Kuala Lumpur, 22 Jumadil Awwal 1436/13 March 2015 (MINA) – Departemen Luar Negeri AS mengutuk penindasan brutal terhadap aksi protes mahasiswa dan biarawan pada Ahad 8/3 lalu, di kota Letpadan, Myanmar.
Media online Time.com yang dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA) melaporkan, Jumat, para demonstran menyerukan reformasi pendidikan di negara tersebut.
“Kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat adalah komponen penting dari setiap masyarakat demokratis dan kami mengutuk penggunaan kekerasan terhadap demonstrasi damai tersebut,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS, Jen Psaki.
Video yang diambil oleh wartawan lokal menunjukkan polisi dan beberapa warga menggunakan tongkat, meninju dan menendang puluhan aktivis, hanya beberapa jam setelah pemimpin mahasiswa dan pejabat telah mencapai kesepakatan yang akan memungkinkan para pengunjuk rasa melakukan perjalanan ke negara kota terbesar, Rangoon.
Baca Juga: HRW: Pengungsi Afghanistan di Abu Dhabi Kondisinya Memprihatinkan
Protes Letpadan meletus beberapa hari setelah Presiden Barack Obama memberi penghormatan kepada gerakan mahasiswa sebelumnya di Myanmar yang dihancurkan oleh junta militer pada 1988.
“Para pemuda di Myanmar masuk penjara karena tak tunduk pada kekuasaan militer,” kata Obama dalam pidato memperingati melonjaknya aksi demonstran hak-hak sipil AS di Selmapawai, Ahad (8/3).
Siswa dari seluruh Myanmar telah berpartisipasi dalam protes selama berbulan-bulan, menyerukan perubahan RUU Pendidikan Nasional yang dinilai sangat menghambat kemampuan siswa untuk membentuk serikat, melarang lembaga dari ceramah dalam bahasa lokal dan terlalu memusatkan kekuasaan di tangan pemerintah.
Penindasan brutal dilakukan oleh kelompok-kelompok preman yang diduga dikerahkan pemerintah, pekan lalu, menyerang aktivis yang melakukan aksi damai di dekat Balai Kota Rangoon.
Baca Juga: Gunung Berapi Kanlaon di Filipina Meletus, 45.000 Warga Mengungsi
Penggunaan kelompok tertentu untuk main hakim sendiri telah sering dilakukan pemerintahan militer di Myanmar selama ini, sehingga keberadaan mereka terus mengkhawatirkan bagi masa depan reformasi demokrasi Myanmar.
“Reformasi Myanmar semakin goyah dari hari ke hari,” kata Brad Adams, Direktur Human Rights Watch untuk Asia menanggapi tindakan keras terhadap protes di Letpadan.
Tindakan Polisi main hakim menurutnya merupakan tindakan memalukan bagi mitra negara Eropa. Tahun lalu, Uni Eropa mensponsori pelatihan dengan biaya jutaan dolar AS untuk melatih pasukan polisi Myanmar mengatasi aksi massa
“Sementara pelatihan dapat diberikan, Uni Eropa tidak dapat membuat keputusan di lapangan,” kata Delegasi Uni Eropa ke Myanmar dengan nada kecewa.
Baca Juga: Presiden Korea Selatan Selamat dari Pemakzulan
“Kami telah membahas peristiwa kekerasan terhadap aksi demo yang baru terjadi, dengan Menteri Dalam Negeri dan Kepolisian Myanmar. Kami menekankan perlunya negosiasi, saling pengertian dan kompromi,” tegasnya. (P004/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)