Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kudeta Gagal di Turki

illa - Ahad, 17 Juli 2016 - 10:43 WIB

Ahad, 17 Juli 2016 - 10:43 WIB

686 Views

Oleh: Illa Kartila – Redaktur Senior Miraj Islamic News Agency/MINA

Sekelompok militer berusaha melakukan kudeta terhadap pemerintahan Turki, Jumat (15/7/2016) pagi, dan walaupun upaya menggulingkan Presiden Recep Tayyip Erdogan itu berhasil digagalkan, tetapi 161 orang tewas, sekira 1400 korban terluka serta ribuan lainnya ditahan.

Kudeta ini menurut kantor berita AFP, memang hanya berlangsung beberapa jam saja karena tampaknya tidak didukung seluruh militer. Angkatan Darat dan Angkatan Laut Turki yang merupakan kekuatan penting, tidak sepenuhnya berada dalam faksi militer yang melakukan upaya penggulingan kekuasaan tersebut.

Ini terlihat dari pernyataan Komandan pasukan khusus Militer Turki, Jenderal Zekai Aksakalli yang menyatakan tidak merestui kudeta terhadap pemerintah. Dalam pernyatannya pada siaran radio NTV, Zekai menegaskan, kudeta telah gagal dan pasukannya mendukung masyarakat.

Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir

Sumber AFP juga menyiarkan penyataan pemerintah Turki bahwa ibukota Ankara dan Kota Istanbul sudah kembali dikuasai pemerintah Erdogan. Presiden Turki itu juga sudah mengerahkan pendukungnya untuk turun ke jalan dan menentang kudeta. Seruan itu disambut dengan turunnya ribuan massa ke jalan di beberapa lokasi seperti di Taksim Square di Istanbul.

Kudeta ini adalah yang kesekian kalinya sejak dimulai tahun tahun  1960, ketika tentara menangkap semua anggota Partai Demokrat yang berkuasa dan menyeretnya ke pengadilan.

Setahun kemudian, Adnan Menderes, perdana menteri yang saat itu digulingkan, digantung.

Pada 1971, tentara memaksa perdana menteri aliran konservatif, Suleyman Demirel, untuk mundur dari jabatannya. Saat itu negara dinyatakan darurat militer dan merancang pemerintah teknokrat.

Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia

The Telegraph menyebutkan, tentara melakukan intevensi besar terakhir dalam politik pada 1980. Saat itu para jenderal mengambil alih Turki setelah kekerasan yang terjadi antara pelajar sayap kiri dan sayap kanan menyeret mereka ke ambang perang saudara. Pemimpin junta militer, Kenan Evren, menaikkan jabatannya ke kursi kepresidenan.

Pada 1997, tentara memaksa koalisi pimpinan Islamis, Necmettin Erbakan, yang hendak mengarahkan Turki melaksanakan aturan agama untuk mundur. Namun, tentara menahan diri merebut kekuasaan dan membiarkan politikus sekuler untuk membentuk pemerintah baru.

Pada 15 Juli 2016, Perdana Menteri Turki Binali Yildirim menegaskan adanya upaya kudeta dari prajurit militer Turki. Meski usaha itu berhasil digagalkan, tetapi dia menyebutnya sebagai noda bagi sejarah demokrasi Turki. Dia menyalahkan upaya kudeta kepada ‘organisasi paralel teroris’. “Mereka akan menerima hukuman yang pantas.”

Organisasi dimaksud adalah gerakan yang dipelopori oleh Fethullah Gulen – ulama muslim yang hidup dalam pengasingan di Pennsylvania, Amerika Serikat. Gulen dan Erdogan dulunya saling bersekutu. Namun, hubungan mereka putus tahun 2013 karena Gullen menuduh Erdogan dan lingkarannya melakukan korupsi.

Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh

Selama bertahun-tahun, Gulen membangun pengaruhnya di lembaga hukum dan polisi. Erdogan kemudian menyingkirkan orang-orang Gulen. Dia juga menyebut Gulen sebagai kepala kelompok teror. Upaya mengekstradisi Gulen hingga saat ini belum berhasil. Organisasi terkait Gulen, Aliansi Nilai Bersama, membantah keterlibatan Gulen dalam upaya kudeta Turki.

Mengapa kudeta?            

Di era Mustafa Kemal Pasha sebagai Ataturk (Bapak/Pemimpin Turki), urusan pemerintahan menurut  mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono, terpisah dari urusan agama. Sejak pemerintahan Presiden Erdogan, pemisahan tersebut semakin pudar. Militer dan sebagian masyarakat ingin kembali pada keadaan di era Ataturk.

Sikap Tayyip Erdogan, katanya, juga mendua dalam kasus ISIS dan sikap swasta Turki (termasuk putera Erdogan) yang mengambil kesempatan, melalui pembelian minyak dari ISIS.

Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh

Rusia yang menuduh ISIS adalah rekayasa Barat mendukung usaha kudeta kelompok militer. Barat yang biasanya mendukung Erdogan terlihat ambigu.

Presiden Turki Erdogan menyalahkan lawan politiknya yang berusaha melakukan pengkhianatan terhadap negara. “Sekelompok kecil pasukan angkatan bersenjata telah gagal dalam upaya memecah persatuan Turki. Apa yang terjadi saat ini adalah pemberontakan dan pengkhianatan.”

Menurut Hendropriyono, jika Erdogan menyerukan rakyatnya untuk turun ke jalan menentang kudeta, biasanya Barat di belakang people power. “Tetapi jika Barat tiba-tiba kembali ambigu, karena runtuhnya ISIS dan kini menyuburkan kembali Al-Qaeda, maka usaha kudeta kelompok militer ini mungkin saja berhasil.

Dia menambahkan, kudeta kelompok militer ini kemudian gagal karena pimpinan mereka tidak jelas, sedangkan Erdogan tetap memegang komando pengendalian terhadap militer.

Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung

Pemerintah Indonesia sendiri berharap agar situasi di Turki segera pulih. “Indonesia menekankan pentingnya penghormatan terhadap konstitusi dan prinsip demkorasi,” ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri RI Arrmanatha Nasir.

Kenapa kudeta gagal?

Menurut pengamat militer Salim Said, kudeta tersebut mengalami kegagalan karena hanya sebagian kecil dari militer yang ada melakukan kudeta. Di sisi lain, masyarakat sipil melakukan perlawanan lantaran tidak ingin militer kembali berkuasa. “Kesalahan kudeta adalah kelompok kecil militer itu tak lagi didukung oleh masyarakat dan adanya perpecahan di dalam militer.”

Meskipun demikian, katanya, sikap masyarakat yang tak mendukung kudeta tidak dapat diartikan sebagai bentuk dukungan kepada Erdogan. Rakyat Turki hanya tidak ingin kehidupannya kembali dibayang-bayangi kekuasaan militer.

Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel

“Apakah masyarakat mendukung Erdogan, belum tentu. Masyarakat yang turun ke jalan itu mendukung kebebasan mereka sendiri, mendukung supremasi sipil,” ujarnya.

Sementara itu pengamat politik internasional Arya Sandhiyudha juga berpendapat, ada dua faktor yang menyebabkan kudeta militer di Turki gagal yaitu dukungan masyarakat dan soliditas aktor keamanan nasional.

Menurut dia, demokrasi telah menggariskan bahwa yang akan menentukan keluar sebagai pemimpin di Turki adalah rakyat. Counter coups mendukung Presiden Recep Tayyio Erdogan bergerak cepat dan masif. Mereka keluar rumah pada dini hari untuk mengungkapkan dukungan kepada presiden dan partainya.

Pelaku kudeta melakukan pendudukan dan pengamanan di tempat-tempat umum utama seperti, Taksim Square, tetapi kehadiran aksi balasan lebih luas dan kuat. Polisi antihuru-hara bergabung dengan para demonstran melakukan aksi balasan, menembakkan senjata ke udara, dan meminta tentara itu untuk meninggalkan tempat.

Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel

“Meski militer menembaki demonstran di Jembatan Bosporus, mereka yang menghasut kudeta jelas malah makin kehilangan dukungan publik. Hal unik, Erdogan masih menjadi magnet gerakan rakyat lawan kudeta di jalanan,” kata Arya.

Selain dukungan rakyat, kudeta yang sukses menurut dia, membutuhkan soliditas pasukan keamanan. Di Turki, adanya tanda-tanda konflik di antara berbagai lapisan militer ternyata masih eksis. Salah satu indikasinya, diduganya Muharrem Kose sebagai aktor utama kudeta.

Sebelumnya, ditunjuknya Panglima Militer baru, Umit Dundar menggantikan Hulusi Akar, juga mengindikasikan konflik tersebut.

Selain itu partai-partai dan kelompok oposisi juga sangat berperan bagi gagalnya kudeta. Pada Pemilu Turki 2015 , Partai Keadilan dan Pembangunan memenangkan 49,5 persen suara. “Itu menunjukkan bahwa negara ini sangat terpolarisasi antara kaum sekuler, Islamis, Kurdi, dan nasionalis.”

Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara

Turki juga memiliki sejumlah oposisi terhadap Islam yang menentang agenda politik berhaluan neo-Ottoman dalam arah kebijakan luar negeri Erdogan. Tetapi, di sisi lain, mereka pendukung presiden yang absah secara demokratis.

Seperti kata Arya Shandiyudha, ada banyak orang Turki yang anti-Erdogan tetapi belum tentu  setuju dengan kudeta,  mengingat trauma ketidakstabilan ekonomi dan politik di masa lalu ketika hal itu terjadi di Turki.

Kudeta gagal karena para pelaku tak berhasil menguasai dukungan rakyat dan soliditas pelaku keamanan nasional, yang merupakan syarat utama sebuah kudeta.” (R01/P4)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu

Rekomendasi untuk Anda

Palestina
Asia
Asia
Internasional
Internasional