Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kunjungan Transaksional Trump ke Timteng di Tengah Kelaparan Gaza

Ali Farkhan Tsani Editor : Rudi Hendrik - 46 detik yang lalu

46 detik yang lalu

0 Views

Warga Gaza Palestina antre untuk mendapatkan makanan di dapur umum. (foto: WAFA)

KUNJUNGAN Presiden Amerika Serikat Donald Trump ke Timur Tengah pada 13-16 Mei 2025 disambut dengan kemewahan oleh negara-negara Teluk seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Qatar.

Hamparan karpet berwarna lavender pun digelar menyambut kedatangan Trump di Riyadh, Arab Saudi, Selasa, 13 Mei 2025.

Sejak 2021, Arab Saudi memang telah mengubah warna merah karpet penyambutan tamu kehormatan negara menjadi lavender, dengan alasan warna baru itu terinspirasi dari warisan alamiah Arab.

Ketika Trump diterima di di istana kepresidenan Uni Emirat Arab (UEA) pada Kamis, 15 Mei 2025, ia disambut dengan penampilan tradisional yang melibatkan puluhan remaja perempuan yang mengibaskan rambutnya dari satu sisi ke sisi lainnya terus-menerus.

Baca Juga: Langkah-Langkah Sederhana Menuju Surga

Para perempuan yang menunjukkan penampilan Al-Ayyala itu terlihat bergaun putih panjang dengan rambutnya yang terurai, tampak di sisi kanan dan kiri Trump yang berjalan didampingi petinggi Uni Emirat Arab. Sementara sejumlah pria memukul drum dan meneriakkan yel-yel di belakang perempuan-perempuan itu.

Sementara di Doha, Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, mengumumkan pembelian 210 pesawat Boeing oleh Qatar Airways, yang merupakan pesanan terbesar dalam sejarah perusahaan tersebut. Selain itu, Trump menerima hadiah berupa pesawat mewah senilai 400 juta dolar AS (Rp6,57 triliun) dari Qatar, yang memicu pertanyaan etis mengenai potensi konflik kepentingan.

Hubungan mesra disertai tawa ria AS dengan negara-negara Arab di Timur Tengah dikuatkan dengan kesepakatan dengan nilai lebih dari 2 triliun dolar AS atau sekitar Rp33.000 triliun.

Rinciannya terdiri dari kesepakatan komitmen investasi Saudi ke AS sebesar 600 miliar dolar AS (Rp9.867 triliun), perjanjian pertukaran ekonomi dengan Qatar senilai 1,2 triliun dola AS (Rp19.735 triliun), kesepakatan komersial dan pertahanan antara AS-Qatar senilai 243,5 miliar dolar AS (Rp4.002 triliun).

Baca Juga: Perjalanan Trump ke Timteng Tak Banyak Bantu Warga Palestina

Kesepakatan komersial lainnya, dengan Uni Emirat Arab senilai 200 miliar dolar AS Rp3.287 triliun).

Trump telah berhasil mengendalikan negara-negara Arab untuk memperkuat ekonomi Amerika Serikat, dan Trump berjanji akan mendorong terciptanya keamanan dan stabilitas yang lebih besar di kawasan Timur Tengah, membuka jalan menuju masa depan yang lebih makmur dan aman, atas kendali AS.

Dalam perjalanan itu, Trump juga bertemu dengan Presiden Suriah, Ahmed al-Sharaa, di Riyadh, Rabu, 14 Mei 2025, yang merupakan pertemuan pertama antara pemimpin AS dan Suriah dalam 25 tahun terakhir.

Dalam pertemuan tersebut, Trump mengumumkan pencabutan sanksi AS terhadap Suriah dan mendorong Suriah untuk bergabung dalam Abraham Accords.

