Doha, MINA – “Ied Mubarak,” ucap Swhetya, pramugari Qatar Airways sambil tersenyum manis mempersilakan para penumpang turun dari pesawat dengan nomor penerbangan QR955.
Rabu, (10/4), pukul 05.20 waktu Doha, bertepatan dengan pukul 09.20 wib, Saya bertiga dengan Desi Fitriani dari Metro TV, dan Nur Ikhwan Abadi dari lembaga Kepalestinaan Aqsa Working Group (AWG) tiba di Bandara Hamad, Doha, Qatar.
Perjalanan delapan jam dari Jakarta, kami transit selama kurang lebih dua jam di Doha ini sebelum melanjutkan penerbangan ke Turki. Pagi waktu Doha, saat takbir menggema pertanda lebaran telah tiba dan umat Islam menunaikan shalat Ied di mana-mana.
Bagi seorang jurnalis seperti Saya, tidak berlebaran di kampung halaman memang sudah beberapa kali, utamanya saat tugas peliputan di tempat bencana di beberapa daerah di Indonesia.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Namun lebaran 1445 H kali ini ‘Agak Laen’. Saya yang biasanya berada di rumah bersama keluarga, harus berlebaran di negeri orang dan tidak bisa menunaikan shalat Ied, karena masih dalam perjalanan menuju Turki.
“Berarti nggak bisa photo keluarga dong Bang pakai baju lebaran, tahu gitu nggak usah beli baju lebaran,” kata istriku sambil tersenyum pahit saat tahu suaminya akan bertugas di negerinya Muhammad Sultan Al-Fatih.
Sempat bertanya ke teman satu rombongan, Nur Ikhwan dan Desi, apakah ada yang menggelar shalat Ied di bandara. Barangkali ada dan kami bisa ikut sebelum lanjut perjalanan.
Meskipun ada, perkiraan waktunya tidak cukup untuk kami ikut shalat Ied. Tapi tak apa, toh juga kami dalam perjalanan tugas misi kemanusiaan bukan untuk liburan menghamburkan uang.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Bahkan Rasulullah pun dalam sebuah Hadits menyatakan lebih menyukai keluar dari rumah untuk membantu urusan kaum muslimin ketimbang beriktikaf di Masjid Nabawi.
“Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini – Masjid Nabawi – selama sebulan penuh.” kata Nabi Muhammad Shalallahu A’laihi wa Sallam.
Hadits ini mengajarkan kita, ketulusan dan kebaikan dalam membantu dan memperhatikan orang lain memiliki nilai yang lebih besar di hadapan Allah daripada melakukan i’tikaf di salah satu tempat paling suci di dunia, yaitu Masjid Nabawi. Ya sudah, kami terus melanjutkan perjalanan menuju Istanbul, Turki.
Tugas peliputan misi kemanusiaan yang Saya ikuti kali ini adalah Freedom Floatilla Coalition (FFC) yang akan berlayar pada pertengahan April dengan beberapa kapal, membawa 5.500 ton bantuan kemanusiaan dan ratusan pemantau hak asasi manusia internasional untuk menentang blokade ilegal zionis Israel yang sedang berlangsung di Jalur Gaza.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Pada 2017, Saya juga pernah ikut dalam misi kemanusiaan semacam ini untuk etnis muslim Rohingya dalam misi Food Flotilla for Myanmar selama kurang lebih satu bulan berlayar dari Malaysia, menuju Myanmar, Bangladesh lalu kembali lagi ke Malaysia membawa 2400 ton bantuan bersama 185 peserta dari 11 negara.
FFC ini adalah misi darurat karena situasi di Gaza sangat buruk, dengan kelaparan terjadi di bagian utara Gaza, dan juga seluruh Jalur Gaza sebagai akibat dari kebijakan yang disengaja oleh penjajah Israel untuk membuat rakyat Palestina kelaparan.
Misi yang melibatkan 12 negara koalisi diataranya Turki, Malaysia, Amerika, Kanada, Australia, Norwegia, Swedia, Spanyol, New Zealand, Afrika Selatan, Prancis, Italia akan diikuti lebih dari 1000 peserta.
Meski Indonesia tidak masuk dalam koalisi 12 negara penyelenggara ini, namun hingga saat ini ada 10 peserta dari Indonesia yang akan bergabung dengan 1000 lebih peserta dari lebih 50 negara ini nanti.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Tujuan utama FFC ini adalah mengakhiri blokade Zionis Israel yang melanggar hukum dan mematikan serta mengakhiri kendali Israel atas Gaza secara keseluruhan.
Panitia FFC juga menekankan, bahwa membiarkan Israel mengendalikan apa dan berapa banyak bantuan kemanusiaan yang bisa diberikan kepada warga Palestina di Gaza sama seperti membiarkan rubah mengelola kandang ayam.
Semua dapat membantu saudara kita di Palestina. Tidak harus mengangkat senjata. NGO dan aktivis kemanusiaan dengan program bantuannya. Sedangkan Saya sebagai seorang jurnalis dapat membantu dengan terus menyuarakan kebenaran kepada masyarakat dunia, apa yang sebenarnya terjadi di Palestina.
Penjajahan yang telah berlangsung puluhan tahun dengan pembantaian, pengusiran, penyitaan rumah, penangkapan, penyiksaan tahanan, blokade berkepanjangan, pelarangan beribadah di Masjid Al-Aqsha, dan berbagai macam kezaliman yang dilakukan zionis harus segera dihentikan.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Rasanya, inilah yang bisa Saya lakukan supaya ilmu jurnalistik yang ditipkan oleh Allah dapat bermanfaat untuk sesama. Meski harus meninggalkan keluarga dalam beberapa pekan ke depan, tidak berlebaran dengan keluarga, tidak juga sempat makan ketupat dengan opor ayam dan semur daging yang rasanya mantap. Rasanya tidak sebanding dengan perjuangan dan pengorbanan saudara kita di Palestina dalam mempertahankan kiblat pertama umat Islam di tanah suci para Nabi, tanah yang diberkahi.
Mudah-mudahan misi ini berjalan dengan lancar. Allah jaga terus niat hati ini agar tetap lurus membantu sesama karena Allah semata.
Terbukalah blokade Gaza lewat jalur laut, sehingga bantuan untuk saudara kita di Gaza ini bisa segera disalurkan dan hak-haknya sebagai manusia dapat terpenuhi. (A/B03)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel