Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA
Kita masing-masing diberi jatah waktu yang sama sehari semalam 24 jam.
Hanya yang membedakan adalah untuk apa saja 24 jam itu dipakai.
Berapa jam untuk tidur? Ini mungkin yang paling banyak, 5 jam, 6 jam, 8 jam?
Baca Juga: Khutbah Jumat: Jalan Mendaki Menuju Ridha Ilahi
Berapa jam untuk bekerja cari nafkah? 8 jam? P4 alias Pergi Pagi Pulang Petang? Bahkan kalau lembur ya P4 itu Pergi Pagi Pulang Pagi lagi.
Lalu, kalau kita komparasikan dengan ibadah khas kita, shalat misalnya. Berapa jamkah? Menitkah?
Berapa jam lagi atau menitkah untuk dzikrullah, tadarus Al-Quran, istighfar dan shalawat?
Tulisan ini tentu bukan hendak menggugat supaya shalat 8 jam, dzikrullah 8 jam dan tadarus 8 jam. Sehingga jumlahnya 24 jam.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Akhir Kehancuran Negara Zionis
Tapi bagaimana menjadikan 24 jam itu bernilai ibadah.
Bagun tidur ada zikirnya, mau kerja ada bacaannya, di perjalanan ada adabnya, makan ada doanya, bertemu wanita dan kemewahan ada doa mohon perlindungan dari fitnah.
Ya, 24 jam yg terus berputar. Masalahnya adalah sejauh mana kita bisa memanfaatkannya menjadi bernilai. Bagaimana mengelola waktu dengan karya-karya terbaik kita untuk manfaat seluas-luasnya. Bagaimana memanaj waktu untuk dakwah menyebarkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.
Dan sejauh mana kita bisa mengendalikannya dari dosa dan maksiat. Serta menjauhkan dari yang tak berguna dan sia-sia belaka.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Memberantas Miras Menurut Syariat Islam
Menjaga 24 jam bermakna menjaga 24 ribu tahun lebih kehidupan akhirat kita.
“Walal akhirotu khoirul laka minal ula“. Dan akhirat itu lebih baik daripada dunia.
“Walal akhirotu khoiruw wa abqo“. Dan akhirat itu lebih kekal. (A/RS2/RI-1)
Baca Juga: Khutbah Jumat: Menyongsong Bulan Solidaritas Palestina
Mi’raj News Agency (MINA)