SELAMAT datang di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi, tempat segala janji ditabur subur seperti benih di musim kampanye, namun tak pernah tumbuh jadi pohon yang bisa dipetik rakyat kecil. Ini negeri tempat mimpi-mimpi rakyat dihargai sebatas baliho, spanduk, dan kata-kata manis yang mudah menguap begitu kertas suara dilipat. Di negeri ini, bertahan hidup bukan sekadar perkara perut, tapi seni—seni bertoleransi dengan absurditas.
Lihatlah, jalanan penuh lubang seperti hati rakyat yang tak lagi percaya. Pembangunan diklaim merata, tapi nyatanya hanya merata di pidato dan media sosial. Di kota, gedung pencakar langit menjulang, sementara di desa, sinyal internet masih sering disangka angin. Tapi tenang saja, karena pejabat kita gemar berkata, “Pembangunan itu bertahap.” Bertahap, entah menuju kapan.
Anak-anak sekolah dipaksa bermimpi besar dengan buku-buku usang, guru-guru bergaji pas-pasan, dan fasilitas yang mengalahkan zaman penjajahan. Tapi jangan protes! Karena tiap tahun ada seremoni Hari Pendidikan yang meriah, dengan orasi dan puisi tentang “generasi emas”—meski kenyataannya banyak dari mereka lebih mengenal TikTok daripada sejarah bangsa.
Negeri ini lucu. Kadang menyedihkan, kadang menggelikan. Seperti ketika pejabat berdasi menyuruh rakyat hemat, sambil duduk nyaman di kursi empuk berpendingin ruangan, dengan sepatu seharga upah buruh sebulan. Mereka berkhotbah tentang hidup sederhana sambil menyantap makan malam di hotel bintang lima. Di negeri ini, kata-kata lebih penting dari kenyataan, asal terdengar indah dan menyentuh, rakyat pun akan diam.
Baca Juga: Mau Sukses Instan, Tapi Takut Proses Panjang?
Di pasar, ibu-ibu mengeluh harga naik. Tapi di layar kaca, menteri ekonomi berkata inflasi terkendali. Terkendali mungkin, tapi hanya untuk mereka yang tak pernah belanja sendiri. Sementara rakyat, mengatur napas untuk belanja hemat, bahkan menawar harga sayur seolah hidup mereka bergantung pada seikat kangkung.
Birokrasi di negeri ini seperti labirin, rumit dan melelahkan. Mau urus KTP bisa sebulan, tapi urus tilang bisa sehari asal tahu “jalur cepat.” Korupsi bukan hal memalukan, tapi semacam tradisi tak tertulis. Bahkan ada yang menyebutnya “pelumas sistem”. Jika ada pejabat tertangkap, publik heboh sebentar, lalu lupa. Toh nanti selalu ada yang baru untuk diberitakan.
Janji-janji ditebar seperti permen saat kampanye, manis di mulut, cepat lumer di kenyataan. “Akan ada lapangan kerja!”, katanya. Tapi yang tersedia justru lowongan menjadi buzzer, jadi pasukan pembela maya demi memoles citra sang raja. Ironisnya, kerja semacam itu justru dibayar lebih baik daripada kerja tukang atau petani yang berpeluh dari pagi ke petang.
Kita punya undang-undang yang katanya suci, tapi bisa berubah sewaktu-waktu seperti status hubungan di media sosial. Jika tak menguntungkan penguasa, pasal bisa ditekuk. Jika mengganggu kenyamanan elite, suara rakyat bisa dianggap hoaks. Negeri ini demokrasi katanya, tapi kritik bisa diancam penjara, bahkan sekadar guyonan bisa jadi “menghina negara”.
Baca Juga: Tetap Istiqamah Meski Luka Tak Jua Reda
Panggung hukum pun sering terasa seperti sandiwara. Yang kuat selalu punya pengacara dan koneksi, yang lemah cukup pasrah. Penjara penuh oleh pencuri sandal, sementara koruptor bisa bersantai di sel mewah, lengkap dengan televisi, AC, dan kunjungan tanpa batas. Kadang kita bingung, ini penjara atau vila rahasia?
Di sisi lain, media berjibaku menyajikan realitas versi elite. Mereka tak sekadar memberitakan, tapi membentuk persepsi. Kritik jadi ujaran kebencian, opini rakyat dibungkam dengan dalih stabilitas. Sementara infotainment soal selebritas dan gosip politik lebih penting daripada nasib nelayan atau petani yang lahannya digusur tanpa ampun.
Pemuda-pemudi negeri ini diajarkan untuk “berprestasi” tapi lupa diberi ruang beraksi. Mahasiswa yang turun ke jalan dituduh tak tahu diri, padahal mereka hanya mencoba menyelamatkan masa depan yang dipertaruhkan. Di ruang kelas, mereka dijejali teori-teori muluk, tapi ketika lulus, lapangan kerja menertawakan ijazah mereka.
Agama dijadikan alat jualan. Tiap musim politik, ayat-ayat suci dipajang seperti slogan iklan. Masjid bukan sekadar tempat ibadah, tapi juga arena perebutan simpati. Di mimbar, kita dengar tentang surga, tapi di luar, kita saksikan mereka yang berlagak suci justru memanipulasi umat demi suara.
Baca Juga: Gaza, Kebebasan Pers, dan Tanggung Jawab Dunia
Dan di tengah semua kegilaan ini, rakyat tetap bertahan. Mereka yang jualan gorengan di pinggir jalan, yang narik ojek dari subuh hingga malam, yang bercocok tanam meski pupuk makin mahal. Mereka tak butuh janji, hanya kejujuran. Tapi sayang, kejujuran kini langka, bahkan lebih mahal dari harga beras premium.
Rakyat tahu mereka dimanfaatkan, tapi terlalu letih untuk marah. Karena hidup di negeri ini bukan soal menang atau kalah, tapi soal bertahan. Bertahan agar anak bisa sekolah, agar dapur tetap ngebul, agar tetap waras di tengah realita yang bikin sakit kepala.
Kadang, kita bertanya: apa artinya jadi warga negara di negeri ini? Apakah cukup hanya dengan KTP dan kewajiban bayar pajak? Atau harus juga mampu menahan sakit hati karena ditipu berkali-kali oleh janji yang tak pernah ditepati?
Tapi begitulah negeri seribu janji. Kita tertawa dalam tangis, berharap dalam getir. Negeri ini kaya, tapi rakyatnya banyak yang miskin. Negeri ini merdeka, tapi suaranya sering dibungkam. Negeri ini punya segalanya, kecuali keadilan yang merata.
Baca Juga: Palestina dalam Kitab-Kitab Suci: Perspektif Islam, Yahudi, dan Kristen
Mereka bilang kita harus bersyukur. Dan kita memang bersyukur. Tapi bukan pada sistem yang bobrok atau penguasa yang lupa daratan. Kita bersyukur karena masih bisa bangun tiap pagi, menatap langit yang sama, meski harapan kian samar.
Dan kita tetap bertahan. Bukan karena negeri ini sempurna, tapi karena kita belum menyerah. Karena kita percaya, meski pelan dan terseok, suatu hari nanti, janji-janji itu akan berubah jadi bukti. Bukan untuk mereka yang berkuasa, tapi untuk kita yang terus bertahan hidup di negeri seribu janji.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Jangan Jadi Generasi Rebahan