Oleh: Dr. L. Sholehuddin, M.Pd.; Dosen Tetap pada Sekolah Tinggi Shuffah Al-Quran Abdullah bin Masud Onlie, Lampung
Diskursus kepemimpinan dalam Islam adalah bagian dari urusan dunia dan sekaligus akhirat, yang sangat diperhatikan karena posisinya yang sangat penting dan strategis.
Posisi pemimpin dalam suatu komunitas masyarakat amanat sangat ditentukan oleh gaya kepemimpinan. Bila, ia memimpin dengan kecakapan ilmu dan akal sehat, maka masyarakat akan maju, berkembang dan berdaulat. Tetapi, bila yang memimpin, itu orang yang bodoh dan dungu, maka sudah pasti kekacauan dan malapetaka yang akan terjadi.
Oleh karena itu, memilih pemimpin harus benar-benar menyimak dan memperhatikan akidah, ilmu, dan akhlak, di samping rekam jejak, visi dan misinya.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Islam tidak mengenal istilah dikotomi atau sekularisasi yang memisahkan antara dunia dan akhirat, sains dan agama, ilmu dan amal, termasuk dalam hal kepemimpinan umat ini.
Secara spesifik Al-Quran mengungkap sebuah fenomena pengangkatan seorang pemimpin untuk sebuah posisi atau jabatan formal yang dilakukan raja Mesir terhadap Yusuf AS seperti yang diabadikan Allah dalam Al-Quran Surat Yusuf ayat 55.
Raja amat sangat tertarik terhadap Yusuf AS atas sifat yang dimiliknya, seperti; amanah, jujur, tanggung jawab, dan integritas, sehingga Raja berkeinginan untuk mengangkatnya sebagai pemimpin dengan memberikannya sebuah jabatan tinggi dan terhormat, yaitu posisi “Perdana Menteri”.
Hal ini, raja lakukan setelah ia memperhatikan dengan seksama melalui berbagai fit and proper test berupa; uji fisik, dibuang ke sumur tua, uji mental, sebagai objek perdagangan anak, dan perbudakan, uji moral, digoda istri raja yang sangat cantik untuk berbuat nista, uji kecerdasan, berupaya solusi mengatasi datangnya musim paceklik yang akan menimpa bangsa Mesir, uji profesi, yang dapat membawa rakyat Mesir penuh damai, makmur, dan berkeadilan.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Dalam perspektif Prof. Dr. Didin Hafiduddin, MA., salah seorang pakar ekonomi terkenal di Indonesia, ia memberikan analisis kritis dan tajam terhadap makna surat Yusuf ayat 54-55. Ia menjelaskan bahwa secara eksplisit ayat ini minimalnya mengandung empat kriteria seorang layak menjadi pemimpin dan berlaku dalam pelbagai level kepemimpinan apa pun.
Keempat kriteria tersebut adalah:
Pertama, beriman kepada Allah (mukmin). Yaitu seorang muslim yang memiliki dua sifat Hifzun dan Alim, Kata Hifzun secara bahasa adalah orang yang pandai menjaga. Artinya, orang yang memiliki integritas, kepribadian yang kuat, amanah, jujur, dan akhlaknya mulia, sehingga patut menjadi teladan bagi orang lain atau rakyat yang dipimpinnya.
Seorang pemimpin yang amanah, akan berusaha sekuat tenaga untuk menciptakan lapangan kerja, mendorong dan memotivasi rakyatnya berkreativitas dan berinovasi sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan secara masif, merata dan berkeadilan walaupun sumber daya yang dimiliki sangat terbatas.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Sebaliknya, pemimpin yang khianat, hanya sibuk memperkaya diri sendiri, keluarga dan kolega-koleganya dan membiarkan rakyatnya tak berdaya menderita tenggelam dalam arus kelaparan, kemiskinan dan terpasung dalam budaya marginalisasi yang menistakan.
Rasulullah SAW mengingatkan, sifat amanah akan menarik keberkahan, sedangkan sifat khianat akan mendorong kefakiran. Adapun kata Alim adalah seorang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai (profesional) untuk memimpin rakyatnya dan membawa mereka pada tataran kehidupan yang lebih maju, merdeka dan sejahtera.
Kedua, rajin menegakkan salat. Sebab, salat adalah barometer akhlak manusia. Pemimpin yang baik dan layak menjadi pemimpin adalah orang yang menegakkan salat. Salat melahirkan tanggung jawab. Karena substansi kesadaran keimanan/ tauhid/ transendental itu dapat dibangun hanya melalui salat.
Miniatur kehidupan seseorang tercermin pada salatnya. Salat menjadi tolak ukur diterima dan tertolaknya amalan seseorang. Salat bagaikan kawah candradimuka yang mengikis habis anasir-anasir dosa, maksiat dan mungkarat selain syirik. Karena itu, seorang pemimpin wajib atasnya untuk selalu memperhatikan dan menegakkan salat dalam situasi dan kondisi apapun.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Ketiga, gemar menunaikan zakat dan sedekah. Zakat itu bukan membersihkan harta yang kotor melainkan membersihkan harta kita (harta yang bersih) dari hak orang lain. Seorang pemimpin yang rajin berzakat dan berinfak, tidak akan melakukan manipulasi, eksploitasi dan korupsi.
Sebab dia yakin Allah sudah menjamin rezeki yang halal lebih banyak daripada rezeki yang haram. Kalau sudah demikian, maka untuk apa manipulasi, eksploitasi dan korupsi yang sangat dibenci oleh Allah SWT serta merugikan masyarakat banyak.
Keempat, suka berjamaah. Artinya suka bergaul dengan masyarakat, berusaha mengetahui keadaan umat, makmum atau rakyatnya dengan sebaik-baiknya dan mencarikan jalan keluar atas persoalan-persoalan yang dihadapi mereka.
Sifat suka berjamaah atau memperhatikan masyarakat ini, dapat ditunjukkan dalam salat fardhu berjamaah. Rasulullah SAW setiap selesai salat fardhu berjamaah lalu duduk menghadap kepada jamaah. Hal itu, bertujuan untuk mengetahui kondisi jamaah, termasuk memperhatikan apakah jumlah jamaah tersebut lengkap atau tidak.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan
Kalau ada yang tidak hadir salat berjamaah, ditanya apa penyebabnya. Kalau ternyata orang itu sakit, Rasulullah bersama para sahabatnya lalu menjenguk orang yang sakit tersebut.
Itulah inti kehidupan berjamaah atau memperhatikan rakyat dan tiga kriteria lainnya, yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin dan atau calon-calon pemimpin masa kini dan masa depan, sebagai kriteria dan dasar utama dalam memahami dan menerapkan prinsip-prinsip kepemimpinan berbasis Al-Quran.
Melalui berbagai diskusi, pelatihan, workshop, loka karya, dan lain-lain diharapkan kita dapat memahami dan menyerap berbagai nilai, norma dan sifat empat kriteria pemimpin ideal seperti yang telah dipaparkan tersebut sebelumnya.
Dan menjadikannya nafas perjuangan dalam mengembalikan I’zul Islam wal Muslimin sehingga mampu membangun peradaban dunia berbasis Al-Quran serta dapat membebaskan Masjid Al-Aqsha dari cengkeraman penjahat internasional bidang kemanusiaan: Zionis laknatullah. Wallahu ‘alam Bissawab.(AK/R01/P1)
Baca Juga: Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina
Mi’raj News Agency (MINA)