Pria itu bernama Abdus Shakoor, demikian seorang tantara militan bawahannya memperkenalkan. Ia duduk di kursi di dalam gubuk jerami, sementara cahaya senja menerobos masuk menerpa wajahnya. Ia sosok yang tinggi dan kurus, tapi masih muda, usianya di hitungan 20-an. Ia mengenakan lungi tradisional bercorak biru putih dan berkemeja katun. Sosoknya tidak benar-benar menunjukkan bahwa ia seorang pemberontak yang sangat diburu oleh keamanan Myanmar.
Suara mudanya mengeras, ketika ia menyinggung nama-nama desa yang telah dibakar oleh tentara Myanmar di Negara Bagian Rakhine sejak 25 Agustus lalu, setelah kelompoknya menyerang pos-pos perbatasan dan sebuah pangkalan militer.
Abdus Shakoor terjun dalam sebuah operasi bersama 200 pria dari daerahnya menyerang pos-pos polisi perbatasan Myanmar.
“Kami menyerang tentara mereka, mereka menyerang wanita dan anak-anak kami,” kata Komandan Tentara Keselamatan Rohingya Arakan (ARSA) di distrik Maungdaw, Rakhine utara tersebut. “Militer Burma adalah pengecut.”
Baca Juga: Agresi Cepat dan Besar Israel di Suriah Saat Assad Digulingkan
Wartawan Dhaka Tribune bertemu dengannya di dekat pagar kawat berduri yang memisahkan Bangladesh dan Myanmar, setelah menempuh perjalanan panjang melalui sawah dan perbukitan yang berliku, sebuah rute yang bertujuan menipu untuk menghindari jejak, kecerobohan dan hal yang tidak diharapkan.
Para pemandu bergantian mengantar para kru media melewati labirin jalur tanah, hingga mereka tiba pada sekelompok gubuk. Anak-anak bermain di tempat terbuka di dekatnya. Ayam mengais-ngais tanah. Tidak ada senjata yang terlihat. Namun, pemberontakan yang Shakoor gambarkan adalah sebuah perang para petani yang bertempur di pedesaan-pedesaan Rakhine.
Pertemuan dengan komandan ARSA ini terwujud setelah satu pekan wartawan Dhaka Tribune melakukan penyelidikan, menemui jalan buntu, dan beberapa awal yang salah.
Pejuang ARSA mendapat tekanan berat dari tentara Myanmar yang telah bereaksi keras terhadap serangan 25 Agustus. Pasukan Myanmar melakukan operasi bumi hangus yang PBB dan kelompok hak asasi manusia internasional telah mencelanya dan menyebutnya sebagai “pembersihan etnis”.
Baca Juga: Parlemen Brasil Keluarkan Laporan Dokumentasi Genosida di Gaza
Namun, meski dilapangan terjadi kengerian yang luar biasa bagi warga sipil Muslim Rohingya, tapi pemerintah Myanmar di Yangon tetap membantah bahwa pasukan keamanannya menargetkan warga sipil. Pemerintah pimpinan Aung San Suu Kyi tetap mengklaim bahwa tentaranya berusaha untuk memburu para “teroris”.
“Kami bukan teroris,” kata Shakoor menggunakan kata bahasa Inggris. Kata “teroris” ia ucapkan “tetarist”. “Kami membela hak kami. Tidak ada lagi yang kami inginkan, tidak ada!”
ARSA adalah sebuah kelompok yang sebelumnya dikenal bernama Harakah Al-Yaqin, atau “Gerakan Iman”. Mereka menyerang pos-pos penjagaan perbatasan, kantor polisi, dan pangkalan militer pada 25 Agustus 2017, menewaskan sedikitnya 10 polisi dan seorang tentara Myanmar.
Shakoor menjelaskan mengapa dan bagaimana rombongannya merencanakan dan melakukan serangan tersebut.
Baca Juga: Bank dan Toko-Toko di Damaskus sudah Kembali Buka
“Zimmadars atau sesepuh kami mengatakan bahwa kita harus melawan, karena pemerintah Myanmar telah membuat kami kelaparan, membunuh kami perlahan. Mereka membantai orang-orang kami tanpa alasan, menodai wanita kami. Mereka ingin mengusir kami dari tanah yang diturunkan dari nenek moyang kami. Untuk menyelamatkan orang-orang kami, untuk menyelamatkan ibu-ibu dan saudara perempuan kami, untuk mengambil kembali hak-hak kami, maka kami mengambil tongkat, kapak dan pisau lalu bangkit melawan para penindas,” ujarnya.
Ia menjelaskan, selama beberapa malam sebelum serangan 25 Agustus, orang-orangnya mengambil alih situasi di seputar pos militer. Mereka mencatat kekuatan pasukan, senjata dan pergantian tugas jaga personel keamanan Myanmar. Persiapan serupa dilakukan di distrik lain di Rakhine.
Kemudian sekitar jam 1 pagi dini hari, serangan terkoordinasi dimulai.
Meskipun beberapa unit ARSA di bagian lain Rakhine memiliki beberapa senjata api, tapi pejuang di bawah komando Shakoor tidak memiliki senjata api.
Baca Juga: Ratu Elizabeth II Yakin Setiap Warga Israel adalah Teroris
“Kami hanya memiliki pisau dan kapak, beberapa bom rakitan yang tidak meledak,” katanya dengan sedih.
Pernyataan tersebut tampaknya sesuai dengan sebuah pernyataan resmi dari tentara Myanmar yang dinyatakan pada 26 Agustus.
“Pada pagi hari jam 1 pagi, gerilyawan Bengali ekstremis memulai serangan mereka ke pos polisi dengan bom buatan tangan dan senjata kecil,” kata tentara Myanmar menyebut istilah “Bengali” yang merujuk pada warga Rohingya. Sebutan “Bengali” adalah istilah penghinaan yang menyiratkan bahwa etnis Rohingya adalah imigran ilegal dari Bangladesh.
“Jika kami memiliki senjata, kami akan mengalahkan mereka,” kata Shakoor. “Kami tahu kami akan diserang senjata dan mortir. Kami memutuskan untuk mati agar rakyat kami bisa hidup bebas.”
Baca Juga: AS Pertimbangkan Hapus HTS dari Daftar Teroris
Dia mengatakan bahwa dirinya membawa kapak yang biasa dia gunakan memotong kayu dan beberapa bom molotov.
Reaksi militer Myanmar dengan melakukan “operasi pembersihan” telah memaksa lebih 410.000 warga sipil Rohingya keluar dari Rakhine.
Shakoor mengklaim bahwa kelompok Harakah Al-Yaqin telah menimbulkan pemberontakan yang manjur.
“Kaum kami mendukung kami,” kata Shakoor. “Mereka tahu apa yang kami inginkan. Jika orang-orang (etnis) Shaan atau Karen di Myanmar dapat memperjuangkan hak-hak mereka, demikian juga kami.”
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Dia dengan cepat menunjukkan bahwa kelompoknya belum pernah menyerang warga sipil. “Kami tidak menentang orang Rakhine atau orang lain,” klaimnya. “Huqumat atau rezim bersalah karena penindasan.”
Shakoor bergabung dengan ARSA kurang dari setahun yang lalu, setelah kelompok tersebut melakukan serangan terhadap pos polisi Myanmar yang menewaskan sembilan polisi pada bulan Oktober 2016.
Saat itu dia adalah seorang pelajar di sebuah madrasah di Maungdaw, dekat sungai Naf.
Kelompok ARSA dipimpin oleh seorang pria bernama Ata Ullah yang diyakini lahir dari keluarga Rohingya di Pakistan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
Shakoor mengatakan bahwa dia belum pernah melihat Ata Ullah.
“Dia adalah ameer (komandan) dan zimmadaar kami (pejabat senior) yang menyampaikan instruksinya secara verbal atau melalui rekaman audio-video,” katanya.
Karena Shakoor memiliki pendidikan, dia dengan cepat diangkat menjadi atasan dan kemudian menjadi komandan. Namun sekarang, dia mengatakan masa depan tidak pasti.
“Kami ingin masyarakat internasional membantu kami,” katanya. “Kami tidak menginginkan apapun selain hidup dalam damai sebagai manusia. Orang Bangladesh telah melakukan hal yang hebat dengan membantu wanita dan anak-anak kita. Mereka bersikap seperti manusia.” (A/RI-1/B05)
Baca Juga: Mahasiswa Yale Ukir Sejarah: Referendum Divestasi ke Israel Disahkan
Sumber: Dhaka Tribune
Mi’raj News Agency (MINA)