengabulkannya.
Baca Juga: Israel Akui 66 Tentaranya Cedera dalam 24 Jam
Weismann sebagai aktivis Zionisme pun menyambutnya dengan satu permintaan saja, yaitu sebuah ‘rumah’ untuk saudara-saudaranya warga Yahudi yang bertebaran di mana-mana.
David Lyod-George pun segera menghubungi Menteri Luar Negeri Britania Raya (Inggris) Arthur James Balfour dan menyampaikan keinginan Weismann.
Permintaan itu ditanggapi Inggris dengan menawarkan Uganda di Afrika. Namun Weismann menolaknya. Lalu, telunjuknya menunjuk pada peta Palestina. “Kami ingin tinggal selamanya di wilayah ini,” pintanya waktu itu, sesuai dengan target pendiri Zionis Dr. Theodore Herzl.
Balfour sendiri saat itu sempat tertegun dengan permintaan Weismann dan menanyakan hal itu. “Tuan Weismann, mengapa harus Palestina?”
Baca Juga: Menteri Keuangan Israel Serukan Pendudukan Penuh di Gaza Utara
Weismann menjawab, “Tuan Balfour yang mulia, jika saya menginginkan Paris atau London, apakah Anda akan berikan?” Dengan cepat Balfour mengangguk, “Mengapa tidak?” Weismann tersenyum penuh arti. “Terima kasih Tuan Balfour. Namun, kami sudah terlanjur memilih Jerusalem, jauh ketika London masih berupa rawa-rawa. Kami ingin ke sana”.
Tak berselang lama, kemudian terjadilah perjanjian rahasia, yang kemudian bocor, Sykes-Picot antara Inggris dengan Prancis, tanggal 16 Mei 1916.
Inilah perjanjian rahasia yang disetujui juga oleh Rusia. Isinya adalah mendiskusikan pengaruh dan membagi-bagi kawasan Asia Barat dan Arab setelah jatuhnya Turki Utsmaniyah paska Perang Dunia I, yang telah diprediksi sebelumnya. Perjanjian diberi nama sesuai dengan diplomat Inggris Sir Mark Sykes dan diplomat Prancis Fracois Georges-Picot.
Namun setelah pecah Revolusi Bolshevik di Rusia, Rusia mengundurkan diri dari perjanjian tersebut. Para pejuang Bolshevik mempublikasikan perjanjian itu dan mempermalukan Inggris ke dunia.
Baca Juga: Citra Satelit Tunjukkan Penghancuran Sistematis Area Pemukiman Gaza Utara
Sykes-Picot isinya membagi-bagi kue negara-negara Arab. Di antaranya Inggris kebagian wilayah Palestina dan Yordania, sedangkan Lebanon dan Syria jatuh ke tangan Prancis.
Diperkuat dengan data itu, maka Balfour pun menulis secarik kertas pada 2 November 1917, yang kemudian disebut dengan Deklarasi Balfour, Pernyataan Balfour, surat kontroversial ini kemudian dijadikan dalih bagi Yahudi-Diaspora untuk menyerbu Palestina dan mengusir rakyat Palestina dari tanah airnya sendiri.
Surat tersebut, yang sudah diatur sebelumnya oleh Weizmann, ditujukan kepada Lord Rothschild (Walter Rothschild dan Baron Rothschild) pemimpin komunitas Yahudi Inggris, untuk dikirimkan kepada Federasi Zionis Internasional.
Surat itu menyatakan dukungan rapat Kabinet Inggris pada 31 Oktober 1917, bahwa pemerintah Inggris mendukung rencana-rencana Zionis untuk membuat ‘tanah air’ bagi Yahudi di Palestina, dengan syarat bahwa tak ada hal-hal yang boleh dilakukan yang mungkin merugikan hak-hak dari komunitas-komunitas yang ada di sana.
Baca Juga: Paus Fransiskus Serukan Penyelidikan Genosida di Jalur Gaza
“Berikut isi naskah Deklarasi Balfour, yang berupa surat ketikan yang ditandatangani dengan tinta oleh Balfour, sebagai berikut dari sumber Wikipedia yang artinya:
Departemen Luar Negeri 2 November 1917
Lord Rothschild yang terhormat,
Saya sangat senang dalam menyampaikan kepada Anda, atas nama Pemerintahan Sri Baginda, pernyataan simpati terhadap aspirasi Zionis Yahudi yang telah diajukan kepada dan disetujui oleh Kabinet.
Pemerintahan Sri Baginda memandang positif pendirian di Palestina tanah air untuk orang Yahudi, dan akan menggunakan usaha keras terbaik mereka untuk memudahkan tercapainya tujuan ini, karena jelas dipahami bahwa tidak ada suatupun yang boleh dilakukan yang dapat merugikan hak-hak penduduk dan keagamaan dari komunitas-komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, ataupun hak-hak dan status politis yang dimiliki orang Yahudi di negara-negara lainnya.”
Saya sangat berterima kasih jika Anda dapat menyampaikan deklarasi ini untuk diketahui oleh Federasi Zionis.Salam,
Arthur James Balfour.
Baca Juga: Reporters Without Borders Kecam Tuduhan Jurnalis Gaza ‘Teroris’
Selanjutnya, Inggris di bawah pimpinan Jenderal Allenby berhasil masuk ke tanah Palestina, setelah memulai serangan pertama pada 31 Oktober 1917. Ribuan sukarelawan Yahudi bergabung dalam pasukan Allenby itu. Pasukan Allenby pun kemudian berhasil menduduki Palestina sejak Desember 1917.
Pada tahun 1919, selepas Perang Dunia Pertama, kota Al-Quds yang di dalamnya terdapat Masjid Al-Aqsha dan seluruh wilayah Palestina diduduki Inggris.
Setelah Deklarasi Balfour dan masuknya pasukan Allenby bersama sukarelawan Yahudi ke Al-Quds, gerakan Zionisme mulai mendorong migrasi kaum Yahudi ke berbagai wilayah Palestina. Maka, dimulailah perpindahan secara besar-besaran bangsa Yahudi ke Palestina di bawah naungan Inggris dari tahun 1918-1947.
Sekarang, Allenby, diabadikan sebagai sebuah jembatan pintu masuk ke Palestina yang melintasi Sungai Yordan, dan menghubungkan Tepi Barat dengan Yordania, dan diberi nama Allenby Bridge (Jembatan Allenby).
Baca Juga: Rudal Balistik, Roket, dan Drone Hezbollah Hujani Tel Aviv
Sebelumnya, nama gerbang penyeberangan ini pada masa Turki Utsmaniyyah adalah Raja Hussein Bridge (Jisr al-Malik Hussein), yang merupakan satu-satunya titik keluar-masuk untuk ke Tepi Barat Palestina.
Jembatan ini pula yang digunakan oleh wisata asing dari otoritas Israel dan Yordania, yang hendak masuk ke Palestina, termasuk yang akan berziarah ke Masjidil Aqsha di kota tua Al-Quds, dengan izin khusus dari Yordania.
Berawal dari paska Perang Dunia I, Liga Bangsa-Bangsa (selanjutnya PBB), menyetujui Mandat Britania atas Palestina sebagai “negara orang Yahudi”.
Pada tahun 1947, PBB menyetujui pembagian Palestina menjadi dua negara, yaitu satu negara Yahudi dan satu negara Arab (Palestina).
Baca Juga: Kurang Ajar! Tentara Zionis Israel Kencingi Al-Quran
Hingga akhirnya pada 14 Mei 1948, Israel memproklamasikan kemerdekaan Israel secara sepihak, dan ini segera diikuti oleh peperangan dengan negara-negara Arab di sekitarnya yang menolak rencana pembagian tersebut. Namun Israel sudah mempersiapkan segala sesuatunya dibantu Barat, yang kemudian memenangkan perang dan mengukuhkan ‘kemerdekaannya’.
Awal Kolonialisasi
Rentang masa 100 tahun surat kontroversial Balfour itu (2 November 1917), kini (2 November 2017) ditandai oleh warga Palestina dan para pegiat kemanusiaan di seluruh dunia. Sebagai peristiwa yang disebut sebagai awal kolonialisme dan pembersihan etnis Palestina dari negerinya sendiri.
Zena Al-Tahhan, jurnalis dan produser online Al-Jazeera menyatakan, Deklarasi Balfour telah mengubah tujuan Zionis untuk membangun sebuah negara Yahudi di Palestina menjadi sebuah kenyataan ketika Inggris berjanji untuk mendirikan sebuah “rumah nasional untuk orang-orang Yahudi” di sana.
Menurutnya, ini dianggap sebagai salah satu dokumen paling kontroversial dan diperebutkan dalam sejarah modern dunia Arab.
Baca Juga: Brigade Al-Qassam dan Al-Aqsa Hancurkan Tank dan Markas Israel
“Kasus Palestina, bagaimanapun, adalah unik. Tidak seperti mandat pascaperang lainnya, tujuan utama Mandat Inggris adalah untuk menciptakan kondisi untuk pembentukan rumah nasional Yahudi. Padahal komunitas Yahudi saat itu kurang dari 10 persen populasi,” lanjutnya.
Nyatanya, setelah pemberian mandat itu, Inggris mulai memfasilitasi imigrasi besar-besaran Yahudi Eropa ke Palestina. Antara tahun 1922 dan 1935, populasi Yahudi meningkat dari sembilan persen menjadi hampir 27 persen dari total populasi.
Meskipun Deklarasi Balfour memasukkan peringatan bahwa “tidak ada yang harus dilakukan yang dapat mengurangi hak sipil dan agama dari komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina”. Namun faktanya, mengorbankan orang Arab Palestina, warga penduduk setempat.
Beberapa kontroversi secarik surat itu di antaranya seperti dikemukakan akademisi Palestina-Amerika Edward Said, bahwa surat dibuat oleh kekuatan Eropa tentang wilayah non-Eropa dengan mengabaikan kehadiran dan keinginan lebih dari 90% penduduk asli di wilayah tersebut.
Baca Juga: Tolak Wajib Militer, Yahudi Ultra-Ortodoks Bentrok dengan Polisi Israel
Lainnya adalah bahwa deklarasi tersebut merupakan janji perang yang dibuat oleh Inggris. Ketika nanti dilepaskan, Inggris telah menjanjikan kemerdekaan orang Arab dari Kekaisaran Ottoman, seperti pada korespondensi Hussein-McMahon tahun 1915.
Koresponden McMahon-Hussein adalah serangkaian sepuluh surat yang saling dipertukarkan dari bulan Juli 1915 sampai Maret 1916, selama Perang Dunia I, antara Letnan Kolonel Sir Henry McMahon , Komisaris Tinggi Inggris ke Mesir, dengan Hussein bin Ali, Sharif dari Mekkah, dan mengenai status politik tanah di bawah Kekaisaran Otsmaniyah.
Dalam surat-suratnya Inggris setuju untuk mengakui kemerdekaan Arab setelah Perang Dunia I “dalam batas-batas dan batasan yang diajukan oleh Sherif of Mecca”, kecuali “bagian-bagian Syria” yang terletak di sebelah barat “distrik Damaskus, Homs, Hama dan Aleppo”. Ini sebagai imbalan atas peluncuran perlawananan Arab melawan Utsmaniyah.
Ini menunjukkan bahwa memang dua negara Inggris dan Prancis memang telah berencana untuk membagi dan menempati bagian-bagian dari wilayah tersebut, Sharif dan pemimpin Arab lainnya menganggap kesepakatan yang dibuat dalam Koresponden McMahon-Hussein telah dilanggar.
Baca Juga: Menolak Wajib Militer Yahudi Ultra-Ortodok Blokir Jalan di Israel Tengah
Pada tahun 1919, Presiden AS Woodrow Wilson menunjuk sebuah komisi untuk melihat opini publik di Suriah dan Palestina. Investigasi tersebut dikenal dengan sebutan King-Crane Commission. Ditemukan bahwa mayoritas orang Palestina mengekspresikan perlawanan yang kuat terhadap Zionisme. Komisi memberi saran tentang modifikasi tujuan mandat tersebut. Namun dari surat menjadi kolonialisme itu tetap berlangsung tanpa perubahan.
Dalam pandangan Awni Abd al-Hadi, seorang tokoh politik dan nasionalis Palestina, ia mengecam Deklarasi Balfour dalam memoarnya. Ia mengatakan bahwa hal itu dilakukan oleh orang asing yaitu Inggris yang tidak memiliki hak di Palestina, kepada seorang Yahudi asing yang juga tidak memiliki hak untuk melakukannya.
Pada tahun 1920, Kongres Palestina Ketiga di Haifa mengecam pemerintah Inggris yang selalu mendukung proyek Zionis dan menolak pernyataan Balfour tersebut sebagai pelanggaran hukum internasional dan hak-hak penduduk asli.
Namun, sumber penting lainnya untuk mengetahui pendapat Palestina mengenai Deklarasi Balfour tersebut ditutup, seiring dibreidelnya media-media lokal atau di bawah penyensoran militer Inggris.
Pada November 1919, ketika surat kabar al-Istiqlal al-Arabi (kemerdekaan Arab), yang berbasis di Damaskus, dibuka kembali, sebuah artikel mengatakan sebagai tanggapan atas pidato publik oleh Herbert Samuel, seorang menteri kabinet Yahudi, di London pada ulang tahun kedua Deklarasi Balfour. Bahwa, “Negara kita adalah Arab, Palestina adalah Arab, dan Palestina harus tetap menjadi Arab.”
Bahkan sebelum Deklarasi Balfour dan Mandat Inggris, surat kabar pan-Arab memperingatkan terhadap motif gerakan Zionis dan kemungkinan hasilnya dalam menggusur orang-orang Palestina dari tanah mereka.
Tentu, bukan hanya Inggris memang. Sebab Deklarasi Balfour tersebut tidak akan dibuat tanpa persetujuan terlebih dahulu dari kekuatan Sekutu lainnya selama Perang Dunia I.
Seperti disebutkan dalam sebuah pertemuan Kabinet Perang pada bulan September 1917, para menteri Inggris memutuskan bahwa “pandangan Presiden Wilson harus diperoleh sebelum ada deklarasi dibuat”.
Memang, menurut risalah kabinet pada tanggal 4 Oktober, para menteri mengenang Arthur Balfour yang memastikan bahwa Wilson “sangat baik terhadap gerakan tersebut”.
Prancis juga terlibat dan mengumumkan dukungannya sebelum menerbitkan Deklarasi Balfour.
Surat Mei 1917 dari Jules Cambon, seorang diplomat Prancis, kepada Nahum Sokolow, seorang Zionis Polandia, mengungkapkan pandangan simpatik pemerintah Prancis terhadap “penjajahan Yahudi di Palestina”.
Bukan Sekedar Permintaan Maaf
Tidak dapat dimungkiri, Deklarasi Balfour secara luas dilihat sebagai awal musibah Nakba Palestina tahun 1948. Saat kelompok bersenjata Zionis yang dilatih oleh Inggris, secara paksa mengusir lebih dari 750.000 orang Palestina dari tanah air mereka sendiri.
Tidak ada keraguan bahwa Mandat Inggris telah menciptakan kondisi bagi minoritas Yahudi untuk mendapatkan superioritas di Palestina dan untuk membangun sebuah negara untuk diri mereka sendiri atas biaya tersebut.
Seratus tahun sudah, seabad berlalu, penindasan kolonialisme itu masih saja berlangsung, dipertontonkan di hadapan Inggris, AS, Prancis dan PBB, juga lembaga-lembaga HAM dunia.
Bagi orang-orang Palestina, seperti disampaikan Presiden Palestina Mahmoud Abbas dalam peringatan 100 tahun Balfour, kejadian yang dipicu surat tersebut sama dahsyatnya seperti yang telah mereka raih.
Kebijakan Inggris ini, untuk mendukung imigrasi Yahudi ke Palestina sambil meniadakan hak Arab-Palestina untuk menentukan nasib sendiri, menciptakan ketegangan yang parah antara imigran Yahudi Eropa dan penduduk asli Palestina.
“Palestina dan kita orang-orangnya, yang mencari hak kita, yang tidak dapat dicabut untuk menentukan nasib sendiri, malah mengalami malapetaka terbesar Nakba kita,” ujar Abbas dalam pidatonya.
Pada tahun 1948 milisi Zionis dengan paksa mengusir lebih dari 800.000 pria, wanita dan anak-anak dari tanah air mereka, melakukan pembantaian mengerikan dan menghancurkan ratusan desa dalam prosesnya.
“Saya berumur 13 tahun pada saat pengusiran kami dari Safad. Kesempatan di mana Israel merayakan ciptaannya sebagai sebuah negara, kami orang Palestina tandai sebagai hari paling gelap dalam sejarah kita,” lanjut Abbas.
Karena itu, menurutnya, Deklarasi Balfour bukanlah sesuatu yang bisa dilupakan. Saat ini, jumlah orang Palestina lebih dari 12 juta, dan tersebar di seluruh dunia.
Beberapa dipaksa keluar dari tanah air mereka sejak tahun 1948, dengan lebih dari 6 juta orang masih tinggal di pengasingan sampai hari ini. Mereka yang berhasil tinggal di rumah mereka berjumlah sekitar 1,75 juta, dan hidup dalam sistem diskriminasi yang dilembagakan di negara yang sekarang menjadi negara Israel.
Sekitar 2,9 juta orang tinggal di Tepi Barat di bawah pendudukan militer yang kejam, dengan 300.000 dari jumlah tersebut menjadi penduduk asli Yerusalem, yang sejauh ini menolak kebijakan untuk memaksa mereka keluar dari kota mereka. Sementara sekitar 2 juta orang lainnya tinggal di Jalur Gaza, sebuah penjara terbuka terbesar di dunia yang mengalami penghancuran reguler melalui kekuatan penuh aparat militer Israel.
Begitulah, Deklarasi Balfour memberi dampak dan terus-menerus dari sebuah kolonialisme abad modern. Sebuah penciptaan tanah air untuk satu kelompok manusia yang mengakibatkan pencabutan dan penganiayaan terus-menerus terhadap orang lain.
Ketidakseimbangan yang mendalam antara penghuni pribumi dan pendudukan harus diimbangi. Dalam hal ini Inggris bukan hanya dituntut minta maaf. Namun juga harus menanggung banyak tanggung jawab untuk memperbaikinya agar semua orang di negeri Palestina memiliki kebebasan, martabat dan kesetaraan.
Seperti juga dikatakan Mahmoud Abbas pada The Guardian, tindakan fisik penandatanganan deklarasi Balfour memang ada pada masa lalu, dan ini bukan sesuatu yang bisa diubah. Tapi itu adalah sesuatu yang bisa dilakukan dengan benar.
“Ini akan membutuhkan kerendahan hati dan keberanian. Ini akan membutuhkan untuk berdamai dengan masa lalu, mengenali kesalahan, dan mengambil langkah konkret untuk memperbaiki kesalahan tersebut,” lanjut Abbas.
Ia sangat menghargai integritas orang-orang Inggris yang meminta pemerintah mereka untuk mengambil langkah-langkah seperti itu. Umpamanya dengan adanya 274 anggota Parlemen Inggris yang memilih untuk mengakui negara Palestina, ribuan warga Inggris juga telah mengajukan petisi kepada pemerintah mereka untuk meminta maaf atas Deklarasi Balfour. Hingga LSM dan kelompok solidaritas di jalan-jalan, tanpa advokasi tanpa kenal lelah untuk hak-hak kita sebagai warga Palestina.
rong>Penutup: Peran Inggris
Terlepas dari semua itu terkait 100 Tahun Deklarasi Balfour, perjuangan orang-orang Palestina akan tetap teguh. Apalagi sekarang diperkuat dengan makin kokohnya rekonsiliasi Nasional di dalamnya.
Walau sudah hampir 30 tahun ditawarkan solusi dua negara (two state solution), sebuah solusi yang sepertinya menjadi semakin tidak mungkin dilakukan. Sebab nyatanya, Israel masih terus dirayakan dan dihargai, oleh AS dan sekutunya, dan negara-negara lainnya.
Sementara membiarkan lepas dari bertanggung jawab kepada standar universal untuk pelanggaran hukum internasional yang terus berlanjut.
Inilah saatnya pemerintah Inggris untuk melakukan perannya, melalui langkah-langkah konkret untuk mengakhiri pendudukan Israel berdasarkan hukum dan resolusi internasional, termasuk resolusi dewan keamanan PBB yang paling baru 2334, dan mengakui keadaan Palestina di perbatasan 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya. Hingga dapat mengarah pada pemenuhan hak politik rakyat Palestina.
Ini semua justru demi kedamaian dan kepentingan orang-orang Palestina, orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen, dan seluruh wilayah lainnya di kawasan tersebut.
Jangan justru diam saja membiarkan penindasan HAM terjadi di depan mata dunia. Serta jangan pula terpengaruh dengan kunjungan Benjamin Netanyahu ke daratan Inggris dalam episode 100 tahun Balfour tahun ini. (A/RS2/P1)
Sumber: Al-Jazeera, Guardian, Mirajnews, Wikipedia.
Mi’raj News Agency (MINA)