KEUMALAHAYATI, lahir 1 Januari 1550, wafat 30 Juni 1615, yang kemudian dikenal dengan Laksamana Malahayati adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh.
Ayahnya bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530–1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513–1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.
Pada masa kanak-kanak dan remaja, Malahayati mendapat pendidikan istana Kerajaan Aceh. Ayah dan kakeknya berkhidmat di Kesultanan Aceh sebagai Panglima Angkatan Laut. Dari situlah semangat kelautan Malahayati muncul.
Malahayati kemudian mengikuti jejak ayah dan kakeknya dengan menempuh pendidikan militer jurusan angkatan laut di Akademi Militer Baitul Maqdis.
Baca Juga: Terima Kasih, Ali Taher: Wartawan Palestina untuk Merdeka yang Kita Nikmati Hari Ini
Akademi Militer Ma’had Baitul Maqdis adalah Akademi Militer yang didirikan atas permintaan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Saidil Mukammil Alauddin Ri’ayat Syah (1589-1604 M).
Akademi ini terletak di kampung Di Bitai, Aceh Darussalam, yang didukung oleh Kesultanan Utsmaniyyah saat itu, dengan mengirimkan 100 instruktur angkatan laut terlatih.
Akademi Militer ini terdiri dari dua departemen, yaitu Angkatan Laut dan Angkatan Darat yang memuat kurikulum strategi peperangan, cara embuat meriam, kerajinan emas, benda berseni, dan senjata lainnya.
Keumalahayati, yang dikenal dengan Laksamana Malahayati, seorang pejuang perempuan Aceh, adalah alumni Akademi Militer Ma’had Baitul Maqdis.
Baca Juga: Kisah Aep, 20 Tahun Lebih Jadi Pedagang Perabot Dapur
Dengan bekal pendidikan militer itu, saat Malahayati berusia 35 tahun, dia memegang jabatan sebagai Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan sekaligus sebagai Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.
Malahayati bersuamikan Laksamana Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief, yang juga Kepala Pengawal Sultan Aceh.
Ketika Laksamana Tuanku Mahmuddin memimpin pasukan perlawanan menghadapi kolonialisme Portugis, untuk pertama kalinya Malahayati ikut dalam pertempuran yang berlangsung di Perairan Teluk Haru dekat Selat Malaka pada 1586.
Dalam pertempuran tersebut, armada perang Kesultanan Aceh mampu memukul mundur Portugis. Namun suami Malahayati, gugur di medan tempur.
Baca Juga: Jejak Fatimah Adawiyah, Keliling Jabodetabek untuk Mengajarkan Al-Quran
Malahayati melanjutkan perjuangan sang suami dengan menggantikan posisinya. Dia pun diberi pangkat Laksamana oleh Sultan Riayat Syah.
Komandan Inong Balee
Setelah menerima pangkat tertinggi di pasukan angkatan laut Kerajaan Aceh, Laksamana Malahayati memimpin pasukan yang terdiri dari kaum perempuan yang berstatus janda, yang jumlahnya mencapai 2.000 orang. Mereka seluruhnya adalah para janda dari prajurit yang gugur kala bertempur melawan Portugis. Pasukan ini diberi nama Inong Balee.
Seperti namanya, Inong artinya perempuan, dan Balee artinya janda. Historiografi perempuan Aceh menempatkan inong balee sebagai ikon perlawanan perempuan.
Baca Juga: Jejak Tukul Sunarto, Mendidik Jembatan Menuju Surga
Inong balee dinarasikan sebagai simbol kekuatan militer, politik dan kultural, yang diwujudkan dalam aksi perlawanan dan diplomasi melawan Portugis. Sedangkan, simbol kultural mengkristal dalam warisan semangat keberanian pejuang perempuan pada masa perang melawan penjajah.
Benteng Inong Balee, kini menjadi salah satu Cagar Budaya Nasional, berada di Desa Lamreh Kecamatan Mesjid Raya. Letaknya sekitar 35 kilometer dari Kota Banda Aceh, dengan ketinggian 100 mdpl. Lokasinya sangat strategis bagi pertahanan militer Aceh dari ancaman serangan musuh dari arah Selat Malaka.
Berkat kepemimpinan Laksamana Malahayati, Inong Balee menjadi pasukan tempur yang disegani dan ditakuti lawan. Pasukan Inong Balee kerap dilibatkan dalam beberapa peperangan melawan Portugis dan Belanda.
Laksamana Malahayati dan pasukannya juga bertugas melindungi pelabuhan-pelabuhan dagang di Aceh.
Baca Juga: Ustaz Anshorullah, Dai Pembuka Jalan Dakwah di Kalimantan
Pada tahun 1599, Laksamana Malahayati berhadapan dengan kapal-kapal Belanda yang mencoba memaksakan kehendaknya ke Aceh.
Laksamana Malahayati dan pasukannya pun mengadakan perlawanan bersenjata. Dalam perlawanan sengit itu, Laksamana Malahayati dapat menewaskan kapten kapal Cornelis de Houtman di atas geladak kapal, dalam duel satu lawan satu.
Cornelis de Houtman (2 April 1565-1 September 1599) dikenal sebagai seorang penjelajah Belanda yang menemukan jalur pelayaran Eropa ke Indonesia.
Pasukan Laksamana Malahayati juga berhasil menahan wakil kapten kapal Frederick de Houtman, adik Cornelis de Houtman, bersama 30 awak kapal.
Baca Juga: Buya Saleh Hafiz, Tinggalkan Bisnis Fokus Berdakwah
Frederick kemudian dipenjara oleh Sultan Aceh selama sekitar dua tahun. Sementara pemimpin lain dari ekspedisi tersebut, Le Fort, berhasil meloloskan diri dengan dua kapalnya.
Peristiwa besar ini tentu saja menggegerkan bangsa Eropa kala itu, terutama Belanda. Bahkan diakui pula oleh para penguasa di kawasan Arab, China hingga India.
Hal itu sekaligus menunjukkan kehebatan Laksamana Malahayati di dunia pertempuran laut. Laksamana Malahayati disebut sebagai Laksamana Angkatan Laut perempuan pertama di dunia, saat itu, bahkan mungkin hingga kini.
Saat ditahan di penjara Benteng Pidie, Kerajaan Aceh, selama 26 bulan (11 September 1599 sampai 25 Agustus 1601), Frederick sempat ditawari untuk masuk Islam dan akan diberi jabatan tinggi dan dinikahkan dengan perempuan Aceh. Namun Frederick menolaknya.
Baca Juga: Keteladanan Sejati Fatimah Az-Zahra bagi Muslimah Sepanjang Zaman
Frederick de Houtman kemudian dibebaskan oleh Sultan Aceh atas permintaan Pangeran Maurits de Nassau Penguasa Belanda yang menulis surat kepada Sultan Aceh.
Maurits de Nassau (14 November 1567-23 April 1625) adalah Pangeran Oranye (gelar bangsawan di Belanda), penguasa dari Republik Belanda dari tahun 1585 hingga kematiannya pada tahun 1625.
Dalam suratnya, Maurits juga mengajak Sultan Aceh untuk menjalin hubungan persahabatan dan berjanji akan bersama-sama memerangi orang-orang Portugis yang akan menyerang Kerajaan Aceh.
Dalam balasannya, Sultan Aceh setuju membebaskan Frederick de Houtman dan tawanan lainnya. Bahkan Sultan Aceh mengirimkan tiga delegasinya ke Belanda, yaitu: Abdul Hamid, Sri Muhammad dan Mir Hasan.
Baca Juga: Pesona Fisik Nabi Muhammad SAW: Dalam Kilau Hadits Syamail Muhammadiyah
Beberapa tahun kemudian, Frederick de Houtman datang lagi ke Nusantara, dalam kapasitasnya sebagai Gubernur Belanda Pertama di Ambon (1605-1611).
Penghargaan untuk Malahayati
Laksamana Malahayati gugur dalam suatu pertempuran melawan Portugis sekitar tahun 1615 M.
Jenazahnya dimakamkan di Desa Lamreh, Krueng Raya, Aceh Besar, yang menjadi tempat ziarah dan penghormatan bagi masyarakat setempat serta para peziarah.
Baca Juga: Bintu Al-Syathi’ Mufassirah Hebat dari Mesir
Atas perjuangannya yang luar biasa, Laksamana Malahayati mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada 6 November 2017 melalui Keputusan Presiden RI Joko Widodo Nomor 115/TK/Tahun 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
Selain sebagai Pahlawan Nasional, nama Laksamana Malahayati juga dipakai sebagai nama pelabuhan laut di Teluk Krueng Raya, Aceh Besar yang dinamakan dengan Pelabuhan Malahayati, serta menjadi nama dari salah satu kapal perang jenis Perusak Kawal Berpeluru Kendali (fregat) kelas Fatahillah milik TNI Angkatan Laut yang dinamakan KRI Malahayati.
Nama Laksamana Malahayati juga digunakan sebagai nama jalan di berbagai wilayah di Indonesia, nama Universitas, dan judul film.
Penulis (Ali Farkhan Tsani) berkesempatan berziarah ke Makam Laksamana Malahayati pada hari Jumat, 6 Ramadhan 1445 H. bertepatan tanggal 17 Maret 2024 M.
Baca Juga: Mahathir Mohamad Genap Berusia 100 Tahun
Penulis berangkat dari Banda Aceh menempuh jarak sekitar 32 km hingga tiba di Desa Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar.
Tiba di lokasi, terdapat tiga plang Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh yang bertuliskan “Situs Cagar Budaya Makam Laksamana Malahayati.”
Setelah memarkirkan kendaraan, Penulis langsung masuk ke komplek makam, menaiki 106 anak tangga menanjak dan berliku. Pegangan besi di kanan kiri dan pohon-pohon besar di kompleks makam, serta pemandangan langsung ke Samudera Indonesia menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung.
Sesampainya di puncak, barulah mencapai makam Laksamana Malahayati. Ada tiga nisan di puncak bukit kompleks makam tersebut. Menurut penjaga makam, itu adalah makam Keumalahayati, suaminya, dan anaknya.
Tepat di sisi makam terdapat Prasasti Malahayati, bertuliskan : “Laksamana Keumala Hayati adalah seorang wanita yang menjadi panglima angkatan laut, kepala dinas rahasia kerajaan, dan protokol istana pada masa kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Saidil Mukamil Alauddin Riayatsyah (1588-1604). Beliau juga yang menghimpun para janda-janda untuk melawan portugis dan belanda dan para janda-janda ini juga mendirikan sebuah benteng yang diberi nama benteng inong balee (janda).”
Penulis merasakan ruh perjuangan ketika berziarah ke makam Laksamana Keumala Hayati, seorang Muslimah pahlawan dari Kerajaan Aceh yang berperang menghadang pasukan Portugis dan Belanda.
Terbayang bagaimana dahulu Laksamana Malahayati berhasil menewaskan Panglima Pasukan Belanda Cournelis de Houtman dalam duel satu lawan satu di geladak kapal, pada tanggal 11 September 1599 M.
Keahlian Malahayati dalam bertempur ditempa di Akademi Militer Ma’had Baitul Maqdis era Kerajaan Aceh, yang para pelatihnya dikirim oleh Sultan Selim II Kesultanan Turki Utsmani.
Terkirim doa, “Allahummaghfirlaha warhamha wa’afiha wa’fu ‘anha”. (Ya Allah ampunilah dia, dan rahmatilah dia, dan sejahterakanlah dia, dan maafkanlah kesalahannya). []
Sumber : Buku Hubungan Indonesia & Palestina. Imaam Yakhsyallah Mansur dan Ali Farkhan Tsani. Penerbit MINA, Jakarta, Oktober 2024.
Mi’raj News Agency (MINA)