Washington, MINA – Penyelidikan pemerintah Amerika Serikat (AS) telah menemukan bahwa militer Myanmar melancarkan aksi pembunuhan massal yang direncanakan dan terkoordinasi, pemerkosaan bergerombolan, dan kekejaman lainnya terhadap minoritas Muslim Rohingya.
Laporan Departemen Luar Negeri AS yang dirilis pada Senin (24/9), dapat digunakan untuk membenarkan lebih lanjut sanksi Washington terhadap pemerintah Myanmar, kata pejabat AS seperti dilansir Al Jazeera.
Namun laporan itu tidak lagi mendeskripsikan penindasan itu sebagai genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan.
Penemuan ini didasarkan pada lebih dari 1.000 wawancara terhadap pria dan wanita Rohingya di kamp-kamp pengungsi di negara tetangga Bangladesh, tempat lebih dari 700.000 warga Rohingya melarikan diri setelah kekerasan militer tahun lalu di negara bagian Rakhine, Myanmar.
Baca Juga: Uni Eropa Berpotensi Embargo Senjata ke Israel Usai Surat Penangkapan ICC Keluar
“Survei itu mengungkapkan bahwa kekerasan baru-baru ini di negara bagian utara Rakhine adalah ekstrem, berskala besar, meluas, dan tampaknya diarahkan untuk meneror penduduk dan mengusir warga Rohingya,” kata laporan 20 halaman itu. “Ruang lingkup dan skala operasi militer menunjukkan mereka terencana dan terkoordinasi dengan baik,” tambahnya.
Pada 25 Agustus 2017, Myanmar melancarkan serangan militer – yang diistilahkan oleh PBB sebagai pembersihan etnis.
Mereka yang selamat menceritakan detail mengerikan yang mereka saksikan, termasuk tentara yang membunuh bayi dan anak-anak kecil, penembakan orang-orang yang tidak bersenjata, dan korban yang dikubur hidup-hidup atau dilemparkan ke lubang kuburan massal.
Mereka menggambarkan serangan seksual yang meluas dan perkosaan perempuan Rohingya oleh militer Myanmar, yang sering dilakukan di depan umum. Seorang saksi menggambarkan bagaimana empat gadis Rohingya diculik, diikat dan diperkosa selama tiga hari. Mereka dibiarkan berdarah hebat dan “setengah mati”, ujarnya, menurut laporan itu.
Baca Juga: Israel Perintahkan Warga di Pinggiran Selatan Beirut Segera Mengungsi
Laporan Departemen Luar Negeri AS bertepatan dengan janji Washington untuk memberikan bantuan US$ 185 juta untuk pengungsi Rohingya.
Pada Senin, duta besar AS untuk PBB Nikki Haley mengumumkan pendanaan baru untuk makanan, air, perawatan kesehatan dan bantuan penting lainnya selama pertemuan tingkat menteri mengenai krisis Myanmar di sela-sela pertemuan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York.
Laporan AS dirilis hampir satu bulan setelah sebuah tim penyelidik PBB mengeluarkan laporannya sendiri, menuduh militer Myanmar bertindak dengan “niat genosida” dan menyerukan kepada panglima tertinggi negara itu dan lima jenderal untuk diadili oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).
Sementara itu, kepala militer Myanmar jenderal Min Aung Hlaing pada hari Senin memperingatkan terhadap campur tangan asing saat para pemimpin dunia berkumpul di PBB untuk menemukan cara untuk menuntut pertanggungjawaban para jenderal yang kuat dan berpengaruh di negara itu atas kekejaman terhadap Muslim Rohingya.
Baca Juga: Diboikot, Starbucks Tutup 50 Gerai di Malaysia
Dalam komentar publik pertamanya sejak laporan pencarian fakta PBB, Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan Myanmar terikat dan patuh pada pakta PBB, tetapi memperingatkan bahwa “pembicaraan untuk ikut campur dalam urusan internal” dapat menyebabkan “kesalahpahaman”.
“Karena negara-negara menetapkan standar dan norma yang berbeda. Organisasi dan kelompok mana pun tidak memiliki hak untuk ikut campur dan membuat keputusan atas kedaulatan suatu negara,” kata Min Aung Hlaing dalam komentar yang dilaporkan dalam bahasa Inggris di situsnya.
Min Aung Hlaing juga mengabaikan tuntutan para penyelidik PBB agar tentara mundur dari politik di Myanmar. Militer tetap sangat berpengaruh meski ada transisi ke pemerintahan sipil pada 2011. (T/R11/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Survei: 37 Persen Remaja Yahudi di AS Bersimpati dengan Hamas