Oleh: Hidayaturrahman,S.Pd.I., Ketua Lembaga Bimbingan Ibadah dan Penyuluhan Islam (LBIPI) Wilayah Lampung
Menjadi khatib yang juga bisa merangkap imam dalam shalat Jumat merupakan aktivitas mulia nan luhur, dan tentu dijanjikan pahala baginya.
Hal itu berkaitan dengan firman Allah dalam Surah Al-Jumu’ah ayat 9-11, yang secara khusus menghimbau umat Islam khususnya laki-laki agar melaksanakan hal-hal yang baik pada hari Jumat, mulai dari persiapan hingga setelah melaksakan shalat Jumat.
Khatib dalam khutbahnya tidak terlepas dari tugas seorang dai, penerus estafet misi Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Meski begitu, tidak semua orang mau dan mampu, hanya mereka yang memiliki keinginan, kemampuan, dan kepercayaan dari masyarakat, tokoh agama, dan seluruh jamaah muslimin di lingkungan tempat ia berada.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Dalam melaksanakan tugas tersebut, seorang khatib perlu mempersiapkan beberapa hal secara lahir maupun batin. Agar terlaksana dengan khusyu, tertib, dan baik, perlu memerhatikan langkah-langkah menuju khatib Jumat, diantaranya yang pertama, membangun niat karena Allah semata.
Langkah pertama, niat karena Allah. Seseorang yang bertindak atas dasar niat karena Allah, berarti tidak mengharapkan balasan sesuatu yang lebih dan datangnya dari manusia. Sebab ridha, pahala, dan berkah sudah cukup baginya, yang lain hanya bonus. Maka, hendaknya mengatasniatkan kepada Allah agar amalan baik di hari Jumat tersebut tercatat sebagai pahala di sisi-Nya.
Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkan:
عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Artinya: “Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan.” (HR Bukhari).
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Hadist tersebut mengisahkan tentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam saat hijrah ke Madinah dan mengetahui ada seorang sahabat yang melakukan hijrah dengan tujuan untuk menikahi seorang wanita bernama Muhajir Ummu Qois. Maka Rasulullah mengingatkannya dan semua sahabat akan pentingnya niat karena Allah saja di dalam berhijrah.
Sama halnya dengan beribadah, termasuk menjadi khatib shalat Jumat, ikhlas diniatkan karna mengharap imbalan dari Allah semata berupa catatan pahala di sisi-Nya, menjadikan pondasi dalam setiap aktivitas yang akan kita lakukan.
Itulah juga sebabnya Syeikh Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Barduzbah Al-Ju’fi Al-Bukhari meletakkan hadits tentang Niat di nomor pertama dalam bukunya Shahih Al-Bukhari.
Langkah yang kedua, rasakan bahwa kita sedang menjalankan misi Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai wujud dari aplikasi syahadat dan bukti bahwa kita mengikuti Rasulullah Sallallahu alaihi Wasallam.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Allah mengingatkan di dalam ayat:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (31) قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ (32)
Artinya: “Katakanlah, jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah, taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kalian berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS Ali-Imran: 31-32).
Langkah ketiga, yakni tentukan tema yang sesuai dengan 5 W+1 H.
- What, apa isi materi yang akan disampaikan kepada jamaah shalat Jumat.
- When, waktu informasi yang ada di dalam khutbah. Akan lebih menarik jika mengangkat isu terkini, apakah itu basyiran (kabar gembira) atau nadziran (peringatan).
- Where, di mana letak masjid yang menjadi tempat menyampaikan khutbah, apakah masjid di kampung, perkotaan, atau perkantoran.
- Who, siapa yang dihadapi (jamaah shalat Jumat). Sesuaikan jika menjadi khatib atas jamaah yang profesinya misal pekerja, maka berikan khutbah tentang etos kerja, begitu pula jika jamaahnya pendidik, intelektual, dan lain-lain.
- Why, temukan alasan dan dasar mengapa perlu melakukan hal-hal yang disampaikan dalam khutbah.
- How, bagaimana merumuskan semua itu dan menerapkannya.
Langkah-langkah di atas bukanlah teknik jurnalistik semata, tapi jauh sebelumnya Islam melalui khazanah keilmuan Al-Quran yang diwariskan para ulama, ada rumus muqtadhodzohir /muqtadholhal (pembicaraan yang disesuaikan dengan keadaan atau kondisi agar apa yang kita maksudkan sampai) sehingga memungkinkan kita untuk menerapkan syariat tersebut.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Kemudian langkah keempat, tentukan dalil yang akan disampaikan. Baca tafsirnya jika dalilnya ayat, baca syarah hadits jika dalilnya hadits, baca kitab Madzahib Arbaah jika fiqih, atau kitab Bidayatul Mujtahid Wanihayatul Muqtasid (Fiqih Perbandingan) karya ibnu Rusydi Al-Qurthubidan yang meringkas perbandingan mazhab Syafiiyah, Malikiyyah, Hanabilah, dan sebagainya.
Langkah kelima, perhatikan rukun khutbah di antaranya membaca hamdalah, syahadat, shalawat, wasiat taqwa, ayat, dan doa.
Langkah keenam, perhatikan sunnah khutbah, yakni tidak terlalu panjang khutbahnya dan usahakan tidak terlalu jauh dengan bacaan shalat.
Seperti hadist yang mengatakan:
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ قَالَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ طُولَ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ فَأَطِيلُوا الصَّلاَةَ وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ وَإِنَّ مِنْ الْبَيَانِ سِحْرًا (رواه مسلم وأحمد)
Artinya: Dari Ammar Ibnu Yasir (diriwayatkan bahwa) ia berkata “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Sesunggunguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seorang khatib adalah tanda kepahaman seseorang tentang agama. Oleh karena itu panjangkanlah shalat dan persingkatlah khutbah; sesungguhnya dalam penjelasan singkat ada daya tarik.” (HR Muslim dan Ahmad)
Intonasi ketegasan akan mampu menggugah perasan dan memberikan kesan, seperti gaya Rasulullah dalam menyampaikan khutbah yang dikatakan Jabir bin Abdillah Radhiyallahu Anhuma yang artinya: “Apabila Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkhutbah, matanya merah, suaranya meninggi, dan semangatnya menyala-nyala, seakan-akan beliau sedang memberi komando pada pasukan perang.” (HR Muslim dan Ibnu Majah).
Langkah ketujuh, memperhatikan pakaian. Pilihlah pakaian yang indah, sopan, dan menutup aurat, juga jangan lupa memakai wewangian. Jika kita melakukan hal tersebut maka kita termasuk orang yang memuliakan Islam dan Sunnah Nabi.
Langkah kedelapan, persiapkan bacaan Al-Quran. Pilih ayat yang sesuai dengan tema agar tidak monoton atau lebih baik yang sudah dihafalkan (pandangan mayoritas ulama, tidak ditentukan bacaan Jumat, dalam kitab Bidayatul Mujtahid Wanihayatul Muqtasid)
Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital
Langkah kesembilan, menjiwai materi. Materi yang paling terjiwai adalah hasil mutholaah, perenungan sendiri, namun bagi pemula bisa mempelajari teks yang ada, jangan lupa pastikan untuk bisa mengambil esensi materi.
Kita dapat merasakan saat menyampaikan khutbah, apakah materi sudah terjiwai atau belum, mentah dan terasa hambar, kaku, dan lainnya.
Langkah kesepuluh, jangan berhenti belajar. Membaca, mutholla’ah, serta mentadabburi ayat-ayat dan hadits Nabi. Biasakan diri membaca Tarikh, Fiqih dan Ulumudin lainnya.
Langkah kesebelas, memurnikan tauhid, bentuk asas hamdiyah kita setiap saat pada Allah. Jauhkan pikiran memperhitungkan materi, sebab hal tersebut terlalu rendah untuk “da’i ilallah.” Seperti Allah mengingatkan dalam Al-Quran surat Al-Mudatsir ayat 6:
Baca Juga: Amerika itu Negara Para Pendatang!
وَلَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ
Artinya: “Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.”
Semoga langkah-langkah persiapan menjadi khatib ini dapat menjadikan kita khatib yang baik. Menjadikan Allah ridha atas niat ibadah kita sehingga tercatat sebagai amalan di sisi-Nya. Aamiin. (A/hid/cha/RS2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Indonesia, Pohon Palma, dan Kemakmuran Negara OKI