Oleh: KH. Drs. Yakhsyallah Mansur, M.A.*
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ/ ال عمران [٣]: ٢٠٠
(Hai orang-orang yang beriman, bershabarlah kamu dan kuatkanlah keshabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu berbahagia. – Q.S. Ali Imran [3]: 200).
Baca Juga: Hidup Hanya Sekali, Jadikan Bermakna di Sisi Allah
Kata المفلحون (muflihun) berasal dari kata فلح (falaha) yang berarti membelah. Dari sini petani dinamai الفلاح (al-fallah) karena dia mencangkul untuk “membelah” tanah lalu menanam benih. Benih yang ditanam petani menumbuhkan buah yang diharapkannya. Dari sini mungkin orang yang memperoleh apa yang diharapkan dinamai “falah” dan hal itu tentu melahirkan “kebahagiaan” yang menjadi salah satu arti “falah”.
Ar-Raghib Al-Asfihani menyebutkan bahwa الفلاح (kebahagiaan) itu ada 2 (dua) yaitu kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Kebahagiaan dunia berupa keberhasilan mendapat kebahagiaan yang membawa kebaikan hidup di dunia, seperti stabilitas, tercukupinya keperluan hidup dan kemuliaan. Sedang kebahagiaan akhirat berupa kekal tanpa binasa, cukup tanpa kekurangan, mulia tanpa kehinaan dan berilmu tanpa kebodohan.
Untuk memperoleh kebahagiaan tersebut, Allah memberikan beberapa tuntunan dalam Al-Qur’an, antara lain yang disebutkan pada ayat di atas.
Pertama, Iman.
Baca Juga: Pelanggaran Zionis terhadap Konvensi Jenewa
Iman adalah kunci kebahagiaan yang paling utama. Tidak mungkin seseorang memperoleh kebahagiaan tanpa keimanan. Oleh karena itu hampir semua ayat dalam Al-Qur’an yang berbicara tentang kebahagiaan selalu dihubungkan dengan iman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
(Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. – Q.S. Al-Maidah [5]: 35)
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ/ المؤمنون [٢٣]: ١.
Baca Juga: Masjidil Aqsa, Lambang Kehormatan Umat Islam yang Terluka
(Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. – Q.S. Al-Mu’minun [23]: 1)
Pada ayat ini, sebelum Allah menyebutkan beberapa hal yang membawa kepada kebahagiaan, Allah memanggil orang yang beriman. Hal ini menunjukkan bahwa hanya orang yang beriman yang dapat memperoleh kebahagiaan dunia maupun akhirat.
Kata “iman” berasal dari kata “amn” yang berarti ketenangan jiwa dan hilangnya rasa takut. Al-Qur’an menggunakan kata iman dalam berbagai bentuk kata jadian tidak kurang dari 550 kali.
Iman merupakan kunci keislaman seseorang yang dalam perwujudannya disimbolkan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Baca Juga: Zionis Israel Gunakan Kelaparan sebagai Senjata Genosida, Dunia Tak Berdaya
الإيمان ان تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الأخر وتؤمن بالقدر خيره وشره/ البخارى ومسلم
(Iman adalah engkau percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir dan takdir yang baik dan buruk. – H.R. Bukhari dan Muslim)
Berbicara soal iman tidak mungkin dilepaskan dari keyakinan. Iman sebagai perbuatan hati yang direalisasikan dengan perbuatan akan menenteramkan hati dan menghilangkan keraguan dalam segala tindakan karena adanya kepercayaan bahwa semua yang terjadi di alam semesta telah diatur dan ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kedua, Shabar dan menguatkan keshabaran
Baca Juga: Pesan Surah As-Syuraa: Persatuan Bukti Keimanan, Perpecahan Bukti Kemusyrikan
Ar-Raghib menyatakan bahwa shabar adalah:
الإمساك فى ضينى
(Menahan diri dalam menanggung suatu kesempitan/ penderitaan).
Pada ayat di atas disebutkan bahwa shabar merupakan langkah kedua untuk memperoleh kebahagiaan setelah iman. Ketika menjelaskan ayat di atas salah seorang ulama Al-Azhar kontemporer Syaikh Ibrahim Dasuki menyatakan, “Ketahuilah bahwa kita tidak akan memperoleh apa-apa yang kita cintai, kecuali apabila kita mau bershabar. Dan ketahuilah bahwa tidak ada sesuatu yang diberikan Allah yang nilainya lebih baik selain shabar.”
Baca Juga: Bacalah: Perintah Ilahi yang Mengubah Dunia
Hal ini sesuai degan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ/ الزمر [٣٩]: ١٠.
(Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertaqwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bershabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. – Q.S. Az-Zumar [39]: 10)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Baca Juga: Tiga Godaan Lelaki: Ujian Harta, Fitnah Wanita, dan Ambisi Takhta
ومن يتَصبرْ يصبِرْ الله وَمَا أعطى أحدٌ عطاء خير و أوسع من الصبرات
(Barang siapa menyabarkan dirinya maka Allah akan memberikan keshabaran padanya. Dan tidak ada pemberian (dari Allah) kepada seseorang yang lebih baik dan lebih luas melebihi keshabaran. – H.R. Bukhari dan Muslim)
Shabar mempunyai tiga unsur, yaitu ilmu, hal dan amal. Yang dimaksud ilmu adalah pengetahuan atau kesadaran bahwa shabar itu mengandung kemaslahatan dalam agama dan memberi manfaat bagi seseorang dalam menghadapi segala problem kehidupan. Pengetahuan yang demikian seterusnya menjadi milik hati. Keadaan hati yang memiliki pengetahuan demikian disebut hal. Kemudian hal tersebut terwujud dalam tingkah laku. Terwujudnya hal dalam tingkah laku disebut amal.
Para ahli tafsir membedakan antara kalimat إصبروا (bershabarlah) dan وصابروا (kuatkanlah keshabaranmu). Menurut Hasan Al-Bashri kalimat إصبروا merupakan perintah agar umat Islam tetap bershabar dengan ajaran Islam dan tidak meninggalkannya dalam situasi apapun sehingga kematian datang menjemput. Sedang kalimat وصابروا merupakan perintah agar umat Islam bershabar menghadapi musuh-musuh yang menyembunyikan agama mereka.
Baca Juga: Tata Cara Penyembelihan Hewan Qurban Sesuai Syariat, Ini Panduan Lengkapnya
Menurut Musthafa Al-Maraghi, إصبروا maksudnya bershabar menghadapi kesulitan kehidupan dunia sedang وصابروا maksudnya bershabar menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan dari sesama manusia.
Menurut Hamka, kedua perintah shabar maksudnya memerintahkan untuk memperkuat keshabaran. Barang siapa yang lebih tahan lama bershabar itulah yang akan menang.
Shabar itu sekalipun sangat sulit mendapatkannya tetapi bukan sesuatu hal yang mustahil untuk menghasilkannya. Caranya adalah dengan memadukan ilmu dan amal yang dapat ditempuh dengan dua jalan.
Pertama, dengan memperbanyak pengetahuan tentang keutamaan shabar dan akibat buruk bagi orang yang tidak shabar.
Baca Juga: Doa untuk Orang Haji dan Umroh Agar Mendapat Haji Mabrur
Kedua, melawan pengaruh hawa nafsu dengan sungguh-sungguh yang apabila dibiarkan akan menghilangkan keshabaran, seperti emosi, menyalahkan Allah, tergesa-gesa dan sebagainya.
Imam Thabrani meriwayatkan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang istri Abu Thalhah yang bernama Ummu Sulaim, dia bercerita, “Pada suatu hari anakku meninggal sementara suamiku tidak ada di rumah (bepergian). Aku berusaha supaya kematian anakku tidak diketahui dengan tiba-tiba oleh suamiku sepulangnya dari bepergian.
Oleh karena itu jenazah anak itu aku letakkan di sudut rumah. Setelah itu aku siapkan makan dan ketika dia datang, ia pun makan dengan enak sekali. Kemudian suamiku bertanya, “Bagaimana keadaan anak kita sekarang?” aku menjawab, “Alhamdulillah, sejak sakitnya tidak pernah dia setenang ini.” Setelah itu aku berpakaian seindah yang dapat aku kenakan, agar timbul hasratnya pada diriku. Kemudian tidak lama setelah itu ia mengumuli aku dan memuaskan hasratnya.
Setelah itu aku berkata, “Wahai suamiku, bagaimana pendapatmu seandainya ada sekelompok orang yang meminjamkan sesuatu kepada salah satu keluarga kemudian orang itu meminta kembali pinjamannya, apakah pantas keluarga itu menahannya?” Suamiku berkata, “Tidak pantas.” Di saat itulah baru aku memberitahukan yang sebenarnya terjadi dan berkata, “Begini suamiku, bukankah anak kita itu pinjaman Allah dan kini Allah telah mengambilnya kembali,” Ia sadar apa yang kumaksudkan lalu mengucapkan, ألحمد لله إنا لله وإنا إليه راجعون
Baca Juga: Silaturahim vs Silaturahmi: Apa Bedanya Menurut Syariat?
Pagi-pagi benar suamiku pergi ke tempat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan memberitahukan apa yang aku perbuat sejak kedatangannya di rumah sampai pagi itu. Kemudian beliau berdoa, اللهم بارك لهما فى ليلتهما “Ya Allah berilah keberkahan untuk kedua suami isteri itu pada malam harinya tadi”.
Perawi hadits ini berkata, “Sungguh saya melihat 7 orang anak Abu Thalhah dan Ummu Sulaim semua di masjid membaca Al-Qur’an dengan hafalan.”
Ketiga, Selalu Siap Siaga.
Para ulama menafsirkan kalimat رابطوا (bersiap siagalah kalian) dengan beberapa pengertian:
1. Konsisten beribadah, seperti pendapat Ibnu Katsir
المداومة فى مكان العبادة والتبات
(Terus menerus dan tekun di tempat ibadah)
2. Rajin shalat berjamaah di masjid
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang mana dengan sesuatu itu Allah akan menghapus dosa-dosamu dan dengan sesuatu itu Allah akan mengangkatnya beberapa derajat?” Para sahabat menjawab, “Baik, ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Menyempurnakan wudlu pada keadaan tidak disukai, memperbanyak langkah ke masjid dan menanti shalat setelah shalat. Maka itulah yang dinamakan ribath, maka itulah yang dinamakan ribath.”
3. Menjaga musuh di garis depan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
رباط يوم فى سبيل الله خير من الدنيا وما فيها/ متفق عليه
(Berjaga di garis depan pada jalan Allah sehari itu lebih baik dari pada dunia dan isinya – Muttafaq Alaih)
4. Selalu siap siaga menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan menimpa umat dan agama. Termasuk di dalamnya mempersiapkan generasi yang menguasai berbagai macam ilmu, memperkuat pertahanan dan sebagainya.
Keempat, Taqwa
Perkataan taqwa biasa diterjemah dengan “takut”. Walaupun tidak salah tetapi taqwa lebih tepat diartikan “memelihara diri”. Perkataan taqwa dengan pengertian inilah yang paling sering kita ucapkan melalui doa yang diajarkan oleh Allah:
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ/ البقرة [٢]: ٢٠١.
(“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. – Q.S. Al-Baqarah [2]: 201)
Diri akan dipelihara dari siksa neraka dengan menjauhi kemaksiatan dan melaksanakan aturan-aturan Allah. Dengan kata lain, taqwa berarti melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Taqwa merupakan buah iman yang sesungguhnya. Iman dan taqwa merupakan dwitunggal, satu kesatuan yang utuh. Seseorang akan mencapai derajat taqwa apabila dia benar-benar iman. Tanpa iman tidak mungkin bertaqwa. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ/ ال عمران [٣]: ١٠٢.
(Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. – Q.S. Ali Imran [3]: 102).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa, “Bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah:
ان يطاع فلا يعصى ويشكر فلا يكفر ويذكر فلا ينسى
(Allah selalu ditaati dan tidak dimaksiyati, disyukuri tidak diingkari, diingat tidak dilupakan. H.R. Al-Hakim)
Orang yang telah mencapai derajat taqwa dan berusaha terus mempertahankannya dipandang orang yang berbahagia karena sukses melaksanakan agamanya. Manusia yang bertaqwa mempunyai kekuatan yang mampu menghadapi berbagai persoalan hidup, sanggup menghadapi saat yang kritis dan dapat mendobrak jalan buntu yag menghambat. Taqwa akan memudahkan jalan keluar dari setiap persoalan dan situasi sulit. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا/ الطلاق [٦٥]: ٤.
(Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. – Q.S. Ath Thalaq [65]: 4). Wallahu A’lam bis Shawwab.(T/P06/R2).
*Pimpinan Ma’had Al Fatah Indonesia
Mi’raj News Agency (MINA)