KONFLIK YAMAN, KEPENTINGAN POLITIK TIGA NEGARA

Nurhabibi, MP.

Nurhabibi, MP.
Nurhabibi, MP.

Oleh Nurhabibi, M.P,  Koresponden Mi’raj Islamic News Agency (MINA) Biro Sumatera,

Pemerhati Timur Tengah, Kini Tinggal di Nangroe Aceh Darussalam

 

Di antara negara di Jazirah Arab, Yaman merupakan salah satu negeri penyumbang sejarah Islam dan Kaum Muslimin, banyak goresan tinta berusaha menguak misteri peristiwa penting yang kerap terjadi di negeri subur ini, dari merapatnya Ratu Balqis ke pangkuan Nabi Sulaiman as, runtuhnya bendungan Ma’rib, dukungan penduduk Yaman terhadap Nubuwwah Nabi Muhammad SAW, munculnya Al-Qaidah hingga konflik politik antara Syiah dan Sunni saat ini.

Kendatipun demikian sejatinya Yaman merupakan negeri miskin di antara negara Arab yang lain. Bank Dunia mencatat pendapatan per kapita negeri ini sekitar 1.060 dollar AS (Sumber : Bank Dunia, 2009) lalu meningkatnya inflasi dari 11% tahun 2010 hingga mencapai 15 – 18% pada kuartal pertama tahun 2011. Negara berpenduduk berkisar 24 juta ini, lebih dari 45% penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan dengan kondisi infrastruktur kurang memadai seperti infrastruktur di sektor telekomunikasi sampai infrastruktur di sektor migas, bahkan dewasa ini Yaman belum memiliki fasilitas pasar modal/ bursa efek (Sumber : KBRI Yaman).

Yaman bukanlah produsen minyak besar dibandingkan dengan negara Timur Tengah lainnya dengan output hanya sekitar 145.000 barel per hari pada tahun 2014. Penurunan harga jual minyak bumi di pasar dunia sejak tahun 2008 menyebabkan penerimaan pemerintah berkurang dan berakibat pada penundaan sejumlah proyek/pekerjaan skala besar, mulai dari pembangunan jalan raya sampai dengan pembelanjaan alat-alat pertahanan (militer).

Perekonomian Yaman

Perekonomian Yaman yang carut marut dari tahun ke tahun, belum lagi instabilitas keamanan, politik dan sosial membuat Yaman menjadi bulan-bulanan santapan invansi tersembunyi musuh-musuh internal maupun externalnya. Kondisi ekonomi rakyatnya memprihatinkan. Pengangguran merajalela, tercatat hampir 45% penduduknya hidup dalam pengangguran kronis. Secara sosial, rakyat Yaman hidup penuh keterbelakangan. Pemerintah gagal memenuhi tanggung jawab sosial-ekonominya. Pun dalam aspek politiknya, pemerintah gagal mengembalikan martabat politik Yaman.

Pada saat kepemimpinan Ali Abdullah Saleh tak mampu membawa Yaman bangkit dari keterpurukan, meletuslah Arab Spring jilid kedua sebagai wujud kebangkitan harapan rakyat Yaman pada martabat politik dan kesejahteraan ekonomi negerinya. Setelah Saleh, amanat kepemimpinan jatuh kepada Abd. Rabbu Manshour Hadi.

Gelombang tantangan pokok yang dipikul Hadi adalah mengembalikan politik Yaman pada martabat dan harga diri bangsanya. Yakni Yaman yang independen dari segala bentuk dominasi dan hegemoni pihak ketiga. Rakyat juga berharap Hadi bisa memulihkan perekonomian yang carut-marut.

Kenyataannya, harapan tak sesuai dengan kenyataan. Kepemimpinan Hadi pun tak menunjukkan karakter yang diharapkan. Bahkan, tiga tahun di bawah kepemimpinannya, secara politis, Yaman semakin diintervensi dan dihegemoni. Perekonomian Yaman semakin ambruk. Hadi seperti pemimpin simbolik semata, yang tak mampu membawa perubahan apa pun.

