Taipei, 18 Rabi’ul Akhir 1437/28 Januari 2016 (MINA) – Presiden Taiwan Ma Ying-jeou, Kamis (28/1), mengunjungi Pulau Taiping di wilayah Laut Cina Selatan yang dipersengketakan sejumlah negara Asia.
Ma bertolak dari Taipei ke pulau di Kepulauan Nansha itu bersama dengan 30 orang staf pemerintah dan akademisi.
Kunjungan itu mudah ditafsirkan sebagai upaya untuk menunjukkan kedaulatan Taiwan atas wilayah yang menjadi salah satu pusat konflik di kawasan Asia Pasifik tersebut.
Taiping, juga dikenal sebagai Itu Aba, terletak di kepulauan Spratly, yang dipersengketakan Taiwan, Cina, Vietnam, dan Filipina. Negara Asia lain yang mengklaim wilayah di Laut Cina Selatan adalah Malaysia dan Brunei Darussalam.
Baca Juga: Kelelahan Meningkat, Banyak Tentara Israel Enggan Bertugas
Kementerian Luar Negeri Taiwan, dalam sebuah keterangan yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Ma menjelaskan ada empat tujuan dari perjalanannya itu. Di antaranya adalah mengunjungi personel di pulau itu, mempromosikan Peta Jalan Inisiatif Perdamain Laut Cina Selatan (SCSPIR), menjelaskan aksi damai pemanfaatan Pulau Taiping, dan mengklarifikasi status hukum pulau itu.
“Saya sangat senang berada di sini hari ini di Pulau Taiping menjelang Tahun Baru Imlek dengan kalian semua yang ditempatkan di Kepulauan Nansha ini, bagian dari wilayah selatan Republik Cina (Taiwan),” ungkap Ma.
Ia menggarisbawahi penyelesaian konflik di Laut Cina Selatan harus mengedepankan kooperasi, bukan konfrontasi. Menurut Ma, mekanisme kerja sama dan pembangunan yang berkontribusi pada perdamaian dan kesejahteraan di kawasan itu harus lebih dahulu dibangun.
“Dan sengketa kedaulatan harus ditepikan untuk resolusi masa depan melalui cara-cara damai,” tegas politikus dari Partai Nasionalis (Kuomintang) itu.
Baca Juga: Bahas Krisis Regional, Iran Agendakan Pembicaraan dengan Prancis, Jerman, Inggris
“Mekanisme kerjasama dan pembangunan harus memastikan partisipasi yang setara dan berbagi sumber daya antara semua pihak yang terkait di wilayah tersebut untuk menghindari merusak hak dan kepentingan pihak manapun,” tambahnya.
Sementara para analis melihat Ma berkepentingan mengunjungi Pulau Taiping untuk ‘unjuk diri’ di sisa masa jabatannya. Pemimpin yang dikritik di dalam negeri karena dipandang lemah dalam hal kebijakan luar negeri ini akan turun tahta pada Mei depan karena masa jabatannya berakhir.
“Presiden Ma memandang memajukan kepentingan maritim (Taiwan) sebagai bagian dari warisannya,” ujar Bonnie Glaser, penasihat senior untuk Asia pada Center for Strategic and International Studies (CSIS), lembaga think tank yang berbasis di Washington, Ameika Serikat.
“Kunjungannya ke Taiping lebih lanjut akan memicu semangat nasionalisme di negara-negara pengklaim dan meningkatkan ketegangan,” tegasnya, seperti dilaporkan International Business Times.
Baca Juga: Serangan Hezbollah Terus Meluas, Permukiman Nahariya di Israel Jadi Kota Hantu
Taiwan menghabiskan lebih dari US$100 juta (Rp1,3 triliun) untuk meningkatkan kapasitas landasan udara di pulau itu dan membangun sebuah dermaga yang mampu memuat kapal penjaga pantai berbobot 3.000 ton untuk berlabuh.
“Semua bukti ini sepenuhnya menunjukkan bahwa Pulau Taiping mampu berfungsi sebagai tempat tinggal manusia dan kehidupan ekonomi sendiri. Pulau Taiping secara kategori bukan karang, tapi sebuah pulau,” kata Ma.
Kritikan
Sekitar 2.000 kilometer di selatan Taiwan dan berukuran 46 hektar, Taiping adalah pulau terbesar yang muncul secara alami di kawasan Laut Cina Selatan.
Baca Juga: Jajak Pendapat: Mayoritas Warga Israel Dukung Gencatan Senjata dengan Lebanon
Taiwan menempatkan sekitar 200 personel penjaga pantai, ilmuwan, dan tenaga medis di Taiping. Mereka menempati sejumlah pulau lainnya di Laut Cina Selatan, termasuk gugusan Pulau Pratas ke utara.
Hingga berita ini ditulis, belum ada tanggapan langsung dari Tiongkok terkait kunjungan Ma ke Taiping. Namun juru bicara Kantor Urusan Taiwan Ma Xiaoguang, Rabu (27/1), menegaskan Beijing memiliki ‘kedaulatan tak terbantahkan’ atas pulau-pulau di Laut Cina Selatan.
“Menjaga kedaulatan nasional dan integritas wilayah dan kepentingan keseluruhan bangsa Cina adalah tanggung jawab bersama dan kewajiban rekan di kedua sisi dari Selat Taiwan,” kata Ma Xiaoguang kepada Xinhua.
Pejabat Vietnam di Taiwan mengatakan Hanoi dengan ‘tegas menentang’ kunjungan Ma. Sementara Kementerian Luar Negeri Filipina menyatakan semua pihak memiliki tanggung jawab bersama untuk menahan diri dari tindakan yang bisa meningkatkan ketegangan.
Baca Juga: Putin Punya Kebijakan Baru, Hapus Utang Warganya yang Ikut Perang
AS, sekutus utama Taiwan, ikut mengkritik kunjungan Ma, menyebutnya ‘sangat tidak membantu’. Langkah Ma dipandang tidak akan berarti apa-apa untuk menyelesaikan sengketa di perairan yang kaya sumber daya alam dan salah satu pusat lalu lintas perdagangan minyak dunia itu.(T/P022/R05)
Baca Juga: Jadi Buronan ICC, Kanada Siap Tangkap Netanyahu dan Gallant
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Rusia Serang Ukraina Pakai Rudal Korea Utara