Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kontribusi dan Pemikiran Soekarno untuk Palestina

Rendi Setiawan Editor : Bahron Ans. - 16 detik yang lalu

16 detik yang lalu

1 Views

Presiden pertama RI, Ir. Soekarno konsisten mendukung kemerdekaan bangsa Palestina. (Gambar: theAsianparent)

SEJAK awal berdirinya Republik Indonesia, isu Palestina tidak pernah lepas dari perhatian Presiden pertama, Ir. Soekarno. Bagi Bung Karno, Palestina bukan sekadar tetangga jauh atau tanah sepetak di Timur Tengah, melainkan sebagai simbol perjuangan global melawan kolonialisme.

“Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,” begitu bunyi alinea pertama Pembukaan UUD 1945. Kalimat inilah yang menjadi fondasi moral bagi seluruh kegiatan politik luar negeri Indonesia. Dalam kerangka itu, penderitaan rakyat Palestina dilihat Bung Karno sebagai lanjutan dari rantai panjang penjajahan yang harus segera diputus.

Pada awal 1950-an, dunia sedang terbelah dalam ketegangan Perang Dingin antara Amerika Serikat bersama NATO dan Uni Soviet yang memimpin Pakta Warsawa-nya. Negara-negara Asia dan Afrika yang baru merdeka mencari pijakan bersama yang kokoh untuk memperjuangkan hak-hak mereka di tengah dominasi kekuatan blok Barat dan Timur.

Soekarno jeli membaca situasi ini dengan tajam. Ia tahu betul, Indonesia tidak boleh hanya menjadi ekor yang mengikuti arus kekuatan semata. Maka lahirlah doktrin politik luar negeri “bebas-aktif”: bebas menentukan sikap, aktif memperjuangkan keadilan. Bebas-aktif bukan berarti harus netral, karena dalam kerangka bebas-aktif itulah isu Palestina mendapatkan tempat yang sangat istimewa.

Baca Juga: Laksamana Malahayati Lulusan Akademi Baitul Maqdis Aceh

Bagi Bung Karno, Palestina merupakan contoh nyata bangsa yang masih terjerat dalam belenggu penjajahan dan kolonialisme modern. Dalam banyak pidatonya, ia menekankan, perjuangan bangsa Palestina bukanlah semata-mata masalah agama, melainkan masalah kemanusiaan universal. Ia melihat konflik di Palestina sebagai lanjutan dari politik imperialisme Barat yang ingin mempertahankan dominasi di Timur Tengah.

Palestina di Panggung Asia–Afrika

Momentum besar tercipta saat Konferensi Asia–Afrika (KAA) digelar di Bandung pada 18 April 1955 silam. Bung Karno menyampaikan pidato berbahasa Inggris yang membakar semangat peserta dari 29 negara Asia dan Afrika. Ia menggambarkan dunia yang terpecah dan terancam oleh kekuatan imperialisme:

“Dunia kita yang malang ini terpecah belah, dan ternyata rakyat dari semua negeri berada dalam ketakutan, … serigala-serigala peperangan akan lepas lagi dari rantainya,” kata Bung Karno, seperti diabadikan Tempo dalam artikel berjudul “Pidato Soekarno yang Menggelegar di Pembukaan KAA”.

Baca Juga: Terima Kasih, Ali Taher: Wartawan Palestina untuk Merdeka yang Kita Nikmati Hari Ini

Dalam pidato itu, Bung Karno juga menegaskan bahwa kolonialisme belum benar-benar mati, melainkan berganti rupa. Soekarno menyebut, kolonialisme hadir bukan hanya dalam bentuk militer, melainkan juga dalam wujud “kolonialisme baru” melalui kontrol ekonomi, politik, bahkan intelektual. Dengan lantang ia menyatakan bahwa Asia dan Afrika harus bersatu melawan bentuk baru penjajahan itu.

Komunike Final KAA Bandung kemudian menggarisbawahi dukungan terhadap hak-hak rakyat Arab di Palestina. Peristiwa ini menjadikan Palestina bukan sekadar masalah regional, tetapi persoalan dunia yang menyangkut martabat bangsa-bangsa tertindas. KAA menjadi tonggak penting, karena Palestina mendapatkan legitimasi internasional di luar kerangka PBB dan Perang Dingin.

Retorika yang Abadi

Selain dalam forum internasional, Bung Karno juga sering menegaskan sikap Indonesia melalui retorika yang tajam, lugas, dan tegas. Salah satu kalimatnya yang sangat populer menjadi warisan abadi diplomasi Indonesia dalam melawan setiap bentuk kolonialisme hingga hari ini:

Baca Juga: Kisah Aep, 20 Tahun Lebih Jadi Pedagang Perabot Dapur

“Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.”

Kata-kata ini diucapkan Bung Karno pada 1962, di tengah gejolak politik internasional yang dipenuhi isu kolonialisme. Kalimat itu kemudian terus dikutip lintas rezim, termasuk ketika Presiden ke-7, Joko Widodo membukanya kembali dalam pidato pembukaan KTT Luar Biasa OKI tentang Palestina pada 2016 lalu.

Retorika tersebut bukan hanya sebuah kutipan yang mudah diucapkan, enak didengar, atau indah dibaca, tetapi penegasan garis lurus politik luar negeri Indonesia yang konsisten berdiri di sisi rakyat Palestina.

Solidaritas Melalui Olahraga

Baca Juga: Jejak Fatimah Adawiyah, Keliling Jabodetabek untuk Mengajarkan Al-Quran

Ternyata, keteguhan Bung Karno tidak hanya diwujudkan di panggung diplomasi, melainkan juga dalam arena olahraga internasional. Saat Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games IV tahun 1962, Soekarno mengambil keputusan besar: menolak kehadiran kontingen Israel.