Pada konteks inilah muncul gebrakan besar dari gerakan politik kelompok Al-Houthi. Al-Houthi adalah salah satu elemen pergerakan politik di Yaman. Gerakan Al-Houthi merefleksikan lemahnya manuver politik Hadi. Spirit Al-Houthi adalah merebut Yaman pada kondisi carut marutnya ekonomi, politik dan sistem pertahanan serta keamanan Negara. Peluang besar ini lah sesungguhnya yang dimanfaatkan oleh Al-Houthi dan para pendukungnya (Hizbullah dan Iran).

Kepentingan Tiga Negara

Jika hendak dipetakan, ada 3 Negara yang memainkan peran dalam memperebutkan Yaman, yakni Arab Saudi, Iran dan Barat yang diwakili oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Pertanyaannya kini adalah apa yang sesungguhnya diinginkan oleh ke-3 negara itu dari Yaman?  karena secara perekonomian Yaman tidak menguntungkan, sebagaimana dijelaskan di atas.

Bagi Arab Saudi, Yaman merupakan teras rumah yang wajib dijaga. Posisi Geopolitik Yaman dinilai sangat strategis, menjaga stabilitas Yaman akan berdampak pada stabilitas regional kerajaan Arab Saudi, baik politik, ekonomi dan pertahanan kemanan Negaranya dari cengkraman Iran yang telah lama mengincar Yaman.

Posisi Yaman yang sangat strategis ini merupakan pintu masuk salah satu jalur teramai pelayaran internasional di Laut Merah yang akan berdampak langsung ke seluruh Arab bila negeri Saba’ itu jatuh ke genggaman Iran. Karena itu sejumlah analis Arab menilai bahwa serangan atas basis-basis Al-Houti  bukan sekedar menyelamatkan pemerintah yang sah akan tetapi untuk menyelamatkan Arab seluruhnya.

Sedangkan bagi Iran pun demikian, dengan menguasai Yaman, otomatis akan menguntungkan bagi menancapnya bendera hegemoni Iran terhadap Timur Tengah. Bukti mencuatnya kepentingan politis Iran terhadap Yaman adalah ketika Iran mengirim dua kapal perang ke Teluk Aden dan Selat Bab al-Mandab, Yaman. Dua kapal perang dikirim Iran di saat agresi Arab Saudi dan koalisi Teluk terhadap milisi Al-Houthi di Yaman belum berakhir.

Dua kapal perang Iran yang dikirim ke perairan Yaman itu berasal dari Armada ke-34 Angkatan Laut Iran. Pengiriman dua kapal perang berlangsung Rabu waktu Yaman. Pegerakan dua kapal perang itu disiarkan stasiun televisi pemerintah Iran, Press TV.

Kapal logistik Bushehr dan kapal perusak Alborz telah meninggalkan Kota Pelabuhan Bandar Abbas, Iran selatan menuju perairan Yaman. Komandan Angkatan Laut Iran, Laksamana Habibollah Sayyari mengkonfirmasi kebijakan militer Iran itu di sela-sela pengiriman dua kapal perang.

Pengiriman kapal perang Iran ke Teluk Aden secara politik ikut memanaskan konflik di Yaman. Sebab, Iran selama ini memprotes keras agresi Arab Saudi dan koalisi Teluk terhadap Al-Houthi di Yaman. Iran telah menyerukan dialog untuk merampungkan krisis di Yaman.

“Armada ke-34 mengirim (dua kapal perang) untuk misi menjamin keamanan jalur pelayaran Iran dan melindungi kepentingan Republik Islam Iran di laut lepas,” kata Sayyari, seperti dikutip Tehran Times, Kamis (9/4/2015).

Juru bicara koalisi Teluk, Brigjen Ahmed Asseri, melarang kapal perang Iran ke perairan Yaman. Ia menyatakan, bahwa dua kapal perang Iran tidak boleh masuk ke perairan teritorial Yaman. Hal itu disampaikan juru bicara militer Saudi untuk operasi anti-Al-Houthi di Yaman, Brigadir Jenderal Ahmed Asseri, seperti dikutip Al Arabiya, (8/4/2015).

Jenderal Asseri mengatakan, kapal-kapal perang Iran hanya berhak berlayar di perairan internasional, bukan ke perairan teritorial Yaman. Asseri yang berbicara kepada wartawan di Riyadh, Rabu kemarin, merespons kebijakan militer Iran yang telah mengirim dua kapal perang ke Teluk Aden. Asseri menegaskan, selama misi “Aashifatul Hazm (Badai Penghancur) Decisive Storm Operation” koalisi Teluk di Yaman berlangsung, koalisi berhak untuk menanggapi setiap upaya Iran untuk mempersenjatai kelompok Al-Houthi. Iran sendiri berkali-kali membantah, bahwa mereka mempersenjatai Al-Houthi di Yaman. Pihak Teheran justru menyerukan dialog damai dan menentang intervensi militer asing di Yaman.

Pemimpin Tertinggi Spiritual Iran, Ayatollah Ali Khameinei dengan tegas menyebut serangan yang dilakukan Arab Saudi di Yaman adalah sesuatu hal yang salah. Khameinei, dalam kesempatan yang sama juga menyatakan Saudi tidak akan pernah memenangkan pertempuran di Yaman. Menurutnya, Saudi tidak hanya melawan Al-Houthi atau milisi anti-Presiden Abd Rabbuh Mansur Al-Hadi, tapi juga melawan seluruh warga Yaman. Pernyataan Khameini ini bukan tanpa alasan. Sebagaimana diketahui bahwa kekuatan pengikut Al-Houthi yang berideologi Syiah di Yaman adalah sekitar 45% dari penduduk Yaman.

Bagi Amerika, Yaman memiliki posisi strategis sebagai pintu penghubung untuk masuk ke Benua Eropa, dengan mengendalikan Yaman akan memberikan keuntungan besar terhadap akses perekonomian yang melalui Terusan Suez menuju Eropa. Para pemimpin Barat khususnya di Gedung Putih, tidak akan membiarkan Yaman terus dalam situasi yang berlarut-larut hingga dikontrol Al-Houti dukungan Iran, karena akan mempunyai implikasi yang serius terhadap kawasan yang panjang sampai mendekati Laut Merah dan Somalia serta akan memiliki resiko terhadap stabilitas keamanan regional yang lebih serius.

Yaman akan menjadi “bom waktu” yang lebih dahsyat dibandingkan dengan Libya dan Suriah. Jika Yaman berada dalam anarkhi yang terus menerus, maka Amerika akan tidak memiliki akses kendali terhadap kekuasaan di Yaman, dan menggangu perekonomian serta kepentingan politik yang dilakukan Amerika. Kekhawatiran Amerika yang sangat besar dari dampak konflik di Yaman terhadap kepentingan politik dan perekonomian Amerika adalah bahwa rute pengiriman penting melalui selat Bab El-Mandeb akan ditutup akibat terjadinya konflik. Diperkirakan sekitar 3 juta barrel minyak dengan tujuan AS, Eropa dan Asia melalui perairan sempit antara Yaman dan Djibouti setiap harinya.

Amerika Serikat akan memberikan dukungan penuh terhadap kebijakan Arab Saudi beserta koalisinya dalam memberangus pemberontak Al-Houti di Yaman, sebagaimana yang disampaikan oleh Menlu AS, John Kerry, yang menegaskan dukungan Amerika Serikat untuk Saudi yang sedang tegang dengan Iran. (Sumber : Reuters)

Amerika Serikat mulai bereaksi dengan “pasang badan” untuk sekutunya, Arab Saudi, yang terlibat ketegangan dengan Iran terkait konflik di Yaman. Amerika Serikat percaya, Iran telah memberikan dukungan untuk pasukan Al-Houthi yang berupaya menggulingkan pemerintah Presiden Yaman, Abd. Rabbu Manshour Hadi.

Menteri Luar Negeri AS, John Kerry, mengatakan, posisi AS sangat jelas, yakni mendukung Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lain yang merasa terancam oleh Iran. ”Kami tidak mencari konfrontasi, tapi kami tidak akan menjauh dari sekutu dan sahabat kami, kebutuhan kita untuk berdiri dengan orang-orang yang merasa terancam sebagai konsekuensi dari pilihan yang mungkin dibuat oleh Iran,” kata Kerry dalam sebuah wawancara dengan PBS Newshour, (9/4/2015).

Sebagai dukungan untuk Saudi dan koalisi Teluk yang sedang meluncurkan agresi militer terhadap Al-Houthi di Yaman, AS mulai mempersiapkan pengisian bahan bakar untuk pesawat tempurnya yang kemungkinan akan bergabung dalam agresi militer pimpinan Saudi.

Perpecahan Internal Umat Islam 

Melihat persoalan Yaman sebagai bagian utuh dari tubuh Umat Islam sudah sepantasnya Kaum Muslimin sadar bahwa konflik yang ada tidak terlepas dari kepentingan politis dan memiliki efek negatif terhadap persatuan dan kesatuan Kaum Muslimin secara keseluruhan baik saat ini dan akan menjadi bom waktu di masa mendatang. Konflik Yaman sejatinya merupakan perang saudara yang berdampak hancurnya infrastruktur dan yang lebih parah adalah banyaknya korban jiwa yang berjatuhan serta mengakibatkan trauma fatal lintas generasi.

Perebutan pengaruh dan kepentingan yang sudah berlarut dan berulangkali terjadi di negeri Muslim mengakibatkan kerugian serta korban yang juga besar, sudah sepatutnya Kaum Muslimin sadar dan belajar dari pengalaman masa lalu bahwa perang saudara semacam ini tidak akan memberikan keuntungan apa-apa, selain dari pada teraihnya kerugian yang berkepanjangan.

Kerugian besar di kedua belah pihak yang bertikai, akan menguntungkan pihak ketiga. Sebagaimana diketahui peranan pihak ketiga, Amerika dan sekutunya, melalui kebijakan luar negeri mereka untuk mengkotak-kotakkan Umat Islam dibelahan dunia, dianggap kita sebagai hal yang positif dan menguntungkan. Padahal, dukungan dan jalinan persahabatan yang dijalankan oleh Amerika Serikat terhadap negeri-negeri Muslim sangat sarat dengan fatamorgana kepentingan politik dan ekonomi. Namun mengapa para penguasa Muslim tidak menyadari hal ini. Nafsu dan ambisi kepentingan pribadi serta golonganlah yang menjadi penghalang terbesar dan terberat untuk melepaskan diri dari pengaruh hegemoni Barat. Jika dibiarkan maka Kaum Muslimin akan terus meluncur pada kemerosotan peradaban hingga mudah dihancurkan.

Perpecahan internal merupakan kelemahan Umat Islam. Inilah yang dimanfaatkan sebagai strategi jitu musuh-musuh Islam dari masa ke masa untuk menghancur dan mengalahkan Kaum Muslimin. Tentu ingat ketika Belanda mengalami kesusahan untuk menghancurkan barisan pasukan Kaum Muslimin Aceh pada zaman penjajahan, cara yang mereka pakai tidak lain kecuali menghasut dan mengkotak-kotakkan satuan barisan Kaum Muslimin Aceh sehingga mudah diporak-porandakan.

Saat ini strategi yang mereka terapkan di negeri-negeri Muslim merupakan cara lama namun dengan metode dan teknik yang sudah direvisi dan up to date, kegagalan kesadaran Kaum Muslimin untuk tidak mudah dipecah belah ini lah penyebab terbesar menumpuknya konflik internal Kaum Muslimin.

Saatnya kita sadar, pentingnya ukhuwwah Islamiyyah, persatuan dan kesatuan Kaum Muslimin, menyadari adanya musuh bersama dan sesungguhnya. Bukankah Shalahuddin Al-Ayyubi mengatakan “Jangan berharap Baitul Maqdis akan kembali ke pangkuan kita, jika saat ini kita belum merapatkan shof dan barisan di antara kita”.

Dengan demikian, persoalan rumit yang tengah kita hadapi bukanlah kuatnya musuh kita, tapi yang rumit adalah kuatnya ego, nafsu pribadi dan golongan diantara kita sehingga kita tidak menyadari musuh kita yang sesungguhnya yang sudah sangat siap menunggu kehancuran kita. Wallahua’lam. (T/HBB/K08/R03)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0