Korupsi, Gencatan Senjata dan Pecahnya Koalisi Netanyahu

Oleh: Rendy Setiawan, Wartawan MINA

Jauh sebelum pecahnya koalisi mencuat ke permukaan pasca gencatan senjata dengan sejumlah faksi di belum lama ini, sejumlah orang dekat Netanyahu, termasuk ia sendiri ternyata memiliki track record negatif terkait korupsi.

Awal Agustus 2018 lalu, Pengadilan Israel memeriksa dua penyidik polisi terkait tuduhan korupsi yang dialamatkan kepada Netanyahu. Selain itu, jaksa juga tengah melakukan pembicaraan dengan salah satu mantan pembantu utama Netanyahu, seperti diungkap Reuters.

Pengungkapan itu dilakukan dalam lingkup perintah pengadilan yang membatasi liputan media tentang kasus tersebut, tidak secara eksplisit menyebutkan nama Netanyahu. Tapi mereka menggenjot spekulasi di kalangan analis hukum Israel bahwa Netanyahu bisa menghadapi dakwaan jika mantan kepala staf Ari Harow berubah menjadi saksi negara.

Kasus serupa juga menimpa istri orang nomor satu Israel tersebut, Sara Netanyahu. Ia telah ditetapkan sebagai tersangka dalam penyelidikan dugaan korupsi. Menurut laporan Jewish Telegraphic Agency, awal September 2018, seorang wakil polisi di Pengadilan Distrik Tel Aviv menegaskan, Sara adalah tersangka dalam kasus yang dikenal “Kasus 4000”.

Dalam kasus lain yang dikenal sebagai “The Submarine Affair” atau skandal kapal selam adalah skandal paling serius yang menjerat Netanyahu. Meskipun Netanyahu bukan tersangka dalam kasus ini, tetapi tiga orang kepercayaannya terlibat di dalamnya.

Menurut laporan Haaretz, Thyssen Krupp, si pembuat kapal Jerman, yang diwakili di Israel oleh Michael Ganor. Ganor adalah tersangka utama dalam skandal tersebut.

Ia diduga menyuap pejabat pertahanan tingkat tinggi dalam kesepakatan. Ia juga menandatangani perjanjian mengubah saksi negara dalam kasus tersebut. Sebagai imbalan untuk bersaksi melawan tersangka lain, ia menjalani hukuman satu tahun penjara dan didenda US 2,8 juta dollar atau setara Rp 41 miliar.

Di tengah skandal kasus korupsi yang tengah melanda Israel, negeri Yahudi itu justru melakukan serangan besar-besaran ke jantung kota Gaza selama dua hari sejak 12 November 2018. Israel menggempur Palestina dengan mengirim jet-jet tempur yang memuntahkan berlusin-lusin bom dari atas langit Gaza.

Suara dentuman, nyala ledakan, hingga kepulan asap membubung liar dalam gelapnya malam. Sejumlah bangunan publik di Gaza seperti rumah, pertokoan bahkan Kantor Berita Al-Aqsa ikut hancur diburu roket-roket Israel.

Di saat bersamaan, sejumlah roket diluncurkan oleh warga Gaza ke perbatasan Israel. Menurut Aljazeerairon dome atau penghalau roket yang dimiliki Israel membunyikan sirine sepanjang malam Selasa (13/11), waktu Israel. Suara sirine membuat kekatukan di tengah warga Israel.

Setelah dua malam terakhir penuh dengan ketegangan konflik di Gaza, sejak Rabu (14/11), Gaza bakal kembali pada rutinitasnya. Alasannya, gencatan senjata akhirnya ditetapkan, dimediasi oleh pemerintah Mesir. Banyak pihak memandangn gencatan senjata ini sebagai kemenangan Palestina dan kegagalan atas serangan besar yang dilancarkan Israel.