Keputusan ini menimbulkan konsekuensi berat. Indonesia dijatuhi sanksi oleh Komite Olimpiade Internasional (IOC) dan akhirnya dilarang berpartisipasi dalam Olimpiade Tokyo 1964. Namun Bung Karno tidak bergeming. Ia melawan balik dengan cara memerintahkan Indonesia untuk keluar dari keanggotaan IOC, karena dipandang sarat dengan ketidakadilan dan hanya menjadi perpanjangan tangan kepentingan kolonial.

Dengan lantang ia menyampaikan bahwa olahraga tidak boleh dilepaskan dari perjuangan politik. Ia kemudian memprakarsai Ganefo (Games of the New Emerging Forces), sebuah pesta olahraga tandingan untuk negara-negara baru merdeka yang menolak hegemoni kekuatan Barat. Waktu itu, Ganefo yang lahir di Jakarta ini memang sengaja dibentuk sebagai tandingan IOC.

Dalam pidatonya, Soekarno berkata:

Baca Juga: Jejak Tukul Sunarto, Mendidik Jembatan Menuju Surga

“Mari berkata jujur.. Saat mereka (IOC) mengucilkan RRC, apakah itu bukan politik? Saat mereka tak ramah dengan Republik Arab Bersatu, apakah itu bukan politik? Saat mereka tak ramah pada Korea Utara, itu bukan politik? Saat mereka mengucilkan Vietnam Utara, itu bukan politik? Saya hanya sedang jujur. Olahraga memiliki kaitan dengan politik. Indonesia menawarkan untuk mencampurkan olahraga dengan politik, maka mari bangun Ganefo melawan Oldefo,” kata Bung Karno sebagaimana tertuang dalam Buletin Ganefo edisi pertama (Juli 1963), yang dikutip dari laman Tirto.

Bagi Soekarno, solidaritas terhadap Palestina tidak bisa dinegosiasikan, bahkan jika harus membayar harga mahal berupa pengucilan dari arena internasional. Ia lebih memilih menanggung konsekuensi daripada mengkhianati prinsip solidaritas antikolonial.

Warisan Bung Karno

Bung Karno memang tidak sempat menyaksikan deklarasi kemerdekaan Palestina tahun 1988 atau pengakuan resmi Indonesia pada 16 November 1988. Namun, jalan yang ia buka telah mengantarkan generasi berikutnya untuk menapaki jalur solidaritas yang sama. Dua tahun setelah pengakuan itu, Kedutaan Palestina berdiri di Jakarta, menjadi simbol eratnya hubungan kedua bangsa.

Baca Juga: Ustaz Anshorullah, Dai Pembuka Jalan Dakwah di Kalimantan

Hingga hari ini, setiap kali isu Palestina mencuat, pemerintah Indonesia hampir selalu mengutip kembali warisan retorika Bung Karno. Di forum PBB, OKI, maupun Gerakan Non-Blok, Indonesia konsisten memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Palestina.

Di tingkat masyarakat, solidaritas publik juga terus menguat. Berbagai aksi kemanusiaan, kampanye, hingga penggalangan dana untuk Palestina bisa disebut sebagai gema panjang dari politik solidaritas yang ditanamkan Soekarno sejak awal republik berdiri.

Dalam narasi populer, sering disebut bahwa Palestina—melalui Mufti Besar Yerusalem, Syekh Muhammad Amin al-Husaini—adalah pihak pertama yang menyatakan dukungan bagi kemerdekaan Indonesia pada 1944 melalui siaran Radio Berlin.

Namun, sejumlah sejarawan menegaskan klaim ini tidak bisa dianggap sebagai pengakuan resmi negara, melainkan lebih tepat dibaca sebagai simbol solidaritas. Meski begitu, cerita ini menjadi bagian dari narasi historis yang memperkuat keterhubungan emosional antara rakyat Indonesia dan Palestina sejak masa perjuangan.

Baca Juga: Buya Saleh Hafiz, Tinggalkan Bisnis Fokus Berdakwah

Jika ditarik garis panjangnya, kontribusi terbesar Bung Karno bagi Palestina bukan pada langkah formal seperti pengakuan diplomatik atau bantuan material, melainkan pada keberhasilannya membingkai Palestina sebagai bagian dari agenda antikolonial global.

Dengan cara itu, Bung Karno berhasil menjadikan isu Palestina sebagai bagian dari agenda bersama milik bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang pernah dijajah, bukan sekadar konflik regional. Sampai detik ini pun, kita masih melihat banyak negara-negara di Asia, Afrika, maupun Amerika Latin yang semakin bertambah untuk mengakui kedaulatan Palestina.

Hari ini, ketika bendera Palestina berkibar di jalan-jalan raya Indonesia dalam aksi solidaritas, semangat Soekarno masih terasa hidup. Retorikanya, pidatonya, dan sikapnya tetap menjadi lokomotif moral bangsa ini. Bung Karno telah menunjukkan bahwa solidaritas sejati tidak berhenti pada kata-kata, melainkan diwujudkan dalam keputusan politik berani, bahkan bila dunia internasional menentang.

“Selama Palestina belum merdeka,” ujar Bung Karno, “Indonesia akan tetap berdiri menentang penjajahan Israel.” Ungkapan ikonik itu melintasi zaman, menjadi janji yang terus dipegang, dan bukti bahwa perjuangan bangsa lain adalah bagian dari amanat revolusi Indonesia itu sendiri.[]

Baca Juga: Keteladanan Sejati Fatimah Az-Zahra bagi Muslimah Sepanjang Zaman

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda