Oleh: Rifa Berliana Arifin, Kared Arab MINA
Semalam (19/11) Timnas Indonesia kembali dikalahkan Malaysia 0-2 di Group G Kualifikasi Piala Dunia 2020 dalam pertandingan yang berlangsung di Kuala Lumpur. Yang ingin penulis sorot bukan pada alur jalan pertandingan atau skor akhir, tapi pada peristiwa yang berulang kali terjadi diwarnai keributan, kerusuhan supporter selama sampai dengan usai pertandingan. Saking seringnya ribut seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan di setiap laga yang mempertemukan kedua kesebelasan itu.
Penulis mencoba membandingkan dengan laga lain di Euro 2020 beberapa hari yang lalu antara Inggris vs Kosovo dengan skor akhir Inggris unggul 4-0. Yang menakjubkan, meskipun menjadi tuan rumah dalam laga tersebut supporter Kosovo tidak terlihat membuat kerusuhan apalagi hujan botol. Mereka justru mengangkat bendera Inggris dan mengucap terima kasih.
Bahkan kedatangan Timnas Inggris, di ibu kota Kosovo Pristina diwarnai pengibaran bendera Inggris dan banner “Welcome & Respect“. Hal yang jarang terjadi bagi Indonesia yang bertandang ke Malaysia, juga sebaliknya. Dan bahkan jarang terjadi di negara manapun.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Mengapa orang Kosovo begitu welcome pada Inggris ? Itu tidak terlepas dari peristiwa Perang Kosovo tahun 1998-1999.
Perang Kosovo ialah konflik yang terjadi antara Yugoslavia yang sekarang dikenal Serbia vs Kosovo Liberation Army (KLA), kelompok separatis yang menginginkan kemerdekaan Kosovo dari Yugoslavia. Mayoritas penduduk Kosovo adalah suku Albania, yang beragama Islam. Kosovo ingin mengikuti jejak Slovenia, Croatia, Bosnia & Herzegovina yang telah lebih dahulu merdeka dari Yugoslavia.
Dalam kasus Kosovo, Inggris telah mengambil inisiatif sejak awal melalui Perdana Menteri Tony Blair yang dilantik pada 1997 dengan melobi negara-negara anggota The North Atlantic Treaty Organization (NATO) termasuk Amerika Serikat untuk turun tangan dalam kasus Kosovo.
Pada masa Perang Bosnia sebelumnya, Tony Blair belum jadi Perdana Menteri, tapi ia ingin menjadikan perang di Bosnia sebagai pelajaran, agar Kosovo tidak mengalami hal yang serupa dengan apa yang terjadi di Bosnia.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Hasil dari upaya Tony Blair, akhirnya NATO melakukan serangan udara terhadap Yugoslavia pada 24 Maret 1999. Selama kurang lebih 78 hari. Yang akhirnya menyebabkan militer Yugoslavia angkat kaki dari Kosovo. Kosovo mengumumkan kemerdekaannya. Inggris adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Kosovo sekaligus langsung membuka kedutaannya di Pristina ibukota Kosovo.
Masyarakat Kosovo merasa berhutang budi pada Inggris dan AS terlebih pada Tony Blair. Saking bangganya banyak warga Kosovo menamai anak mereka dengan “Tonibler”. Pemerintah Kosovo membuat tugu Presiden AS Bill Clinton sebagai pengingat “jasa” AS berbahu-bahu dengan Inggris untuk “memerdekakan” Kosovo dari Yugoslavia.
Tentu tidak semata-mata karena kemanusiaan Inggris menolong Kosovo. Faktanya Yugoslavia/Serbia ibarat adik kecil Rusia, sehingga membantu Kosovo merdeka berarti menjadikan Kosovo sekutu yang kuat dalam negosiasi melawan Rusia. Tony Blair tahu cara bermain geopolitik. Sebelum NATO dan Rusia makin panas di era Putin, Blair sudah siapkan cadangannya. Kasus ini mengingatkan padahal yang sama bahwa Inggris memberikan dukungan kepada Yunani pada tahun 1820 untuk merdeka dari Turki Ustmani.
Yunani berhutang budi kepada Inggris, sehingga 90 tahun kemudian pasca Perang Dunia Pertama (1914-1918), Yunani menjadi kunci Inggris melawan Turki Utsmani.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Sampai saat ini sikap balas budi masyarakat Kosovo terhadap Inggris atau AS terlihat masih sangat jarang terjadi, karena kedua negara itu sudah kadung terkenal dan dipandang sebagai negara penjajah atau imperialis. Tapi ternyata pada kasus-kasus tertentu termasuk Kosovo melihat keduanya sebagai “pahlawan”. Seperti halnya di Irak, meski dunia terutama Islam melihat AS sebagai negara Jahannam, Biadab, Penjajah, tapi bangsa Kurdi justru melihat AS sebagai “pahlawan” karena telah membantu mereka terlepas dari penjajahan dan penindasan Saddam Husain.
Geopolitik sangat dinamis, tak ada musuh atau sahabat abadi, adapun yang abadi hanyalah kepentingan nasional masing-masing negara yang paling utama.
Lagi lagi, untuk memahami geo politik perlu berfikiran secara rasional dan zig zag, colourful, apa yang negara A mau, belum tentu negara B mau; pahlawan bagi negara A mungkin bisa jadi musuh bagi negara B, musuh negara B mungkin bisa menjadi teman bagi negara A dan C.
Agak sulit memahaminya tapi itulah realitas politik internasional dan segala bentuk politik, termasuk dalam konteks Indonesia saat ini. Masyarakat melihat zig zag politik dari partai yang sebelumnya oposisi menjadi koalisi dalam pemerintahan. (A/RA-1/P1)
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Miraj News Agency (MINA)