KETIKA dunia telah lama meninggalkan era kolonialisme klasik, Israel muncul sebagai wajah baru penjajahan modern. Berdalih mempertahankan eksistensi dan keamanan nasional, Israel justru menunjukkan praktik-praktik penjajahan yang sistematis terhadap bangsa Palestina. Di tengah kemajuan zaman dan sorotan dunia internasional, praktik kolonial ini terus berlangsung, bahkan semakin brutal.
Konflik Palestina-Israel bermula dari proyek kolonisasi Zionis yang dimulai akhir abad ke-19. Pada 1948, Israel memproklamasikan kemerdekaan di atas tanah Palestina, mengakibatkan lebih dari 750.000 warga Palestina diusir dari tanah mereka, dalam peristiwa yang dikenal sebagai Nakba (malapetaka). Ini menandai awal dari kolonialisme modern yang belum juga berakhir.
Salah satu wajah nyata kolonialisme Israel adalah pembangunan pemukiman ilegal di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Menurut laporan PBB tahun 2023, terdapat lebih dari 700.000 pemukim Israel yang tinggal di wilayah-wilayah pendudukan, yang secara hukum internasional dianggap ilegal. Pemukiman ini mengakibatkan perampasan tanah dan pengusiran warga Palestina dari rumah mereka sendiri.
Organisasi HAM internasional seperti Human Rights Watch dan Amnesty International telah menyatakan bahwa Israel menjalankan sistem apartheid terhadap warga Palestina. Ini merujuk pada kebijakan diskriminatif yang membedakan hak-hak warga Yahudi Israel dan warga Palestina, baik di wilayah pendudukan maupun di Israel sendiri, dari segi akses air, jalan, pendidikan, hingga perizinan bangunan.
Baca Juga: Piagam Jaminan Keamanan Umar bin Khattab untuk Martabat Manusia
Sejak tahun 2007, Israel memberlakukan blokade ketat terhadap Jalur Gaza, dengan membatasi lalu lintas orang dan barang. Blokade ini menyebabkan krisis kemanusiaan yang berkepanjangan. Menurut data PBB, lebih dari 80% penduduk Gaza hidup dalam ketergantungan bantuan kemanusiaan, dengan akses terbatas terhadap listrik, air bersih, dan layanan kesehatan.
Israel juga memonopoli akses terhadap air dan sumber daya alam di wilayah pendudukan. Di Tepi Barat, warga Palestina hanya diperbolehkan mengakses sekitar 20% air yang tersedia, sementara sisanya digunakan oleh Israel dan pemukim ilegal. Perampasan ini bukan hanya eksploitasi, tetapi juga bentuk kontrol kolonial atas kelangsungan hidup rakyat Palestina.
Setiap tahun, ribuan warga Palestina menjadi korban kekerasan tentara Israel. Serangan udara, penggerebekan rumah, penembakan terhadap demonstran, hingga penahanan anak-anak menjadi pemandangan rutin. Menurut data OCHA (Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan), ratusan warga sipil Palestina tewas setiap tahun akibat serangan langsung militer Israel.
Israel rutin menghancurkan rumah-rumah warga Palestina dengan dalih tidak memiliki izin. Padahal, izin bangunan hampir mustahil didapat oleh warga Palestina. Dalam laporan PBB, sepanjang tahun 2023 saja lebih dari 1000 bangunan dihancurkan, menyebabkan ribuan orang kehilangan tempat tinggal.
Baca Juga: Haji, Jalan Lebar Transformasi Menuju Indonesia Emas 2045
Jurnalis dan aktivis pro-Palestina kerap menjadi sasaran penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan. Dunia diguncang ketika jurnalis senior Al Jazeera, Shireen Abu Akleh, ditembak mati oleh tentara Israel pada 2022 saat meliput di Jenin. Hingga kini, tidak ada satu pun pelaku yang dihukum secara adil.
Israel menerapkan sistem “penahanan administratif” yang memungkinkan penahanan warga Palestina tanpa tuduhan dan proses peradilan yang sah. Saat ini, ada lebih dari 5.000 tahanan Palestina di penjara Israel, termasuk anak-anak, menurut laporan Palestinian Prisoner Society.
Israel kerap lolos dari jeratan hukum internasional berkat dukungan kuat dari negara-negara adidaya, terutama Amerika Serikat. Setiap resolusi PBB yang mengutuk tindakan Israel hampir selalu diveto oleh AS. Ini menunjukkan bagaimana kolonialisme modern juga melibatkan kekuatan global yang melindungi penjajah.
Israel secara aktif membangun narasi bahwa tindakannya adalah bagian dari pertahanan diri. Melalui media internasional, opini publik diarahkan untuk melihat Palestina sebagai agresor dan Israel sebagai korban. Padahal, data menunjukkan bahwa yang paling banyak tewas, kehilangan rumah, dan menderita adalah rakyat Palestina.
Baca Juga: Kemiskinan Menjamur di Negeri yang Konon Kaya
Meski rakyat Palestina melawan, mereka tidak memiliki kekuatan yang sebanding. Israel memiliki militer modern dan teknologi canggih, sementara Palestina terbatas pada batu, roket rakitan, dan semangat perjuangan. Ketimpangan inilah yang memperkuat narasi bahwa penjajahan masih terus berlangsung.
Meski terlambat, kesadaran global mulai tumbuh. Gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) terhadap Israel berkembang pesat. Banyak negara dan organisasi sipil mulai memutus hubungan bisnis dengan perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pendudukan. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap kolonialisme modern.
Israel bukan hanya negara yang berdiri di atas tanah curian, tapi juga terus menjalankan praktik kolonialisme secara terang-terangan. Dunia tidak boleh diam. Mendukung Palestina bukan hanya soal solidaritas kemanusiaan, tapi juga upaya menegakkan keadilan dan menghentikan penjajahan yang telah berlangsung terlalu lama.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Bertahan Hidup di Negeri Seribu Janji