Koalisi Netanyahu Pecah

Gagalnya operasi rahasia yang mengakibatkan kematian tujuh orang Palestina, seorang komandan senior dan seorang perwira Israel tersebut, seperti puncak gunung es dari sederet kasus korupsi yang menjerat Netanyahu bersama koalisinya beberapa bulan sebelumnya.

Kegagalan itu mengakibatkan bukan hanya rasa malu bagi Israel, tetapi juga menjadi puncak pecahnya koalisi Netanyahu yang selama ini hanya menunggu waktu. Indikasinya terlihat hanya beberapa jam pasca diumumkannya gencatan senjata pada Rabu (14/11) siang waktu Gaza antara faksi-faksi di Palestina dengan Israel.

Diawali dari Avigdor Lieberman yang menarik diri sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) Israel dari pemerintahan Netanyahu. Lieberman mundur sebagai bentuk protes dan buntut ketidakpuasan terhadap proses gencatan senjata dengan Gaza. Yang menarik di sini justru Netanyahu sendiri yang menyepakati gencatan senjata tersebut.

Berbicara kepada wartawan di Yerusalem pada Rabu (14/11), Lieberman menganggap bahwa keputusan Netanyahu menyepakati gencatan senjata dengan Hamas di Gaza dengan dimediasi pemerintah Mesir adalah bentuk kapitulasi (menyerahkan diri) terhadap Palestina.

“Meskipun ada perbedaan pendapat, saya berusaha tetap menjadi anggota setia pemerintah selama mungkin. Tetapi gagal,” kata Lieberman.

Lieberman mengaku keputusannya dilatarbelakangi dua hal. Pertama soal kesepakatan gencatan senjata. Kedua ia keberatan dengan langkah yang ditempuh Israel yang mengizinkan Qatar untuk memberikan US 15 juta dollar bantuan ke Gaza pekan lalu.

Selain dua hal itu, keputusan Lieberman bisa jadi dilatarbelakangi faktor lain seperti melihat pemerintahan Netanyahu yang sudah di ujung tanduk yang tak mungkin  dipertahankan lagi akibat kasus korupsi.

Setelah mundur sebagai Menhan, Lieberman juga menyatakan, partai yang dipimpinnya, Yisrael Beitenu, secara resmi meninggalkan koalisi Netanyahu. Dengan demikian, saat ini pemerintahan koalisi Netanyahu hanya unggul satu kursi saja di Knesset (Parlemen Israel).

Menurut Juru Bicara Hamas, Sami Abu Zuhri, mundurnya Lieberman dari kursi Menhan adalah isyarat kekalahan Israel.

Lowongnya kursi Menhan Israel membuat kepala Netanyahu semakin dipusingkan. Pasalnya, Menteri Pendidikan Naftali Bennett mengancam akan mengikuti langkah Lieberman yang menarik partainya dari koalisi jika Netanyahu tak memberikan jabatan menjadi orang nomor satu di kementerian pertahanan tersebut kepada Bennett.

Hal ini dipertegas dalam sebuah pernyataan yang dimunculkan oleh seorang pejabat senior partai Jewish Home. Kepada The Jerusalem Post, pejabat yang tak disebutkan namanya itu mengatakan, jika Bennett tak memperoleh kursi Menhan, ia bersama partainya, Jewish Home akan keluar dari koalisi.

Pernyataan serupa juga disampaikan oleh pejabat senior partai Likud yang mengatakan bahwa Netanyahu kemungkinan akan segera mengusulkan beberapa nama untuk mengisi kekosongan kursi Menhan menyusul mundurnya Lieberman secara tak terduga.

Mundurnya Lieberman bersama partainya yang kemungkinan akan diikuti pula oleh partai Jewish Home memunculkan kabar bakal terjadi pemilihan umum lebih dini dari yang dijadwalkan, yakni November 2019. Hal ini diperkirakan akan menyebabkan kejatuhan Netanyahu semakin nyata. (A/R06/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)