Baca Juga: Hijrah Bukan Tren, Tapi Jalan Pulang yang Hakiki

Gaza yang Terabaikan

Trump, dalam pidatonya di forum investasi di Riyadh, Arab Saudi, Rabu, 14 Mei 2025, menyatakan harapan terbesarnya agar Arab Saudi bergabung dengan Abraham Accords, serangkaian perjanjian normalisasi hubungan antara negara-negara mayoritas Muslim dengan Israel yang ia jalankan sejak 2020.

“Ini adalah hal luar biasa, Abraham Accords, dan menjadi harapan, keinginan, bahkan mimpi saya bahwa Arab saudi, negara yang saya sangat hormati, terutama dalam waktu belakangan ini akan segera bergabung,” ujar Trump dalam sambutannya.

Trump menyebut keterlibatan Arab Saudi akan menjadi “penghormatan besar bagi negara Anda dan sangat penting untuk masa depan Timur Tengah.”

Baca Juga: Haji Berkali-kali, Tapi Tetap Sombong dan Kikir?

Abraham Accords pada masa jabatan pertama Trump menghasilkan kesepakatan damai antara Israel dengan empat negara Arab, yaitu Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko.

Sebagai balasannya, AS dalam beberapa hal memberikan insentif strategis, finansial, atau diplomatik kepada negara-negara yang menandatanganinya.

Selain menyerukan normalisasi dengan Israel, Trump juga menggunakan pidatonya untuk mengingatkan bahwa Iran tidak boleh memiliki senjata nuklir.

Meskipun Trump tidak mengunjungi Israel dalam perjalanan ke Timur Tengah, Trump tetap menyatakan dukungannya terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Ia menyebut bahwa rencananya untuk Gaza akan menguntungkan Israel dalam jangka panjang.

Baca Juga: Topeng Demokrasi Amerika Roboh di Tepi Gaza

Trump sempat sedikit menyinggung soal Gaza, ketika berkujung ke Uni Emirat Arab (UEA).

“Kami sedang melihat Gaza, dan kami akan mengurusnya. Banyak orang yang kelaparan,” kata Trump kepada wartawan di Abu Dhabi, Kamis, 15 Mei 2025.

Trump menyatakan keinginannya untuk mengambil alih Jalur Gaza dan menjadikannya sebagai “freedom zone” atau zona kebebasan.

Trump pada Februari lalu, selang beberapa waktu usai dilantik menjadi Presiden AS, menyatakan niatnya untuk membangun Jalur Gaza dan memaksa orang-orang Palestina untuk pergi ke tempat lain.

Baca Juga: Tarian Tanpa Hijab di Depan Trump: Potret Jahiliyah Modern di Negeri Muslim

Keingiannya tersebut dengan cepat mendapat kecaman global. Palestina, negara-negara Arab dan dunia Islam yang mengatakan, keinginan tersebut sama saja dengan pembersihan etnis.

Selama kunjungan Trump ke Timur Tengah, yang katanya perhatian terhadap Gaza, situasi di Gaza tetap memburuk akibat serangan militer Israel yang terus berlangsung, menyebabkan banyak korban jiwa dan luka-luka di kalangan warga sipil.

Justru pada kunjungan hari kedua di Arab Saudi, serangan militer Israel di seluruh Jalur Gaza pada Rabu (14/5/2025) menyebabkan sebanyak 80 warga Palestina tewas dan ratusan terluka.

Sebuah gambaran ironis, ketika sambutan mewah di istana-istana, tarian perempuan-perempuan muda, dan ‘upeti’ investasi negara-negara Arab ke AS, ‘setor’ uang puluhan ribu triliun melalui Trump. Namun di sisi lain, korban-korban warga Gaza tak berdosa terus bergelimpangan, di depan negara-negara tetangganya.

Baca Juga: Masjid Al-Aqsa, Doa dan Harapan

Di satu sisi para pejabat kaya raya itu bermewah-mewahan dalam kekenyangan makanan dan gemerlap harta, sementara tetangganya sedang mengerang kelaparan, menunggul ajal di depan mata dan hidung tetangga-tetangga sesama bangsa Arab, sambil terus dibombardir oleh pasukan Zionis Israel.

Sikap negara-negara Arab yang memilih memprioritaskan bisnis dan investasi saat warga Gaza sedang kelaparan menjadi sorotan tajam dan membuka luka moral yang dalam dalam solidaritas umat Islam dan kemanusiaan global.

Ketika AS, sebagai sponsor utama militer dan politik Israel, justru disambut dengan karpet lavender atau merah, tarian, dan kontrak triliunan dolar oleh negara-negara Teluk, dunia pun bertanya, “Di mana harga diri dunia Arab dalam membela rakyat dan bangsa Palestina?”

Sebuah diplomasi transaksional yang menukar prinsip dengan proyek bisnis, dengan meninggalkan kesan bahwa darah rakyat Palestina tidak lebih berharga daripada saham dan senjata.

Baca Juga: Peringatan Nakba: Simbol Perlawanan dan Hak Kembali Bangsa Palestina

Desak Trump

Negara-negara seperti Arab Saudi, UEA, dan Qatar sebenarnya memiliki pengaruh ekonomi dan strategis besar yang seharusnya bisa digunakan untuk menekan dan mendesak Donald Trump.

Negara-negara kaya minyak itu mestinya bisa berdiplomasi untuk tidak akan berinvestasi dan bekerjasama dalam bisnis, teknologi dan persenjataan, paling tidak untuk sementara ini, hingga serangan ke Gaza dihentikan.

Para Raja dan Emir itu bisa saja mensyaratkan gencatan senjata dan pembukaan blokade Gaza sebagai bagian dari perjanjian bisnis, sebagai tekanan diplomatik kepada Trump.

Baca Juga: Kunjungan Trump ke Saudi, antara Normalisasi, Investasi dan Pemetaan Kawasan

Namun sayangnya, isu Palestina, khususnya Gaza itu, justru tenggelam di balik kontrak Boeing, pusat kecerdasan buatan (AI), dan pesawat mewah.

Dalam kancah bisnis global, tentu sah-sah saja bicara bisnis, dengan AS sekalipun. Tapi bicara bisnis sambil membiarkan rakyat dibantai adalah penghinaan terhadap nilai-nilai Islam, kemanusiaan, dan sejarah perjuangan Palestina. Dunia Arab masih punya waktu untuk membalikkan keadaan, jika mereka memilih prinsip, bukan hanya profit.

Sementara, di negara-negara non-Muslim, non-Arab, Eropa sana justru sedang masifnya meningkatkan solidaritasnya terhadap Palestina. Beberapa negara seperti Spanyol, Norwegia, Irlandia mendukung penuh Palestina merdeka.

Beberapa negara seperti Afrika Selatan malah berani menggugat Israel di Mahkamah Internasional, baik ICC maupun ICJ. Sikap terbalik dengan negara-negara timur Tengah yang euporia menyambut transaksi bisnis dan politik dengan Trump.

Baca Juga: Kavaana Oleh Oleh Haji di Jogja: Tempat Belanja Terbaik Jamaah Haji dan Keluarga

Ketika sejumlah negara Barat justru tampil tegas membela Palestina, negara-negara Arab justru terlihat pasif atau bahkan akomodatif terhadap kekuatan yang mendukung agresi Israel. Hal ini memunculkan ironi moral dan krisis solidaritas dalam dunia Islam.

Realitas ini menimbulkan pertanyaan moral besar, mengapa negara-negara Muslim, yang seharusnya menjadi garda terdepan pembela Palestina, justru diam atau malah bertransaksi dengan pendukung agresor? Apakah ekonomi dan kekuasaan lebih penting daripada darah saudara seiman?

Ini menjadi pertanyaan besar untuk membangun kembali kesadaran moral, keadilan, dan solidaritas sejati, bukan sekadar simbol, retorika dan basa-basi. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda