Oleh: Syarif Hidayat*
Para pejabat negara baik yang duduk di Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif yang melakukan korupsi sama sekali tak punya rasa malu. Tindakan mereka itu membuat Bangsa dan Negara Indonesia yang mayoritas berpenduduk Muslim itu merasa malu ketika berhadapan dengan bangsa lain dalam pergaulan masyarakat internasional.
Malu, seharusnya mempunya arti luas, seperti malu jika pernah menjabat tak mampu mewujudkan janji pada rakyat. Malu, jika setelah menjabat berbuat KORUPSI, KOLUSI dan NEPOTISME (KKN), malu jika malas ngantor untuk mengurus rakyat, malu jika melihat rakyat meminta-minta di jalan raya. Sementara mereka bergelimang harta dan kemewahan.
Itulah sebabnya budaya malu ini perlu terus ditanamkan pada diri pejabat agar segala tindak tanduk mereka positif dan mendapat dukungan rakyat. Bukan sebaliknya, budaya KORUPSI yang sangat merugikan rakyat justeru malah dikembangkan!
Baca Juga: Ayo Ramaikan IIBF 2025, Surga Buku dan Inspirasi dari Berbagai Negara
Salah satu penyebab mengapa KORUPSI begitu mengakar di lembaga-lembaga kekuasaan di negeri ini bisa jadi karena hilangnya rasa malu dan rendahnya tingkat keimanan para pejabat kepada agama mereka masing masing. Akibat lemahnya keimanan itu, maka terciptalah moral rendah pada diri sebagian elit penguasa di negeri ini.
Dengan mengorupsi uang rakyat, sebenarnya mereka menekan hati nurani mereka sendiri yang jelas-jelas berontak dan tidak setuju dengan apa yang mereka lakukan.
Rasa malu pada hakekatnya tidak terlepas dari kriteria adat istiadat, kebiasaan dan budi luhur yang dimiliki oleh bangsa berbudaya. Sebagai bukti adalah adat kebiasaan orang Jepang yang lebih baik melakukan hara-kiri (bunuh diri khas Jepang dengan merobek perut menggunakan Samurai) dari pada harus menanggung malu karena diduga melakukan KORUPSI.
Pertengahan September 2008, menteri pertanian Jepang Seiichi Ota dan petinggi birokrat pertanian lainnya memutuskan untuk mengundurkan diri akibat skandal beras yang tercemar pestisida dan jamur. Selang beberapa hari kemudian menteri transportasi Nariaki Nakayama juga mundur akibat serangkaian pernyataannya yang membuat gusar berbagai pihak.
Baca Juga: Harapan Sekjen PBB: Pilih Perdamaian dan Kerja Sama daripada Kekacauan
Di negara lain yang sistem demokrasinya sudah mapan seperti Korea Selatan, juga sering terjadi kasus bunuh diri atau pengunduran diri pejabat negara karena malu diduga atau dituduh melakukan KORUPSI.
Kegilaan Akut Akan Harta Benda
Sementara itu, di Indonesia para pejabat negara baik dari Eksekutif, Yudikatif maupun Legislatif yang diduga atau tersangka dengan bukti-bukti yang sudah dibeberkan di media masa bahwa mereka diduga melakukan KORUPSI atau MENERIMA SUAP, ketika mereka ditangkap KPK atau Polisi, masih juga tersenyum atau tertawa (seolah tak berdosa), bahkan bersikeras membantah melakukan KORUPSI atau menerima SUAP dengan berbagai alasan bahwa uangnya yang berjumlah milyaran atau mungkin triliunan di rekeningnya itu adalah hasil bisnislah atau hibahlah!
Setelah divonis dan dijatuhi penjara oleh pengadilan karena terbukti bersalah melakukan KORUSPI atau terima SUAP pun, begitu keluar dari ruang sidang pengadilan, mereka masih melambai-lambaikan tangan dan menebar senyum ke hadapan pers dan kamera televise. Mungkin mereka merasa menang perkara karena hukuman yang mereka dapatkan ringan.
Baca Juga: Surat Terbuka untuk Presiden Prabowo Subianto: Jangan Pernah Akui Kedaulatan Zionis Israel
Menggunakan “KOSMETIK” apa pada muka-muka mereka? “Tembok”, “Beton” atau “Kegilaan Akut Akan Harta Benda”, sehingga mereka tidak lagi mempunyai rasa MALU sedikitpun.
Kenapa di Indonesia “mereka-mereka” (para pejabat negara baik dari Eksekutif, Yudikatif maupun Legislatif yang melakukan atau terlibat tindak pidana KORUPSI) itu masih terus berlomba KORUPSI, MENERIMA SUAP dan BERBOHONG saja ya?
Hedonisme, tak tahu malu, moral yang rendah, rakus, serakah dan tingkat keimanan dalam agama mereka masing-masing yang sangat lemah menjadi pemicu budaya KORUPSI di kalangan pejabat negara, baik yang ada di lembaga Eksekutif, Yudikatif maupun Legislatif.
Pelayan Rakyat
Baca Juga: Mengukur Realitas Solusi Dua Negara Palestina-Israel
Prilaku KORUP yang sering kali dilakukan oleh sebagian para pejabat di negeri ini bak jamur di musim hujan dan banyak kasus korupsi yang dilakukan bukan hanya secara perindividu malah ada yang dilakukan secara berjamaah.
Sebagai abdi masyarakat, sejatinya semua pejabat negara adalah pelayan rakyat. Tak peduli apapun status sosial yang di sandang rakyat, jadi jika hal ini dipahami sepenuhnya oleh para elit penguasa di negeri ini, tidak ada lagi istilah untuk dilayani dan menjadi raja kecil di setiap tempat pelayanan publik sehingga masyarakat benar-benar merasakan manisnya pelayanan dari aparatur kita.
Malu Bagian Dari Iman
Nabi Muhammad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam itu adalah malu.” (HR. Malik dan Ibn Majah). Saking pentingnya sifat malu dan tingginya kedudukannya, maka ia merupakan karakteristik agama Islam dan juga semua agama terdahulu. Ia merupakan salah satu dari sekian syari’at-syari’at terdahulu yang tidak dihapus. Dan cukuplah untuk menunjukkan betapa kedudukan malu sangat tinggi, penilaian bahwa ia merupakan sebagian dari iman dan jalan menuju surga.
Baca Juga: Ketika Para Pemimpin Dunia Berbicara tentang Palestina di PBB
Definisi malu, menurut para ulama secara bahasa yakni perubahan dan kekalahan diri yang dialami manusia akibat rasa takut dicela. (Fath al-Bari, I:56). Secara istilah syari’at malu adalah sifat yang mendorong diri menghindari hal yang buruk dan mencegah ketidak-optimalan dalam memberikan hak kepada pemiliknya. Oleh karena itu, dalam hadits dikatakan, “Malu itu semuanya baik.” (Fat-h al-Bari, I:56).
Malu merupakan tanda kebaikan dan salah satu dari cabang iman sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Iman itu memiliki tujuh puluh tiga-an (tujuh puluh tiga hingga tujuh puluh sembilan) cabang, dan malu merupakan bagian dari iman.” (HR. al-Bukhari). Pertanyaan penting di sini, mengapa malu merupakan bagian dari iman? Mengapa pula ia disebutkan secara tersendiri dari sekian cabang-cabang iman?
Ada pun mengapa ia merupakan bagian dari iman, hal ini karena seperti yang dikatakan, Ibn Qutaibah rahimahullah, “Sesungguhnya malu mencegah pemiliknya dari melakukan perbuatan maksiat sebagaimana iman mencegahnya, maka dinamakan dengan iman. Sebagaimana juga sesuatu dinamakan dengan nama yang mewakilinya.”
Ibn al-Atsir rahimahullah berkata, “Malu yang merupakan watak itu merupakan bagian dari iman. Ia juga sesuatu yang dihasilkan (bukan eksis dengan sendirinya) sebab dengan sifat malunya, si pemalu akan terputus dari perbuatan-perbuatan maksiat sekalipun bukan sebagai tameng atau pencegah baginya. Maka jadilah ia seperti iman yang memutus antara pelaku maksiat dan kemaksiatan. Malu dijadikan sebagian iman karena iman terbagi kepada sikap mengikuti perintah Allah subhanahu wata’ala dan berhenti dari larangan-Nya. Bila sudah berhenti melalui sifat malu, maka ia menjadi sebagian dari iman.” (an-Nihayah Fi Gharib al-Hadits, I:470).
Baca Juga: Membungkam Suara Gaza: Serangan Israel terhadap Jurnalis sebagai Senjata Perang
Sejarah Pemberantasan Korupsi
Pemberantasan korupsi di Indonesia sebenarnya telah berjalan cukup lama, bahkan nyaris setua umur Republik ini berdiri. Berbagai upaya represif dilakukan terhadap para pejabat publik atau penyelenggara negara yang terbukti melakukan korupsi. Sudah tidak terhitung telah berapa banyak pejabat negara yang merasakan getirnya hidup di hotel prodeo.
Berdasarkan sejarah, selain KPK yang terbentuk di tahun 2003, terdapat 6 lembaga pemberantasan korupsi yang sudah dibentuk di negara ini yakni:
(i) Operasi Militer di tahun 1957,
Baca Juga: Pacaran Bikin Gelisah, Nikah Mendatangkan Berkah
(ii) Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967,
(iii) Operasi Tertib pada tahun 1977,
(iv) tahun 1987 dengan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara dari sektor pajak,
(v) dibentuknya Tim Gabungan
Baca Juga: Semua Orang Sudah Muak dengan Perilaku Biadab Zionis Israel
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TKPTPK) pada tahun 1999, dan
(vi) tahun 2005 dibentuk Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor).
Kebijakan pencegahan juga telah diupayakan oleh pemerintah. Peningkatan transparansi dari penyelenggara negara telah menjadi perhatian pemerintah bahkan sejak tahun 1957. Pemerintah Indonesia sejak tahun 1957 melalui Kepres No. 48/1957 Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution selaku penguasa militer menetapkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi.
Salah satu aspek penting dalam peraturan tersebut adalah membentuk suatu unit kerja yang bertugas menilik harta benda setiap orang yang disangka, didakwa atau sepatutnya disangka melakukan korupsi, termasuk harta benda suami, istri, anak atau badan/institusi yang diurus oleh orang tersebut. Pada masa orde baru, lahir Keppres No. 52/1970 tentang Pendaftaran Kekayaan Pribadi Pejabat Negara/Pegawai Negeri/ABRI.
Baca Juga: Suara dari Gaza: “Kami Manusia, Masih Layak Hidup”
Di orde reformasi dengan adanya UU no. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih KKN dibentuklah Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Dalam tugasnya KPKPN berhasil meletakkan landasan yang baik bagi mekanisme pelaporan kekayaan penyelenggara negara secara komprehensif.
Berbagai kebijakan dan lembaga pemberantasan yang telah ada tersebut ternyata tidak cukup membawa Indonesia menjadi negara yang bersih dari korupsi. Berdasarkan kondisi dimana Indonesia tetap dicap sebagai salah satu negara terkorup di dunia tentunya ada beberapa hal yang kurang tepat dalam pelaksanaan kebijakan atau pun kinerja dari lembaga pemberantasan korupsi tersebut.
Tidak berjalannya program-program pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini lebih banyak dikarenakan:
(i) dasar hukum untuk melaksanakan tugas dan fungsi dalam pemberantasan korupsi tidak kuat,
Baca Juga: Saat Pacaran Jadi “Tren”, Nikah Jadi “Beban”
(ii) program pemberantasan korupsi tidak dilakukan secara sistematis dan terintegrasi,
(iii) sebagian lembaga yang dibentuk tidak punya mandat atau tidak melakukan program pencegahan, sementara penindakan tindak pidana korupsi dilaksanakan secara sporadis, sehingga tidak menyurutkan pelaku korupsi lain dalam melakukan pelanggaran yang sama,
(iv) masyarakat mempunyai persepsi bahwa lembaga anti korupsi yang dibentuk berafiliasi kepada golongan/partai tertentu sehingga masyarakat tidak mempercayai keberhasilan lembaga tersebut dalam memberantas korupsi,
(v) tidak mempunyai sistem sumber daya manusia yang baik, sistem rekrutmennya tidak transparan, program pendidikan dan pelatihan tidak dirancang untuk meningkatkan profesionalisme pegawai dalam bekerja, sehingga SDM yang ada pada lembaga tersebut tidak memiliki kompetensi yang cukup dalam melaksanakan tugas dalam pemberantasan korupsi,
(vi) tidak didukung oleh sistem manajemen keuangan yang transparan dan akuntabel. Sistem penggajian pegawai yang tidak memadai, mekanisme pengeluaran anggaran yang tidak efisien dan pengawasan penggunaan anggaran yang lemah,
(vii) lembaga dimaksud menjalankan tugas dengan benar hanya pada tahun pertama dan kedua, maka setelah itu menjadi lembaga pemberantas korupsi yang korup dan akhirnya dibubarkan.
Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tahun 2003 dengan lingkup tugas dan fungsi meliputi koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan, monitoring, berdasarkan Undang-Undang No. 30 tahun 2002, berusaha untuk tidak mengulang kegagalan lembaga-lembaga sebelumnya.
Fakta Korupsi di Indonesia
Kondisi korupsi di Indonesia masuk dalam kategori akut dari waktu ke waktu, karena secara umum sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia masih belum berorientasi sepenuhnya terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Oleh karenanya tidak mengherankan bila Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berdasarkan survey Transparansi Internasional, memperoleh indeks pada kisaran angka 2 dari tahun 2004 hingga tahun 2007. IPK hingga saat ini diyakini sebagai pendekatan yang sah untuk melihat tingkat korupsi di suatu negara.
Berdasarkan studinya Transparansi Indonesia rendahnya IPK Indonesia disebabkan oleh adanya praktek korupsi dalam urusan layanan pada bidang bisnis, antara lain meliputi ijin-ijin usaha (ijin domisili, ijin usaha, HGU, IMB, ijin ekspor, angkut barang, ijin bongkar muat barang,), pajak (restitusi pajak, penghitungan pajak, dispensasi pajak), pengadaan barang dan jasa pemerintah (proses tender, penunjukkan langsung), proses pengeluaran dan pemasukan barang di pelabuhan (bea cukai), pungutan liar oleh polisi, imigrasi, tenaga kerja, proses pembayaran termin proyek dari KPKN (Kantor Perbendaharaan Kas Negara).
Hasil dari studi yang dilakukan TI ini sejalan dengan Studi Integritas yang dilakukan oleh Direktorat Litbang KPK di tahun 2007. Bahwa unit-unit layanan tersebut seperti Pajak, Bea cukai, layanan ketenagakerjaan, dan keimigrasian masih memperoleh nilai skor integritas yang rendah.
Dengan rentang nilai 0-10, layanan TKI di terminal 3 memiliki skor integritas yang rendah yakni 3,45 sementara layanan pajak mempunyai skor yang sedikit lebih baik yakni 5,96. Skor integritas unit layanan yang ada di Indonesia ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan di negara lain seperti Korea.
Di Korea, rata-rata skor integritas sudah berada di 7 dan telah banyak unit layanan yang memiliki nilai integritas di atas 8 bahkan sudah ada yang mencapai nilai 9.
Ironisnya, berdasarkan studi ini, justru rendahnya kualitas layanan yang diterima publik selama ini menyebabkan tumbuhnya persepsi dalam masyarakat (pengguna layanan) bahwa pemberian imbalan merupakan hal yang wajar dalam proses pengurusan pelayanan. Pemberian imbalan saat pengurusan layanan dianggap sebagian besar responden dalam penelitian ini sebagai tanda terima kasih atas pelayanan yang diberikan.
Artinya mereka kurang memahami bahwa layanan yang mereka terima tersebut merupakan hak yang memang seharusnya mereka terima, sementara pemberi layanan memang memiliki kewajiban dan tugas untuk memberi layanan kepada mereka.
Kekurangpahaman masyarakat terhadap tugas dan kewajiban pemberi layanan membuat mereka merasa berhutang budi sehinga mereka membalas layanan yang telah mereka terima dengan memberikan imbalan kepada pemberi layanan tersebut.
Attitude atau perilaku dalam menerima mau pun memberikan suap, kejahatan korupsi yang melibatkan perbankan, pengadaan barang dan jasa secara nasional yang korup, money politic, money laundering, korupsi oleh penegak hukum merupakan kasus korupsi di Indonesia yang harus ditangani lebih efektif. Semua informasi tersebut merupakan kondisi riil tentang luas dan kompleksnya korupsi di Indonesia yang membutuhkan Strategi Pemberantasan Korupsi yang Sistemik.
Strategi Pemberantasan Korupsi
Kegagalan strategi pemberantasan korupsi di masa lalu adalah pelajaran bagi bangsa untuk menetapkan langkah ke depan strategi dalam pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi idealnya harus mengandung dua unsur, yaitu penindakan dan pencegahan.
Dua unsur tersebut harus diusahakan agar dapat berjalan seiring saling melengkapi yakni korupsi harus dipetakan secara seksama dan dicari akar permasalahannya kemudian dirumuskan konsepsi pencegahannya. Sementara tidak pidana korupsi yang terus berlangsung harus dilakukan penegakan hukum secara konsisten, profesional agar pelanggaran serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari.
Apabila pendekatan tersebut dapat dilaksanakan secara konsisten, maka diharapkan pemberantasan korupsi dapat diwujudkan dengan lebih efektif, sistemik, berdaya guna, dan berhasil guna.
Hukum Mati Koruptor
Ketua Dewan Pembina Gerakan Indonesia Adil, Sejahtera, Aman (ASA) Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso mengusulkan perlunya penerapan hukuman mati bagi para koruptor agar menimbulkan efek jera.
“Kasus korupsi di Indonesia kian mengkhawatirkan. Oleh karena itu pelaku korupsi harus dihukum seberat-beratnya, bahkan koruptor ‘kelas kakap’ harus dihukum mati agar menimbulkan efek jera,” katanya.
Sehubungan dengan itu, lanjutnya, Gerakan Indonesia ASA mengusulkan perlunya revisi terhadap undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi serta perlunya memasukkan klausul hukuman mati bagi koruptor dalam Rancangan KUHP yang kini tengah dibahas DPR.
Selain itu, ke depan perlu dibentuk perwakilan (cabang) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di masing-masing ibukota propinsi, sehingga penanganan masalah korupsi tidak menumpuk dan terpusat di KPK di ibukota negara.
Hukum Hanya Tajam ke Bawah
Djoko Santoso juga menjelaskan, Ormas Gerakan Indonesia ASA mengidentifikasi adanya tujuh faktor yang merupakan penghambat pembangunan nasional lima tahun ke depan. Salah satu di antaranya adalah masalah maraknya tindak pidana korupsi.
Masalah lain adalah penyimpangan konstitusi dalam penyelenggaraan negara, produktivitas angkatan kerja, konflik pertanahan, subsidi energi, perumahan bagi rakyat miskin, dan pembayaran hutang Pemerintah.
Terkait masalah korupsi, mantan Panglima TNI itu menyatakan prihatin bahwa publik setiap hari disuguhi berita korupsi yang tidak hanya dilakukan oleh pejabat di lingkungan eksekutif, melainkan juga di kalangan legislatif dan yudikatif.
”Menurut catatan KPK, tindak pidana korupsi justru terjadi di lembaga negara yang seharusnya menjadi penegak hukum. Korupsi paling tinggi terjadi di lingkungan kepolisian, lalu di parlemen, kemudian di pengadilan. Fakta ini semakin memperlihatkan betapa mereka benar-benar mengalami krisis moral,” katanya.
Menurut Ketua Dewan Pembina Gerakan Indonesia ASA yang juga Ketua Dewan Penasehat pada Forum Komunikasi Sekretaris Desa Indonesia (Forsekdesi) dan Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI ) itu, maraknya tindak pidana korupsi menunjukkan bahwa kini Indonesia mengalami krisis kewibawaan pemimpin dan lembaga negara.
Maka, jika Indonesia ingin maju, tidak ada jalan lain ke depan hukum harus benar-benar ditegakkan, dan pelaku tindak pidana korupsi harus dihukum seberat-beratnya sampai pada hukuman mati, demikian Djoko Santoso.
Djoko Santoso berpendapat, makin meruaknya tindak pidana korupsi di tanah air dewasa ini disebabkan ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor.
“Penegak hukum hanya melihat aturan-aturan hukum yang tertulis tanpa mengindahkan rasa keadilan. Akibatnya, tidak ada efek jera bagi koruptor, sehingga bisa difahami munculnya anggapan bahwa hukum di Indonesia itu tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah,” katanya kepada pers di Jakarta, Jumat.
Mantan Panglima TNI itu juga mengemukakan, hukuman terhadap maling ayam terkadang sama beratnya dengan hukuman terhadap koruptor, padahal setelah selesai menjalani hukuman, sang koruptor masih punya “harta karun” untuk melanjutkan kehidupannya, sementara sang maling ayam bertambah miskin.
“Oleh karena itu, kini sudah saatnya pelaku korupsi dihukum seberat-beratnya melalui hukuman kerja paksa sampai dengan penerapan hukuman mati dan penyitaan terhadap harta kekayaan hasil korupsinya,” tegas Djoko Santoso.
Sehubungan dengan itu pula, lanjutnya, Gerakan Indonesia ASA mengusulkan perlunya revisi terhadap undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi serta perlunya memasukkan klausul hukuman kerja paksa sampai hukuman mati bagi koruptor dalam Rancangan KUHP yang kini sedang dibahas DPR.
Selain itu, ke depan perlu dibentuk perwakilan (cabang) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di masing-masing ibu kota propinsi, sehingga penanganan masalah korupsi tidak menumpuk dan terpusat di KPK di ibu kota negara.
Menurut Panglima TNI 2007-2010 itu, tertangkapnya Ketua MK Akil Mochtar oleh KPK dalam kasus dugaan gratifikasi untuk mengurus sengketa Pilkada Gunung Mas Kalimantan Tengah baru-baru ini menunjukkan bahwa hukum harus benar-benar ditegakkan dengan mengindahkan rasa keadilan, terlebih yang bersangkutan telah mempermalukan bangsa dan negara di mata internasional.
Sudah saatnya hukuman mati bagi koruptor diterapkan seperti di China agar ada efek jera. China berani menerapkan hukuman mati, kenapa Indonesia tidak. Perdana Menteri China Zhu Rongji (1998-2003) berhasil memberantas tuntas korupsi di negeri China, terutama berkat pelaksanaan fatwanya yang terkenal di seluruh dunia.
“Untuk melenyapkan korupsi, saya telah menyiapkan 100 peti mati. Sembilan puluh sembilan untuk para koruptor dan satu untuk saya, jika saya berbuat sama,” kata Zhu Rongji dalam fatwanya.
Hasilnya, China menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia yang diakui dan disegani oleh negara-negara Barat. Buktinya, Amerika Serikat yang sekarang merupakan satu satunya negara adidaya pun meminta bantuan keuangan kepada China untuk mengatasi utang negara yang melilit Pemerintahan Washington saat ini.(T/E1/R2).
Mi’raj News Agency (MINA)
*Editor MINA (Ia dapat dihubungi via email:[email protected])
Bibliotheque:
2. http://id.berita.yahoo.com/