Konferensi Internasional TWMCC, Membangun Visi Kesatuan atau Persaudaraan?

Oleh: A. Hanief Saha Ghafur, Ketua Program Doktor Kajian Stratejik & Global (SKSG) Universitas Indonesia

Wacana Kesatuan dalam Keragaman

Menarik menelusuri jejak pemikiran para penceramah di yang diselenggarakan Dewan Komunitas Muslim Dunia (TWMCC) di pada awal bulan ini. Dari sekian itu ada beberapa yang menarik terkait keluasan dan kedalaman isi ceramahnya. Juga penguasaan atas masalah dan solusi-solusi alternatif yang disodorkan.

Ada Sekjen OKI, Direktur ISESCO, mantan Menteri luar negeri dan mantan Menteri Kebudayaan Maroko, mantan Presiden Mauritius, dan lainnya.

Mungkin karena faktor pengalaman memimpin dan kenegarawanan, membuat mereka lebih cerdas memahami masalah umat dan tantangan masa depan. Sayang panitia tidak memberi ruang untuk mengelaborasi lebih detail dan tajam pemikiran Beliau. Walaupun waktu terbatas. Sebetulnya sesi panel diskusi bisa menjadi arena untuk elaborasi itu.

Bisa juga elaborasi dan pendalaman dilakukan di lingkungan internal WMCC sendiri. Pada penghujung acara ada plenary session di mana Sekjen WMCC Mohamed Bechari merilis pernyataan tentang kesatuan umat dalam keragaman.

Terpenting, Wahdah atau Ukhuwwah? 

Ada konsistensi di mana negara-negara  Timur Tengah sangat suka dengan kata persatuan (wahdah). Walaupun tidak pernah terbukti berhasil. Bahkan telah berulang kali gagal menjadi korban persatuan. Karena didera konflik dan konfrontasi. Seperti berdirinya Republik Persatuan Arab (RPA) yang menyatukan tiga negara, yakni Mesir, Suriah, dan Iraq. Juga Front Persatuan Arab untuk Negara Palestina, dan lain-lain.

Begitu pula terkait dengan Islam telah berulang kali kata persatuan digemakan dari konferensi ke konferensi. Bahkan penulis sendiri telah tiga kali ikut konferensi dengan tema yang sama yaitu persatuan umat (wahdatul ummah), berlangsung di Qatar 2008, Teheran, Iran 2019, dan Abu Dhabi 2022. Semua isinya adalah pidato-pidato tanpa implementasi dan terbukti nyata.

Tertarik dengan tema konferensi, karena itu menjadi kebutuhan, tak hanya bagi umat muslim, tetapi juga perdamaian dunia secara keseluruhan. Mengusung tema besar Islamic Unity (المؤتمر الدولي لوحدة الاسلامية) tanpa pilar dan galar atau agenda implementasi yang nyata.

Saat ikut konferensi di Teheran, Iran 2019 saya tanya kepada seorang Mullah, mengapa persatuan (وحدة) bukan persaudaraan (اخوة)? Mullah menjawab dengan ayat Quran. Tetapi saya tidak puas. Quran memang menyebut keduanya. Baik wahdah (al-Mukminun 52) ataupun ukhuwwah (10 الحجرات). Tetapi ayat wahdah itu bentuknya sekedar pemberi- tahuan informasi (إخبار) bahwa umatmu itu adalah umat yg satu. Tidak ada perintah Quran untuk mendirikan umat yg satu. Sedang ukhuwwah banyak diikuti bentuk kata perintah yg harus dilaksanakan dan diperbaiki terus menerus.

Bagi saya kesatuan (وحدة) itu tujuan akhir (ultimate goal). Sedang ukhuwwah itu tujuan antara (intermediate goal) yg ada dalam ranah proses yg harus terus-menerus dibangun. Manakah yang lebih penting ? Bagi saya ukhuwwah itu jauh lebih penting dan porsinya harus lebih besar dari persatuan. Sebab tidak akan pernah terwujud persatuan (وحدة) tanpa  ukhuwwah. Bahkan wahdah dapat dicapai secara natural bila rajutan ukhuwah itu terus dibangun dengan baik.

Ukhuwwah itu rajutan yg setara tanpa ada yg tersubordinasi. Sebab saudara itu setara, walaupun ada yang lebih muda usia dan ada yang lebih tua. Tetapi saudara itu bukan paman dan juga bukan keponakan. Persaudaraan itu solidaritas partisipatif untuk menemukan kebersamaan dalam perbedaan. Kebersamaan penuh dengan ketulusan dan kesukarelaan.

Ukhuwah ada karena adanya perbedaan. Tidak ada perbedaan, tidak perlu ada ukhuwah. Dalam ukhuwah perlu ada open mind, kelapangan hati untuk menerima perbedaan. Perbedaan taktis maupun perbedaan strategis. Bila tidak memberi ruang terhadap perbedaan jangan harap ada ukhuwah, apalagi akan ada wahdah. Bahkan wahdah itu harus ada dalam bingkai kesatuan dalam keragaman (unity in diversity).

Ukhuwwah dan wahdah menemukan signifikansinya dari perbedaan tafsir yang direlatifisir dan perbedaan prinsip yang dinisbikan. Bukan fanatisme (تعصب) buta yang diteguhkan tanpa kompromi.

Ada beberapa bentuk kebutuhan akan ukhuwwah di tengah masyarakat yang menurut KH. Ahmad Sidiq (mantan Rais Aam PBNU), ada tiga, yaitu : 1) ukhuwwah kebangsaan (اخوة وطنية), ukhuwwah Islamiyah, dan ukhuwwah insaniyah.

Kapan ukhuwwah bisa terwujud? Solidaritas kebangsaan sebagai bentuk kesatuan dalam satu keluarga bangsa. Melampaui batas keluarga lebih luas dalam suatu negara.

Terwujudnya ukhuwwah Islamiah bila kita sedang memahami perbedaan yang ada dalam sekte dan mazhab dalam Islam dan mempraktikkan secara nyata dalam hidup sehari-hari. Sedang ukhuwwah insaniyah bila kita ingin mencapai tujuan lebih besar, seperti menjaga alam semesta, menjaga kemanusiaan,  membangun perdamaian, menjaga lingkungan hidup, hidup bertetangga da pendampingan dengan baik, dan sebagainya.

Sejatinya musuh kita adalah musuh yang melawan semua bentuk ukhuwwah dan melawan kemanusiaan manusia. Walaupun demikian sejatinya lawan itu bonus dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan lawan itu jangan dijadikan musuh. Tapi jadikan lawan itu sebagai pesaing dan mitra kompetisi untuk menjadi umat yang lebih baik, bermutu dan unggul. Tujuan utamanya adalah membangun kekhalifahan manusia di muka bumi.

Parameter kekhalifahan manusia diukur seberapa mampu membangun kemakmuran bumi bagi kesejahteraan manusia (هو الذي انشاءكم من الأرض واستعمركم فيها). Bukan membuat petaka konflik dan konfrontasi serta kerusakan di muka bumi. Wallahu A’lamu bis showab.(AK/R1/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.