Jakarta, MINA – Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis menyampaikan identitas politik dan politik identitas sangat berbeda.
“Selama ini, makna politik identitas seringkali kabur dan dimanfaatkan oleh lawan politik, pada gelaran politik sebelumnya, umat terpecah belah karena politik identitas,” Kiai Cholil di sela-sela Forum Group Discussion (FGD) ‘Strategi Dakwah untuk Menjaga Ukhuwah di Tahun Politik’ di Jakarta Pusat, Jumat (15/9) di Jakarta.
Menurutnya, identitas bagi seseorang merupakan suatu keniscayaan. Artinya tidak bisa hidup tanpa identitas seperti jenis kelamin, agama, atau dari suku mana kita berasal.
Pengasuh Pesantren Cendekia Amanah Depok itu mencontohkan, salah satu bentuk politik identitas adalah munculnya ancaman. Misalnya ketika seseorang dipaksa memilih berdasarkan identitas yang mirip dan bila tidak menurut maka akan diancam. Praktik seperti itu yang menurutnya masuk dalam kategori politik identitas.
Baca Juga: Menag Tekankan Pentingnya Diplomasi Agama dan Green Theology untuk Pelestarian Lingkungan
Kiai Cholil mencontohkan, bila seseorang mengenalkan dirinya berasal dari suku tertentu atau agama tertentu maka itu sebuah kewajaran.
Sebab masyarakat boleh memilih calon pemimpin yang sesuai dengan harapan mereka. Menurutnya, titik tekan politik identitas ada pada paksaan bukan pada naluri atau pilihan pribadi pemilih.
“Umat boleh memilih pemimpin yang satu agama, suku, atau ras dengan mereka, karena identitas merupakan suatu yang penting bagi manusia,” jelasnya.
“Negara kita terdiri dari berbagai kepercayaan dan agama. Jangan sampai terulang kembali perpecahan akibat identitas politik. Ini perlu dipersiapkan kita semua, terlebih dalam konteks Komisi Dakwah adalah para da’i yang telah mengikuti standardisasi,” tegasnya.
Baca Juga: Menhan: 25 Nakes TNI akan Diberangkatkan ke Gaza, Jalankan Misi Kemanusiaan
Ketua Komisi Dakwah MUI, KH Ahmad Zubaidi menyampaikan, peran da’i sangat mulai untuk mendinginkan dan meredam kegaduhan di tahun politik. Dai perlu mengisi dakwah yang sejuk dan menentramkan berisi nilai persatuan keumatan dan kebangsaan.
“Dai harus memberikan pendidikan politik kepada masyarakat bahwa perbedaan politik itu hal yang wajar, tidak perlu dipertentangkan, yang penting hati kita satu sebagai umat Islam dan bangsa Indonesia,” katanya.
Kiai Zubaidi juga mengingatkan bahwa yang terpenting adalah membawa semangat keagamaan dan kebangsaan. Dua semangat ini yang menjadi modal untuk merawat persatuan bangsa Indonesia. (R/R4/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: BMKG: Waspada Gelombang Tinggi di Sejumlah Perairan Indonesia