Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Label Halal Kok Haram?

Redaksi Editor : Widi Kusnadi - 23 detik yang lalu

23 detik yang lalu

0 Views

T Lembong Misbah
T Lembong Misbah (foto: pribadi)

Oleh T. Lembong Misbah, Dosen Prodi Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.

Cukup memprihatinkan dan mengejutkan, temuan sembilan produk jajanan yang mengandung unsur babi, di tengah masyarakat Islam Indonesia-mayoritas muslim. Parahnya, tujuh di antara produk tersebut telah berlabel halal. Temuan ini tentunya bukan sekadar pelanggaran regulasi saja, tetapi juga telah merongrong keyakinan umat Islam. Kasus ini memunculkan pertanyaan mendalam tentang keandalan sistem sertifikasi halal di Indonesia dan sejauh mana umat Islam dapat mempercayai label halal pada produk yang beredar di pasaran.

Dalam Islam, hukum mengonsumsi babi sangat jelas dan tegas.  Ketegasan dan kejelasan Al-Qur’an  tentang keharaman Al-Qur’an termaktub dalam banyak ayat, di antaranya: Surah Al-Baqarah ayat 173, Al-Ma’idah ayat 3, Al-An’am ayat 145, dan An-Nahl ayat 115. Ayat-ayat ini menyatakan bahwa babi adalah najis dan haram dikonsumsi oleh umat Islam. Selain itu, hadis-hadis Nabi Muhammad SAW juga menegaskan larangan keras terhadap konsumsi babi.

Para ulama dari berbagai mazhab sepakat bahwa hukum mengonsumsi babi adalah haram. Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm menjelaskan bahwa babi termasuk dalam kategori makanan yang haram dikonsumsi. Begitu juga Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal, yang semuanya sepakat bahwa babi adalah haram dan najis.

Baca Juga: Al-Aqsa Tercemar, Luka di Tanah Suci

Munculnya kasus temuan produk jajanan yang mengandung babi dan berlabel halal ini merupakan kecolongan besar bagi umat Islam dan sekaligus mempertanyakan mengapa ada celah dalam sistem sertifikasi halal di Indonesia yang melabeli produk haram dengan stiker halal?.

Dalam kasus ini, tampak jelas adanya kegagalan dalam pengawasan dan verifikasi terhadap produk-produk yang beredar di pasaran. Label halal yang terpasang pada produk seharusnya menjadi jaminan bagi konsumen Muslim bahwa produk tersebut aman dan sesuai dengan syariat Islam. Tapi, kenyataannya, label halal tersebut tidak menjamin kehalalan produk secara mutlak.

Label halal sejatinya bukan hanya sekeping stiker atau cap administratif, melainkan sebuah simbol keyakinan. Bagi umat Islam, label tersebut adalah representasi dari prinsip syariah yang mengatur dengan jelas batas-batas konsumsi. Di balik label itu ada kepercayaan, bahwa produk yang dibeli dan dikonsumsi telah melalui proses penyaringan yang ketat sesuai syariat: bahan baku yang suci, proses produksi yang tidak tercemar najis, serta distribusi yang tidak mengandung unsur haram. Ketika label tersebut disematkan secara sembarangan, tanpa proses verifikasi yang jujur dan menyeluruh, maka sesungguhnya yang terjadi adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.

Patut dipahami bahwa  jika label halal tidak menjamin kehalalan secara mutlak menandakan adanya kesenjangan yang sangat berbahaya antara apa yang diyakini oleh masyarakat dan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Ketika masyarakat Muslim mempercayakan urusan kehalalan kepada otoritas sertifikasi, mereka menyerahkan sebuah urusan yang amat sakral kepada sistem yang dipercaya amanah dan jika sistem itu gagal menjalankan tugasnya, maka kerusakan yang terjadi bukan hanya bersifat teknis, melainkan merobek tatanan moral umat Islam yang selama ini menjaga kehalalan makanan yang dikonsumsinya.

Baca Juga: 5 Hikmah Hidup Berjama’ah dalam Al-Qur’an dan Hadis

Dari kasus ini sejatinya menyadarkan umat Islam akan pentingnya peran serta masyarakat dalam mengawasi peredaran produk di pasaran. Umat Islam harus lebih kritis dan selektif dalam memilih produk yang akan dikonsumsi. Tidak cukup hanya mengandalkan label halal, tetapi juga perlu memahami komposisi dan proses produksi dari setiap produk.

Selain itu, kasus ini juga menunjukkan perlunya peningkatan kualitas dan transparansi dalam sistem sertifikasi halal di Indonesia. BPJPH dan lembaga-lembaga terkait harus melakukan audit dan pengawasan yang lebih ketat terhadap proses sertifikasi halal, seperti memeriksa bahan baku, proses produksi, dan distribusi produk. Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap produk yang beredar di Indonesia benar-benar memenuhi standar halal yang ditetapkan.

Sebagai konsumen, umat Islam juga memiliki hak untuk menuntut kejelasan dan transparansi dari produsen dan lembaga sertifikasi halal. Jika ditemukan adanya produk yang tidak sesuai dengan standar halal, konsumen berhak untuk mengajukan tuntutan hukum dan meminta pertanggungjawaban dari pihak terkait.

Dalam menghadapi tantangan ini, umat Islam harus tetap menjaga prinsip-prinsip agama dan tidak tergoda untuk mengkompromikan keyakinan demi kepentingan sesaat. Keberhasilan dalam menjaga kehalalan konsumsi bukan hanya bergantung pada sistem sertifikasi halal, tetapi juga pada kesadaran dan komitmen umat Islam untuk selalu memilih yang halal dan baik.

Baca Juga: Al-Jama’ah, Kunci Kesuksesan Dunia dan Akhirat

Kasus temuan produk jajanan yang mengandung babi dan berlabel halal ini harus menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak. Penting bagi umat Islam untuk terus meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya memilih produk yang sesuai dengan syariat Islam. Dengan demikian, diharapkan kejadian serupa tidak terulang di masa depan dan umat Islam dapat hidup sesuai dengan ajaran agama yang benar.

Akhirnya, mari kita ingat bahwa menjaga kehalalan konsumsi adalah bagian dari ibadah dan ketaatan kita kepada Allah SWT. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk dan kekuatan kepada kita untuk selalu memilih yang halal dan baik dalam setiap aspek kehidupan kita. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Kebersamaan dalam Jama’ah, Kekuatan yang Terlupakan

Rekomendasi untuk Anda

T Lembong Misbah
Kolom
Indonesia
Ramadhan 1446 H
MINA Preneur
Dunia Islam
Halal