Oleh: Ali Farkhan Tsani, Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Desakan semakin keras terhadap pemenang Nobel Perdamaian tahun 1991 asal Myanmar, Aung San Suu Kyi yang hingga kini belum merespon krisis pengungsi yang melibatkan Muslim Rohingya terpinggirkan di negaranya. Organisasi hak asasi manusia, termasuk Human Rights Watch (HRW), mengatakan bahwa diamnya Suu Kyi terhadap isu Rohingya yang tengah berlangsung adalah tindakan yang salah.
Bahkan tokoh spiritual Buddha Tibet, Dalai Lama mendesak ikon demokrasi Myanmar itu untuk mengangkat isu pengungsi itu ke dunia internasional.
Tapi Suu Kyi tetap saja tidak bergeming. Sejauh ini, hanya Nyan Win, juru bicara Liga Nasional untuk Demokrasi The National League for Democracy (NLD), organisasi Suu Kyi beraktivitas, yang telah mengomentari krisis. Win mengatakan bahwa Rohingya berhak untuk mendapatkan hak asasi manusia, tetapi tidak untuk kewarganegaraan negara sampai mereka memenuhi persyaratan hukum.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Sikap ini dikritik oleh kelompok hak asasi, yang mengatakan bahwa hal itu membuat hidup Rohingya di Myanmar tidaklah mungkin, dan justru mendorong mereka meninggalkan negaranya sebagai satu-satunya pilihan, dan mengapunglah warga itu di lautan luas.
Alasan Politik
Banyak pengamat yang menduga bahwa Suu Kyi terus diam karena alasan politik pemilu. Myanmar memang akan menyelenggarakan pemilihan parlemen akhir tahun ini. Suu Kyi dan partainya NLD tentu berkeinginan menang dalam pemilihan. Ia tak ingin kehilangan suara warga Budha mayoritas Burma, jika ia dianggap berpihak atau bersuara soal Rohingya tersebut.
Kritik pun semakin keras. Rodion Ebbighausen, dalam media Jerman Deutsche Welle mengatakan, Suu Kyi telah bertindak oportunis, untuk kepentingan diri dan partainya, bukan kemanusiaan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Tapi situasi politik di Myanmar memang cukup kompleks. Mayoritas penduduk Buddha menganggap warga Rohingya sebagai Bengali, pendatang ilegal dari negara tetangga Bangladesh.
Tahun 2012, ketegangan antara umat Buddha dan Muslim berkobar, memicu kerusuhan yang menewaskan sedikitnya 200 orang dan menelantarkan lebih dari 100.000 orang.
Sebuah laporan oleh komisi penyelidikan, yang dibentuk oleh pemerintah setelah kerusuhan, menyimpulkan bahwa kedua belah pihak tidak siap untuk hidup berdampingan secara damai.
Situasi hingga saat ini masih belum berubah, pada kenyataannya justru semakin memburuk. Pemilu mendatang telah memperburuk dinamika, dan tidak pasti apakah Myanmar akan melanjutkan proses demokratisasi atau kekuasaan dan kekejaman warga mayoritas yang didukung junta militer. Militer di Myanmar sangat kuat untuk campur tangan dan mengambil kendali langsung atas urusan tersebut.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Aung San Suu Kyi menghadapi dilema. Sebagai ikon hak asasi manusia, karena ia dikenal secara internasional, itu adalah tugasnya untuk mengangkat suara kemanusiaan penderitaan Rohingya dan mengecam tindakan pemerintah dan mayoritas Buddha. Tapi tentu berisiko baginya menghadapi suara-suara mayoritas dan nasional.
Di sisi lain, diamnya Suu Kyi tidak menunjukkan visinya sebagai penganjur demokrasi dan hak asasi menusia, yang ia kumandangkan sejak 1988. Suu Kyi dan partainya NLD rupanya lebih cenderung memenangkan pemilihan parlemen daripada mengusung nilai-nilai kemanusiaan.
Dia dan partainya semestinya mengambil langkah-langkah konkret untuk memastikan bahwa masalah Rohingya haruslah diletakkan dalam perspektif di tanah air mereka, Myanmar.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Cabut Nobel
Diamnya Suu Kyi mengundang komentar anggota DPR Aceh, Iskandar Usman Al-Farlaky yang meminta lembaga internasional mencabut Nobel perdamaian Aung San Suu Kyi, karena tokoh oposisi itu dinilai tidak peka terhadap penderitaan muslim Rohingya yang diusir dari Myanmar.
Sikap diam Suu Kyi harus dikritik, hanya diam melihat kekejaman Junta Militer Myanmar terhadap warga Rohingya, kata Iskandar, menanggapi terdamparnya ratusan etnis Rohingya di Aceh.
Namun, walaupun peraih Nobel itu diam, masih ada ribuan bahkan mungkin jutaan kaum Muslim dan warga dunia lainnya yang memberi perhatian, kepedulian dan harapan kepada warga Rohingya, baik yang terdampar di Aceh maupun yang terdzalimi di Myanmar. Pemerintah dan rakyat Indonesia sebagai sesama manusia, ikut terhormat dengan memberikan bantuan dan santunan kepada warga Rohingya.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Sebab, bagaimanapun di samping mereka adalah Muslim saudara sesama Muslim di seluruh dunia, juga sesama manusia yang sama-sama punya hak hidup dan hak tinggal di muka bumi ini di manapun dan kapanpun. Tanpa ada diskriminasi, penindasan dan penjajahan satu bangsa atas bangsa lainnya. (T/P4/R01)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang