Oleh: Dr. L. Sholehuddin, M.Pd.; Dosen pada Sekolah Tinggi Shuffah al-Quran Abdullah bin Masud Online
Puasa dalam bahasa Al-Qur’an adalah Al-shiyam, yang makna generiknya adalah Al-Imsak yang artinya “menahan“. Jadi, puasa yang bermakna imsak (menahan) harus dimaknai imsak secara totalitas baik dalam habl min Allah (vertikal) maupun habl min annas (horizontal) yang di dalamnya ada kejujuran/kebenaran. Dengan demikian, maka orang-orang beriman itu ialah mereka yang menjadi pelopor dan pahlawan dalam kejujuran/kebenaran.
Secara istilah, puasa diartikan sebagai “menahan makan dan minum serta sesuatu yang merusaknya mulai fajar hingga terbenam matahari”. Artinya, orang yang berpuasa dilarang melakukan perbuatan yang secara materiil berhubungan dengan aktivitas kebendaan seperti makan, minum dan berhubungan badan (seksualitas).
Tetapi makna tersebut sesungguhnya hanya pada wilayah kebendaan yang bersifat memberikan kepuasan yang bersifat fisik semata secara mikro. Sedangkan puasa secara makro diartikan sebagai upaya menahan diri dari hal yang membatalkan secara kebendaan, maupun hal-hal yang merusaknya secara spiritual seperti perkataan kotor, perbuatan terlarang, dusta, pandir, jahil dengan seluruh kawan-kawannya, berikut melakukan amalan-amalan wajib dan sunnat yang berkaitan dengannya.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Pengertian puasa seperti inilah yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga kepada orang-orang beriman dipanggil untuk melakukannya (puasa) sebagaimana tertulis dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 183. Sudah pasti orang-orang beriman yang melakukan puasa seperti tersebut di atas menjadi manusia beriman yang muttaqin sebagai tujuan diwajibkannya puasa.
Ekspresi yang diungkapkan lewat puasa ini mewakili bentuk penguasaan diri, dan usaha dalam mengatasi kesenangan-kesenangan jasadi dan berbagai kenikmatan badani demi kecintaan Allah yang penuh berkat, kedekatan kepada-Nya dan gairah untuk memperoleh keridhaan-Nya.
Jadi, puasa bukan hanya bertujuan menahan diri dari makan dan minum tanpa memberi pengaruh kesucian dalam akhlak, kesalehan dalam amal perbuatan, ke-istikamahan dalam muamalah, kebaikan dalam zhahir, dan kesucian, hidayah, dan cahaya dalam batin.
Apabila tujuan-tujuan itu hilang, maka sesungguhnya puasa tidak mengantarkan kepada tujuannya, serta tidak membuahkan hasil yang diinginkan dan diharapkan. Oleh karena itu, disebutkan dalam hadits bahwa Nabi Mauhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
«مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ»
Artinya: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah Ta’ala tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (Shahih al-Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu)
Maksud, meninggalkan perkataan dusta dalam hadits tersebut adalah perkataan yang batil. Perkataan dusta bukan hanya persaksian palsu, melainkan setiap perkataan yang batil dan rusak. Barang siapa yang tidak meninggalkan perbuatan dusta, maksudnya setiap perbuatan yang batil dan diharamkan, baik kecil maupun besar, baik berkenaan dalam hak Allah Ta’ala maupun hak para hamba. Itu semua termasuk di antara hal-hal yang dilarang oleh syariat.
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
«إِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَسْخُطْ وَلاَ يَرْفُثْ، فَإِنْ أَحَدٌ سَابَّهُ أَوْ شَاتَمَهُ أَوْ قَاتَلَهُ،–في بعض الروايات-فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ»
Artinya: “Apabila salah seorang dari kalian berpuasa, janganlah dia marah dan janganlah dia berkata kotor. Jika ada seseorang memakinya, mencelanya, atau memeranginya -di beberapa riwayat-, hendaknya dia mengatakan, “Sesunggunya aku adalah orang yang berpuasa.” Secara eksplisit hadits ini menunjukkan bahwa marah dan berkata kotor pada saat ia berpuasa akan menyebabkan puasanya secara substantif akan gugur.
Puasa Ibadah Siriyyah
Berbeda dengan ibadah shalat, zakat, dan haji. Semuanya bisa dilihat. Tetapi ibadah puasa tidak dapat dilihat dan karena dapat tidak dilihat, sehingga setiap orang berpeluang untuk tidak jujur.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Setiap orang berpeluang untuk mengatakan saya puasa, padahal ia tidak puasa. Boleh jadi ia tidak menyatakan dengan pengakuan tetapi pura-pura lapar, pura-pura bibirnya kering, pura-pura banyak meludah sehingga orang lain berpersepsi bahwa ia adalah orang yang berpuasa. Padahal semua isyarat-isyarat tersebut bukanlah indikasi seseorang dikatakan berpuasa. Orang yang bibirnya kering belum tentu ia berpuasa.
Orang yang banyak meludah belum tentu ia berpuasa. Orang yang kelihatan kurus dan lapar belum tentu ia berpuasa pada waktu itu. Di sinilah letak benang merah yang menghubungkan antara ibadah puasa dengan pendidikan kejujuran (tarbiyah kejujuran).
Pada saat berpuasa, kita dilatih dan dituntut untuk berlaku jujur. Kita dapat saja makan dan minum seenaknya di tempat sunyi yang tidak terlihat seorang pun. Namun kita tidak akan mau makan atau minum, karena kita sedang berpuasa. Padahal, tidak ada orang lain yang tahu apakah kita puasa atau tidak. Namun kita yakin, perbuatan kita itu dilihat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Orang yang sedang berpuasa juga dapat dengan leluasa berkumur sambil menahan setetes air segar ke dalam kerongkongan, tanpa sedikit pun diketahui orang lain. Perbuatan orang itu hanya diketahui oleh orang yang bersangkutan.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Hanya Allah dan diri si shaim itu saja yang benar-benar mengetahui kejujuran atau kecurangan dalam menjalankan ibadah puasa. Tetapi dengan ibadah puasa, kita tidak berani berbuat seperti itu, takut puasa batal. Orang yang berpuasa dilatih untuk menyadari kehadiran Tuhan. Ia dilatih untuk menyadari bahwa segala aktivitasnya pasti diketahui dan diawasi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Apabila kesadaran ketuhanan ini telah menjelma dalam diri seseorang melalui training dan didikan puasa, maka Insya Allah akan terbangun sifat kejujuran.
Satu di antara sekian banyak hikmah disyariatkannya puasa, khususnya puasa Ramadhan adalah kita ditarbiyah atau dididik oleh Allah selama sebulan untuk menjadi orang-orang yang jujur.
Perlu kita ketahui, bahwa ibadah puasa adalah suatu ibadah yang unik dibanding dengan ibadah-ibadah lain. Keunikannya karena puasa adalah ibadah yang sirriyah; ibadah yang tersembunyi, ibadah yang tidak bisa dilihat secara langsung apakah seseorang itu melaksanakannya atau tidak.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Puasa yang kita lakukan semata-mata hanya mengharapkan ridha Allah, karenanya kita tidak perlu menyatakan kepada orang lain bahwa kita sedang berpuasa. Juga, tidak perlu membuat isyarat-isyarat seperti yang disebutkan di atas, tetapi kita sendiri dengan Allah yang paling tahu bahwa kita berpuasa. Di sinilah letak nilai penanaman kejujuran itu. Kejujuran muncul karena ada satu faktor yang sangat berharga yang ditanamkan oleh pendidikan puasa, yaitu pendidikan taqarrub ila Allah.
Pendidikan atau penanaman “perasaan” senantiasa dalam keadaan diawasi oleh Allah.” Keyakinan bahwa kita senantiasa dilihat oleh Allah. Karena Allah senantiasa mendengar setiap perkataan. Allah senantiasa mengetahui apa saja yang dikerjakan oleh manusia. Allah Maha mengetahui apa saja yang disembunyikan oleh manusia.
Adapun kejujuran atau jujur dalam bahasa Al-Qur’an “Al-Shadiqin” (Orang-orang benar atau jujur). Dan, panggilan untuk menjadi orang-orang benar/jujur, juga hanya dialamatkan Allah kepada orang-orang beriman sebagaimana panggilan puasa pada orang-orang beriman. Artinya: “Hai orang-orang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar/jujur” (QS: Al-Taubah: 119). Demikian di ayat lain yang (semakna), Allah berfirman: “Hai orang-orang beriman, bertakwalah Kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar/jujur (QS: Al-Ahzab: 70).
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Paling tidak kedua ayat tersebut di atas adalah panggilan Allah kepada orang beriman untuk bertakwa dan berbuat benar/jujur. Artinya tanda-tanda paling utama dari orang beriman dan bertakwa (Muttaqin) itu adalah orang yang berbuat benar/jujur.
Dengan pengertian lain bahwa orang beriman itu ialah mereka yang bertakwa dan mereka yang berkata benar/jujur. Kedua ayat ini sebangun dengan Al-Qur’an Surat al-Baqarah: 183 tentang perintah berpuasa. Maka dapatlah dipahami bahwa panggilan berpuasa pada orang beriman adalah juga panggilan untuk berbuat benar/jujur. Hal tersebut juga mendapat perhatian Rasul Shallalllahu Alaihi Wasallam dalam sabdanya “Bahwasanya kebenaran itu membawa kebaikan (taat) dan kebaikan itu membawa jalan ke surga”. Dan seseorang yang berkata benar, hingga tercatat di sisi Allah sebagai orang benar/jujur (benar cakapnya dengan amalnya). Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada cabul (perbuatan maksiat). Dan cabul itu membawa ke neraka. Dan seseorang yang senantiasa berdusta, hingga tercatat di sisi Allah sebagai orang yang pendusta (HR. Bukhari-Muslim).
Ayat-ayat dan hadist tersebut di atas menunjukkan betapa pentingnya berbuat benar/jujur dalam kehidupan sehari-hari apalagi kapasitas sebagai orang-orang beriman. Mengapa demikian? Jawabnya adalah sebagai berikut.
Pertama: Kejujuran adalah jati diri sebenarnya dari orang beriman sekaligus sifat dan sikap utama bagi mukmin/muttaqin. Tanpa hal tersebut, maka tidak ada gunanya keberadaan orang-orang beriman di mata sesama apalagi di mata Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kedua: Kejujuran itu adalah konsekuensi logis dari seorang mukmin atas testimoninya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang di dalamnya ada kepatuhan (ketaatan) kepada Sang Khaliq sebagai bukti nyata atas keimanannya untuk melakukan hal-hal yang baik (ma’ruf) dan meninggalkan perbuatan tercela (munkar). Ketiga: Di dalam kejujuran ada kemaslahatan umat, dan di dalam kedustaan ada kezaliman pada umat. Sehingga kepada orang-orang beriman diminta membudayakan kejujuran supaya kehadirannya dapat memberi manfaat sebesar-besarnya untuk umat dan kemaslahatannya. Demikian sebaliknya jangan ada kedustaan yang menimbulkan kezaliman pada sesama termasuk alam semesta.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Betapa pentingnya sifat kejujuran ini, sampai di dalam Al-Quran itu disebutkan sebanyak 145 kali. Kata ash–shiddqu dengan berbagai perubahan-perubahan bentuknya. Kemudian begitu pentingnya sifat kejujuran ini, Allah mengawal kata jujur ini dengan wasiat seluruh Nabi dan Rasul; yaitu wasiat takwa. Di dalam surat at-Taubah ayat 119, Allah mengawal perintah takwa dengan perintah untuk bersama dengan orang-orang jujur:
“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan jadilah orang-orang yang jujur hendaklah kalian bersama-sama dengan orang-orang yang jujur.” Dan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam banyak sekali menyebutkan hadits-hadits perintah dan ajakan untuk menjadi orang yang jujur, di antaranya hadits Ibnu Masud yang artinya:
“Hendaklah kalian jujur, karena kejujuran akan menghantarkan kepada kebaikan dan kebaikan akan menghantarkan ke syurga.” (HR. Bukhari Muslim).
Jujur Menciptakan Ketenangan
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Harus diakui bahwa salah satu krisis terbesar di zaman sekarang adalah “Krisis kejujuran”. Akibat krisis ini maka orang-orang jujur/benar di zaman ini termasuk barang langka alias tidak banyak alias hanya sedikit sekali. Mendapatkan pemimpin yang jujur di zaman ini seperti mencari mutiara di lautan lepas menggunakan alat konvensional. Bahkan menemukan masyarakat yang jujur pun tak ubahnya seperti sulitnya mendapatkan pemimpin yang jujur. Masyarakat dan pemimpin di zaman ini nyaris tidak terselamatkan dari perkataan dan perbuatan jujur. Mereka sedang berlomba dalam ketidakjujuran untuk mendapatkan kekuasaan dan rezeki yang tidak berkah, alias haram.
Kejujuran merupakan mozaik yang sangat mahal harganya. Bila pada diri seorang manusia telah melekat sifat kejujuran, maka semua pekerjaan dan kepercayaan yang diamanahkan kepadanya dapat di selesaikan dengan baik dan terhindar dari penyelewengan-penyelewengan.
Kejujuran juga menjamin tegaknya keadilan dan kebenaran. Secara psikologis, kejujuran mendatangkan ketenteraman jiwa. Sebaliknya, seorang yang tidak jujur akan tega menutup-nutupi kebenaran dan tega melakukan kezaliman terhadap hak orang lain.
Ketidakjujuran selalu meresahkan masyarakat, yang pada gilirannya mengancam stabilitas sosial. Ketidakjujuran selalu berimplikasi kepada ketidakadilan. Sebab orang yang tidak jujur akan tega menginjak-injak keadilan demi keuntungan material pribadi atau golongannya.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Berlaku jujur, sungguh menjadi bermakna pada masa sekarang, masa yang penuh dengan kebohongan dan kepalsuan. Pentingnya kejujuran telah banyak disampaikan Rasulullah SAW. Diriwayatkan bahwa, Rasulullah pernah didatangi oleh seorang penzina yang ingin taubat dengan sebenarnya. Rasulullah menerimanya dengan satu syarat, yaitu, agar orang tersebut berlaku jujur dan tidak bohong
Dewasa ini kesadaran untuk menumbuhkan sifat kejujuran sebagai buah dari ibadah puasa, kiranya perlu mendapat perhatian serius. Pendidikan kejujuran yang melekat pada ibadah puasa, perlu dikembangkan sebagai bagian dari kehidupan riil dalam masyarakat. Sebab apabila kejujuran telah disingkirkan, maka kondisi masyarakat akan runyam. Korupsi dan kolusi terjadi di mana-mana, pungli merajalela, kemungkaran sengaja dibeking oleh oknum-oknum tertentu demi mendapatkan setoran uang.
Fenomena kebohongan dan tersingkirnya sifat kejujuran, mengantarkan masyarakat dan bangsa kita pada beberapa musibah nasional yang berlangsung secara beruntun dan silih berganti tiada henti.
Terjadinya malapetaka berupa krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia adalah cermin paling jelas dari makin hilangnya sukma. kejujuran dan semakin mekarnya kepalsuan dalam kehidupan bangsa kita. Dalam menghadapi kasus-kasus yang gawat seperti itu, pesan-pesan profetik keagamaan seperti pesan luhur ibadah puasa dapat ditransformasikan untuk membongkar sangkar kepalsuan dan membangun kejujuran.
Jika manusia jujur telah lahir, dan menempati setiap sektor dan instansi, lembaga bisnis atau lembaga apa saja, maka tidak ada lagi korupsi, kolusi, manipulasi, pungli, suap-menyuap dan penyimpangan-penyimpangan moral lainnya.
Namun sebaliknya, bila pasca puasa Ramadhan, kejujuran semakin tipis atau sirna, barang kali puasa yang dilakukan tidak didasari iman, tetapi mungkin ia melakukan puasa hanya karena mengikuti tradisi. Untuk mewujudkan manusia jujur, perlu peningkatan iman dan penghayatan kesadaran kehadiran Tuhan. Tanpa upaya ini, kejujuran tak akan lahir dari orang yang berpuasa. Wallahu ‘alam.(AK/R01/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)