Depok, MINA – Bagi bangsa Indonesia, korupsi telah menjadi persoalan yang menentukan keberadaan dan nasib bangsa ke depan, bahkan pada titik kritis bisa tidaknya bangsa ini menyintas untuk terus hidup atau hilang dari sejarah dunia.
Demikian dikatakan mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua, dalam diskusi panel bertema “Mencari Strategi Kebudayaan Indonesia untuk 100 Tahun Kedua” yang digelar Jurnal Kasyaf di Depok, Ahad (10/11).
Kasyaf adalah jurnal popular pemikiran ekonomi Islam yang diterbitkan berkala sejak 2019 oleh Pusat Studi Ekonomi dan Bisnis Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Bandung.
Diskusi tersebut menghadirkan empat panelis terkemuka: mantan Komisioner KPK, Dr. Abdullah Hehamahua; Guru Besar Ekonomi IPB University, Prof. Didin S. Damanhuri; cendekiawan Muslim dan mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudi Latif, serta Indra Gunawan dari Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Baca Juga: Lemahnya Peradaban Indonesia Dimulai dari Masalah Jebakan Epistimologi
Keempatnya menawarkan pandangan mendalam mengenai peran budaya dalam menguatkan keberadaan dan mempertahankan eksistensi Indonesia.
Abdullah Hehamahua membuka diskusi dengan paparan tajam mengenai dampak korupsi yang ia sebut sebagai “extraordinary crime” yang mengakar dalam budaya dan struktur sosial.
“Korupsi tidak lagi sekadar kejahatan finansial, tapi telah menjadi kanker yang menggerogoti moral bangsa,” ujar Abdullah.
Menurutnya, jika budaya korupsi ini terus dibiarkan, Indonesia berada dalam ancaman serius untuk terpecah atau bahkan “menjadi jajahan negara-negara besar” dalam beberapa dekade ke depan. Abdullah menegaskan pentingnya transformasi budaya yang mengedepankan kejujuran dan tanggung jawab sebagai cara untuk menghentikan kerusakan ini.
Baca Juga: Ketua Presedium AWG: Gaza Simbol Jihad dan Ketahanan Umat Islam
Menambahkan pandangan Abdullah, Prof. Didin S. Damanhuri menyoroti jebakan “epistemological trap” yang menjadikan bangsa Indonesia terlalu bergantung pada paradigma Barat dalam pembangunan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Menurutnya, strategi kebudayaan yang berbasis nilai lokal perlu dikedepankan untuk menjaga identitas dan kesejahteraan bangsa.
Ia mengajak semua pihak untuk mengembangkan pendekatan heterodoks yang bisa memecahkan masalah berdasarkan pengalaman bangsa sendiri dan bukan sekadar meniru model luar.
Sementara itu, Yudi Latif menyoroti pentingnya budaya sebagai fondasi moral bagi bangsa. Dalam pandangannya, budaya bukan sekadar warisan, tapi juga sumber ketahanan yang dapat melawan degradasi moral seperti korupsi.
Baca Juga: Solidaritas Palestina Menggema di Brebes dan Tegal, Ratusan Warga Konvoi Kendaraan
“Budaya adalah benteng terakhir bangsa dalam mempertahankan moralitas dan identitas,” ujar Yudi, yang selama ini aktif menyuarakan pentingnya budaya dalam menjaga integritas nasional.
Menurutnya, dengan memperkuat nilai budaya yang berakar pada kejujuran dan tanggung jawab sosial, Indonesia bisa memiliki “imunisasi moral” untuk mencegah korupsi merusak bangsa lebih dalam.
Melengkapi perspektif, Indra Gunawan menambahkan pendekatan sejarah dan agama dalam memaknai kebudayaan. Ia menyatakan bahwa “nilai-nilai spiritual dalam agama memiliki peran penting dalam membentuk karakter masyarakat yang kuat dan beretika.”
Indra menilai bahwa praktik korupsi di Indonesia berkembang akibat terkikisnya nilai-nilai moral dan spiritual dalam kehidupan sehari-hari.
Baca Juga: Erupsi Gunung Lewotobi NTT, Warga Mengungsi Capai 11 Ribu Lebih
Ia menyoroti bagaimana sejarah haji di Indonesia, yang menjadi bagian dari budaya, dulu memperkuat nilai kejujuran dan tanggung jawab, nilai-nilai yang kini kian memudar seiring modernisasi dan globalisasi.
Diskusi ini secara keseluruhan menyepakati bahwa korupsi tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga pada eksistensi budaya bangsa. Para panelis mengingatkan bahwa kebudayaan adalah benteng yang melindungi bangsa dari ancaman internal dan eksternal.
Abdullah Hehamahua menegaskan, tanpa budaya yang kuat, Indonesia akan terus terpuruk dalam lingkaran korupsi dan ketidakadilan.
“Korupsi bukan sekadar penyakit birokrasi, ini adalah masalah kebudayaan. Jika budaya kita tak berubah, bangsa ini terancam hancur,” ujarnya tegas.
Baca Juga: Meriahkan BSP 2024, AWG Biro Jambi Adakan Gerak Jalan Cinta Al-Aqsha
Prof. Didin S. Damanhuri menutup diskusi dengan menyerukan pendekatan “heterodoks” dalam pembangunan budaya, yang menggabungkan nilai lokal dan kemajuan modern untuk menghadapi tantangan global.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Kick-Off HPN 2025, Wujud Sinergi Pers Berintegritas dan Indonesia Emas 2045