DI SUDUT ramai depan SMA Negeri 2 Brebes, Jawa Tengah, seorang lelaki sepuh duduk bersila di atas jok becak kayuhnya yang usang. Tangannya menggenggam mushaf Al-Quran yang telah lecek oleh waktu, matanya menyapu lembaran-lembaran suci itu dengan tenang, seolah dunia sekitarnya, deru motor online, sorak pelajar, dan hiruk-pikuk kota, tak lagi berarti.
Dialah Sutarjo (78), atau akrab disapa Mbah Tarjo, penarik becak yang mengejutkan: setiap pekan, ia mengkhatamkan Al-Quran di sela menunggu penumpang yang kian langka.
Becak, Al-Quran dan Tekad yang Tak Lekang Usia
Di usia yang bagi kebanyakan orang adalah masa beristirahat, Mbah Tarjo masih setia mengayuh becaknya. Tubuhnya yang ringkih seolah menyimpan energi tak terduga.
Baca Juga: Pesona Spiritual Masjid Agung At-Taqwa, Aceh Tenggara
“Rezeki pasti selalu ada. Yang penting mau usaha,” ujarnya dengan senyum sabar, sementara jemarinya masih menempel di halaman Surah Al-Baqarah yang sedang ia baca.
Sejak pandemi COVID-19 memaksanya pulang dari Jakarta, tempat ia mengais rezeki sejak era Presiden Soekarno hingga masa Gubernur Anies Baswedan, Mbah Tarjo memilih tetap mandiri.
Menolak menjadi beban bagi anak-anaknya yang telah berkeluarga, ia mempertahankan hidup dengan becak kayuh beroda tiga. Meski kini, di tengah serbuan ojek online (ojol), nasib becak tradisional seperti miliknya kian terpuruk.
“Dua hari tak dapat penumpang? Biasa. Tapi Alhamdulillah, untuk makan dan bayar kos Rp500 ribu, tak pernah telat,” katanya, mantap.
Baca Juga: Indahnya Merayakan Idul Fitri di Dukuh Sambungkasih, Ketika Maaf Menjadi Bahasa Universal
Khatam Setiap Pekan, Ritual Iman di Tengah Kekosongan
Bagi Mbah Tarjo, waktu menunggu penumpang adalah “jam surgawi”, saat ia menyelami samudera makna Al-Quran. Tanpa target jumlah halaman, tanpa hitungan matematis, tapi dengan disiplin yang mengalahkan anak muda. Setiap kali khatam, ia kembali ke Surah Al-Fatihah, mengulang siklus tanpa akhir.
“Tak pernah kuhitung berapa kali khatam. Yang penting istiqomah,” ungkapnya.
Kebiasaan ini bukan sekadar pengisi waktu. Di baliknya, ada kesadaran mendalam sebagai manusia yang telah di ambang senja.
Baca Juga: Malam ke-29 Ramadhan, 100.000 Jamaah Shalat Tarawih di Masjidil Aqsa
“Saya sudah 78 tahun. Kapan Tuhan memanggil, tak ada yang tahu. Mumpung masih ada waktu, lebih baik memperbanyak bekal,” ucapnya, suara paraunya bergetar syahdu.
Inspirasi di Tengah Generasi Instan
Dewi (23), seorang warga yang kerap melintas di lokasi mangkal Mbah Tarjo, tak bisa menyembunyikan kekagumannya.
“Setiap hari saya lewat sini, beliau pasti sedang mengaji. Sudah bertahun-tahun, konsisten. Bikin saya malu sendiri, yang kadang malas baca Quran padahal punya banyak waktu luang,” aku pemudi itu.
Bagi masyarakat Brebes, Mbah Tarjo bukan sekadar tukang becak. Ia menjadi simbol ketulusan iman di tengah derap zaman yang makin materialistis.
Di atas becaknya yang lapuk, ia membuktikan, kemuliaan bukan terletak pada gengsi pekerjaan, tapi pada kesungguhan menyelaraskan hidup dengan firman Ilahi.
Mimpi Terakhir Sang Pejuang Iman
Mbah Tarjo tak punya ambisi duniawi. Upah becak yang pas-pasan ia terima dengan syukur. Kontrakan kecil di Kelurahan Pasarbatang ia jadikan tempat istirahat sekaligus musholla pribadi.
Baca Juga: Mengenal Tradisi Idul Fitri di Berbagai Negeri: Harmoni dalam Keberagaman
“Saya hanya ingin, ketika ajal datang, saya dalam keadaan khusnul khotimah. Mata ini bisa terpejam sambil mengingat ayat-ayat-Nya,” tuturnya, sembari menatap jauh ke jalanan yang mulai sepi.
Di Brebes, kota yang perlahan melupakan becak, lantunan ayat suci dari bibir Mbah Tarjo tetap bergema, seperti azan yang tak mau padam, mengingatkan siapa pun yang lewat, bahwa di balik kesederhanaan, ada kemuliaan yang tak bisa dibeli oleh teknologi atau gengsi.
Becak yang Menjadi Mimbar
Mbah Tarjo mungkin tak akan pernah masuk trending di media sosial. Tapi di sudut kecil Brebes itu, ia telah menulis sejarahnya sendiri, menjadi dai tanpa mikrofon, guru tanpa kelas, dan pejuang iman yang mengayuh jihadnya di atas tiga roda.
Baca Juga: Khutbah Idul Fitri: Mengokohkan Ukhuwah, Meneguhkan Dukungan untuk Pembebasan Al-Aqsa
Sebuah teladan bahwa selama masih ada napas, tak ada kata “terlambat” untuk menjadi lebih dekat pada Sang Pencipta.
“Bacalah Al-Quran, seakan-akan ia diturunkan untukmu,” pesan Nabi SAW. Dan Mbah Tarjo dengan caranya sendiri, telah menjadikan becak sebagai mimbar, jalanan sebagai sajadah, dan hidupnya sebagai tafsir hidup atas ayat-ayat-Nya. []
Mi’raj News Agency (MINA)