Larangan Jilbab di India Bentuk Islamofobia

oleh: , Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)

Aksi protes dan demonstrasi meletus di beberapa kota di India. Itu terjadi setelah sebuah perguruan tinggi di negara bagian Karnataka, bagian barat daya India, melarang para mahasiswinya yang beragama Islam mengenakan jilbab di lingkungan kampus, sejak Sabtu (5/2/2022).

Sejumlah sekolah menengah lainnya di kota pesisir kota Udupi, masih di Karnataka, juga melarang pemakaian jilbab bagi siswi-siswinya tingkat menengah di lingkungan sekolah.

Sontak saja, pelarangan itu menuai protes dari komunitas Muslimah di berbagai distrik di Karnataka. Mulai dari kawasan Hassan, Shahpur di Yadadri, Belgavi, Haveri, Bhadravati di Shivamogga, Mandya, Raichur, Vijayanagar, dan Chamarajpet, dan Hoskote di Bangalore.

Demo serupa pun menjalar ke negara bagian tetangga, di kampus Nizamia Unani Tibbi College Hyderabad, negara bagian Telangana.

Para aksi damai membentangkan spanduk yang mengatakan “ adalah hak kami”.

“Jilbab adalah bagian dari kewajiban agama kami,” ujar pemrotes, seperti dilaporkan media setempat, The Siasat Daily, Rabu (9/2/2022).

Di media sosial, mereka pun memasang tagar : #KarnatakaHijabRow #HijabisOurRight #HijabIsMyChoice

Aksi protes terbesar berlangsung di kampus Anwarul Uloom College di Distrik Mallepally, Kota Hyderabad, negara bagian Telangana, Kamis (10/2/2022).

Para mahasiswa membawa plakat dan meneriakkan slogan-slogan menuntut keadilan. Mereka menunjukkan solidaritas dengan sesama mahasiswi berjilbab di Karnataka.

Anwarul Uloom College adalah perguruan tinggi swasta yang berafiliasi di bawah Osmania University Hyderabad, merupakan perguruan tinggi minoritas Muslim otonom terbesar di negara bagian Telangana, India.

Perguruan tinggi ini didirikan tahun 1953, dan kini memiliki 2.240 mahasiswa dengan 19 jurusan.

Tanggapan Tokoh India

Bukan hanya dari kalangan Muslimah, pelarangan jilbab sebagai pakaian perempuan Islam di India, pun mendapat tanggapan dari tokoh publik. Di antaranya dari novelis terkenal India, Arundhati Roy.

Arundhati Roy mengatakan, tindakan fasisme Perdana Menteri Narendra Modi pimpinan Bharatiya Janata Party (BJP) hanya akan menyebabkan perpecahan di negaranya.

Pemenang Booker Prize 1997 melalui Novelnya The God of Small Things itu menegaskan, India adalah kontrak sosial antara sejumlah agama, sejumlah suku, sejumlah etnis, dan sejumlah penutur 780 bahasa.

“Sekarang visi bangsa Hindu, satu bahasa, satu agama, satu negara, ini seperti mencoba menyaring lautan dan memasukkannya ke dalam botol mineral. Ini adalah proses kekerasan ekstrem,” ujarnya, Jumat (18/2/2022).

Menurutnya, nasionalisme Hindu dapat memecah India. Dia beserta komunitasnya akan melawan fasisme Modi dan tidak akan membiarkan BJP berhasil.

Aktivis tersebut juga mengomentari larangan jilbab di negara bagian Karnataka, yang itu membatasi gadis-gadis beragama dari mengenakan pakaian mereka.

“Negara kami memiliki undang-undang yang canggih, tetapi mereka menerapkannya tergantung pada kasta, agama, jenis kelamin, dan etnis,” imbuhnya.

Tanggapan lainnya datang dari Partai Kongres, partai penguasa lama sejak awal kemerdekaan 1948 hingga 2014. Sebelum dikalahkan oleh Partai Bharatiya Janata  (BJP) dalam pemilihan umum tahun 2014.

Pernyataan disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Partai Kongres, Priyanka Gandhi Vadra, yang mendukung protes larangan jilbab.

“Hak perempuan untuk memutuskan apa yang ingin mereka kenakan,” ujar tokoh partai oposisi pemerintah, pada akun twitternya, Rabu (9/2/2022).

“Apakah itu bikini, ghoonghat, celana jins atau jilbab, itu adalah hak perempuan untuk memutuskan apa yang ingin dia kenakan. Hak ini dijamin oleh konstitusi India. Berhentilah melecehkan perempuan,” ujar Priyanka, putri politisi senior India, pasangan Rajiv Gandhi dan Sonia Gandhi.

Neneknya, Indira Gandhi, adalah Perdana Menteri perempuan India pertama (1966-1977), putri dari Jawaharlal Nehru. Nehru adalah  tokoh kemerdekaan India yang menjadi perdana menteri India pertama (1947-1964).

Selama ini, ketika Partai Kongres berkuasa, pemerintah sangat menghormati perbedaan, menghargai toleransi, dan membangun India secara bersama oleh seluruh anak bangsa.

Berbeda dengan lawan politiknya, era Perdana Menteri Narendra Modi, Partai Bharatiya Janata (BJP). BJP telah berkampanye selama beberapa dekade untuk menerapkan Uniform Civil Code (UCC), yang diyakini oleh minoritas akan sama dengan penerapan hukum Hindu.

BJP memang awalnya mengusung nasionalis Hindu. Dalam kampanyenya tahun 2014, partai ini mengangkat isu utama model ekonomi pribumi berdasarkan nasionalisme budaya India, tanpa memandang agama.

Namun, para analis politik menyebut ideologi Hindutva kemudian bergeser. BJP hendak mendefinisikan India dan menyusunnya kembali sebagai negara Hindu dengan mengesampingkan agama-agama lain.

BJP memiliki hubungan ideologis dan organisasi yang dekat dengan Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS). RSS sebuah organisasi sukarelawan nasionalis Hindu sayap kanan.

RSS mengusung gagasan hendak menyatukan komunitas Hindu. Mereka hendak membentuk Rashtra Hindu (bangsa Hindu) dengan mempromosikan cita-cita menegakkan budaya India, nilai-nilai masyarakat sipil dan menyebarkan ideologi Hindutva.

RSS tumbuh menjadi organisasi payung nasionalis Hindu terkemuka, memunculkan beberapa organisasi afiliasi yang mendirikan banyak sekolah, badan amal, dan klub untuk menyebarkan keyakinan ideologisnya.

Ideologi RSS yang dilaksanakan oleh BJP terinspirasi awal dari kelompok sayap kanan Eropa dalam Perang Dunia II, seperti Partai Fasis Italia.

Pada umumnya, partai berideologi fasisme mengusung prinsip kepemimpinan otoritas mutlak (absolut). Ideologi fasis selalu membayangkan adanya musuh. Musuh atau lawan politiknya dikonstruksikan dalam kerangka konspirasi. Dalam ideologi fasis, akibatnya adalah individualitas manusia hilang, dan pengikut menjadi massa yang seragam sebagai alat untuk mencapai tujuan.

Adapun tanggapan dari Organisasi Mahasiswa Islam India (SIO) menyatakan, pelarangan jilbab merupakan pelanggaran langsung terhadap hak fundamental perempuan Muslim untuk menjalankan keyakinan mereka. Ini juga melanggar hak fundamental mereka untuk pendidikan tanpa diskriminasi.

“Pengadilan Tinggi Karnataka telah menyamakan jilbab dengan selendang safron yang bermotivasi politik. Padahal pakaian jilbab bagi perempuan Muslim adalah bentuk ketaatan iman mereka pada agama mereka,” kata Sekretaris Nasional organisasi itu, Fawaz Shaheen.

“Ini menunjukkan kurangnya pemahaman tentang masalah yang dihadapi. Bagi kami orang yang beriman, pasal-pasal kepercayaan bukanlah protokol opsional untuk diambil atau ditinggalkan,” tambahnya.

Menurutnya, berdasarkan Konstitusi India, setiap warga negara berhak untuk menganut dan menjalankan agamanya masing-masing. Hak itu hanya dapat dibatasi atas dasar ketertiban umum, moralitas dan kesehatan.

Langkah Hukum

Menteri Dalam Negeri India sendiri, Amit Shah menyatakan mengaku lebih suka melihat pelajar di negaranya memakai seragam, daripada memakai pakaian keagamaan, khususnya jilbab.

Namun ia menyatakan, akan menghormati keputusan pengadilan yang saat ini sedang menyidang perkara jilbab tersebut.

Amit Shah mengatakan kepada Network18 Group dalam sebuah wawancara yang disiarkan Senin malam (21/2/2022) bahwa dia akan menerima apa pun keputusan pengadilan terkait persoalan itu.

“Ini keyakinan pribadi saya bahwa orang-orang dari semua agama harus menerima aturan berpakaian di sekolah. Dan ketika pengadilan memutuskan, maka saya pun harus menerimanya, dan semua orang harus menerimanya juga,” ujarnya.

Pengadilan Tinggi Karnataka masih menyidangkan perkara tersebut. Tentu tetap mengenakan seragam sesuai ketentuan, tetapi menutup aurat dengan jilbab oleh pelajar atau mahasiswi Muslim, seusai keyakinannya, merupakan jalan tengah yang dapat ditempuh.

Pengacara Senior Devadatt Kamat yang mendampingi perkara mahasiswi berjilbab menyatakan, hak untuk menggunakan hijab atau jilbab di lembaga pendidikan tidak dapat diblokir dengan alasan “ketertiban umum”, ujarnya kepada Pengadilan Tinggi Karnataka, Selasa (15/2/2022).

Kamat meminta pengadilan untuk memikirkan kembali keputusan sementara untuk melarang pakaian keagamaan, dengan mengatakan itu sama dengan “penangguhan hak-hak dasar” untuk pendidikan dan kebebasan beragama.

Ia menambahkan, Undang-Undang Pendidikan tidak memiliki ketentuan untuk mengeluarkan siswa karena tidak menggunakan seragam.

Menurutnya, kebebasan beragama dijamin berdasarkan Pasal 25 Konstitusi dan dapat dilarang hanya jika ada pelanggaran “ketertiban umum”. Dan “berjilbab” tidak melanggar ketertiban umum seperti dituduhkan.

Respon Dunia

Aksi protes pelarangan berjilbab kini terus meluas ke dunia global. Tentu karena akses media sosial dan media massa online yang tidak dapat dibendung.

Ini seperti aksi protes yang dilakukan Kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) di Turki yang mengecam larangan jilbab di India tersebut.

Dewan Permusyawaratan Organisasi Islam Malaysia juga mengeluarkan pernyataan yang mendesak PBB dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk melakukan intervensi agar penyerangan terhadap Muslim di India dapat dihentikan.

“Kami mendesak PBB dan OKI untuk segera mengintervensi perkembangan terkini di India terkait serangan terhadap umat Islam, agar situasi tidak semakin memburuk,” ujar pernyataan tersebut dalam keterangan tertulis yang diterima MINA, Rabu (23/2/2022).

Pernyataan tersebut melanjutkan, tanda-tanda pembersihan etnis dan genosida sudah jelas dan sekarang terjadi di India. Ujaran kebencian serta anjuran untuk melenyapkan umat Islam tersebar luas dan vokal.

“Kami mendesak para pemimpin Islam Pakistan, Indonesia, Turki dan Qatar untuk memberikan perhatian serius terhadap perkembangan Muslim tertindas di India,” tambahnya.

Pemerintah Pakistan bahkan secara resmi telah memanggil Kuasa Usaha India Suresh Kumar ke Kantor Kementerian Luar Negeri Pakistan pada Rabu (9/2/2022).

Menurut pernyataan Kementerian Luar Negeri Pakistan yang dikeluarkan di Islamabad, Kumar diminta untuk menyampaikan bahwa melarang siswa mengenakan jilbab adalah “tindakan tercela”.

Dikutip dari The Hindu News, pertemuan itu sebagai bentuk mengekspresikan “keprihatinan yang ekstrem” atas larangan siswa perempuan mengenakan jilbab di Karnataka, India.

Dalam pernyataan itu ditegaskan bahwa pemerintah India harus memastikan “keamanan” perempuan Muslim di India, merujuk pada video seorang siswa yang mengenakan burkha, yang dilecehkan oleh sekelompok pria di kampusnya di kota Mandya.

Pakistan juga menyerukan kepada masyarakat internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa dan OKI, terutama bidang Hak Asasi Manusia (HAM), agar menyadari tingkat Islamofobia yang mengkhawatirkan di India. Seruan juga untuk mencegah pelanggaran HAM sistematis terhadap minoritas di negara India.

Tanggapan lainnya, dari Komunitas Warga India-Amerika Serikat yang juga melakukan protes. Para demonstran menyebut pelarangan jilbab itu sebagai tindakan Islamofobia yang inkonstitusional.

Para pengunjuk rasa di Houston, Texas memegang plakat yang mengatakan “hijab adalah hak konstitusional”, “hentikan larangan hijab di India”, “hentikan Islamofobia di India”, “serangan terhadap hijab adalah cara untuk menolak pendidikan bagi gadis-gadis Muslim.”

Mereka berdemo atas nama Alliance to Stop Genocide in India, seperti diberitakan enewsroom, 17 Februari 2022.

Lebih dari seratus orang, dengan para wanita di garis depan, meminta pemerintah Karnataka untuk segera menghentikan diskriminasi terhadap siswi Muslim yang dipaksa melepas jilbab mereka.

Mereka beralasan, perempuan Muslim memakai jilbab secara alami seperti orang Sikh memakai pagdi, seorang Kristen memakai salib mereka, seorang wanita Hindu yang sudah menikah memakai mangalsutra, sindoor atau bichhiya.

“Kami mendorong India untuk memberikan keleluasaan lembaga pendidikan menjadi pusat pembelajaran, bukan medan pertempuran politik untuk memecah belah masyarakat. Mohon izinkan saudari-saudari India saya untuk mempraktikkan keyakinan mereka sebagaimana diizinkan oleh Konstitusi India,” bunyi pernyataan bersama komunike.

Sementara itu, Dewan Muslim Amerika-India (IAMC) juga mengecam pemerintah Karnataka terhadap konstitusi India.

IAMC mendesak pengadilan untuk mencabut larangan diskriminatif tersebut dan mengakui bahwa adalah hak setiap orang India untuk menjalankan keyakinan mereka tanpa menjadi sasaran pelecehan, pemisahan dan kefanatikan.

Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) sendiri sudah merespon pelarangan jilbab di India dengan pernyataan, menolak serangan berkelanjutan yang menargetkan Muslim dan tempat ibadah mereka di India.

Pernyataan resmi OKI seperti diberitakan The Express Tribune, Senin (14/2/2022), menyuarakan ‘keprihatinan mendalam’ atas larangan jilbab sebagai insiden Islamofobia di India.

OKI menyerukan masyarakat internasional, termasuk PBB, untuk mengambil langkah-langkah guna menghentikan kejahatan kebencian terhadap komunitas minoritas.

Menghadapi kritikan itu, pemerintah India memberikan respons dan menganggap OKI telah dibajak oleh kepentingan anti-India.

Desakan Umat Muslim Indonesia

Desakan dari Indonesia datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI menyesalkan larangan penggunaan hijab di beberapa lembaga pendidikan di India. Tindakan tersebut dinilai sebagai Islamfobia bagi umat Muslim di sana.

Untuk itu, MUI menghimbau dan mendesak pemerintah India supaya menghormati kebebasan bagi umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya sesuai dengan keyakinan yang dianutnya. Pernyataan Wakil Ketua Umum (Waketum) MUI Anwar Abbas dalam keterangan tertulisnya yang dikutip MINA, Kamis (10/2/2022).

Dia mengatakan perlakuan buruk yang diterima oleh umat Islam di India, juga telah menyakiti hati umat Islam yang ada di Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia.

MUI juga meminta kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan pendekatan-pendekatan agar hubungan baik antara Indonesia dan India yang sudah terbangun selama ini tidak rusak dan terganggu atas kejadian tersebut.

Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerja sama Internasional MUI, Bunyan Saptomo, menambahkan, larangan tersebut melanggar prinsip kebebasan melaksanakan ajaran agama yang terdapat dalam hukum internasional (Deklarasi Universal HAM PBB dan Kovenan Hak Sipil dan politik serta hak sosial budaya, dan Konvensi Anti Diskriminasi Rasial PBB).

“Kami menyerukan kepada PBB dan OKI untuk mendesak India memenuhi kewajibannya melindungi hak minoritas Muslim,” tegasnya, kepada MINA.

Desakan lainnya dari Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyyah (PCIM) India. PCIM India mendesak pemerintah negara bagian Karnataka dapat memberikan hak kepada pelajar perempuan Muslim menjalankan agama dengan mengenakan hijab ketika berada di kelas belajar sebagaimana yang berlaku di wilayah lainnya di India.

Ketua PCIM India Mohammad Agoes Aufiya mengatakan, saat ini memang masih terdapat sekolah-sekolah di Karnataka yang melarang pelajar Muslimah mengenakan hijab. MINA mengutip laman Muhammadiyyah, Senin (21/2/2022).

Agoes menjelaskan, gesekan antara komunitas Muslim dan Hindu pun masih sering terjadi di Karnataka akibat polemik larangan hijab. Meski demikian, dia menjelaskan tidak ada kekerasan fisik yang terjadi.

“Sebenarnya hak beragama di India itu sangat diakui, karena sudah masuk dalam konstitusi untuk bisa menjalankan ibadah masing-masing agama termasuk dalam mengenakan hijab. Makanya terjadi pro kontra tentang larangan hijab di sekolah ini,” imbuhnya.

Ia menunjukkan bagaimana banyak inspirasi yang bisa didapatkan dari indonesia, di mana terawat kemajemukan, perbedaan antaragama.

Sementara itu, Pemuda Jama’ah Muslimin (Hizbullah) berbasis di Pondok Pesantren Al-Fatah Cileungsi, Bogor, Jawa Barat, menyampaikan pernyataan sikapnya terkait larangan hijab dan peristiwa yang terjadi di Karnataka, India.

Pernyataan tertulis dibacakan oleh Mahasiswi Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Fatah Bogor, Arina dalam orasi Aksi Damai Solidaritas Bela Muslimah India, di depan Kedutaan Besar India, Jakarta, Selasa (22/2/2022).

Dalam konteks kemanusiaan, pemakaian hijab dilindungi oleh prinsip fundamental hak asasi manusia sebagai bagian dari hak alamiah (natural right), yaitu hak kebebasan beragama. Maka pada dasarnya, pelarangan hijab adalah melanggar hak asasi manusia, pernyataan menyebutkan.

Pemuda Jama’ah Muslimin (Hizbullah) juga menyampaikan sikap mengecam dengan keras pelarangan hijab bagi pelajar dan mahasiswa Muslimah di sekolah-sekolah dan kampus-kampus oleh Pemerintah India.

“Hal itu merupakan sikap diskriminatif kelompok mayoritas yang dilegalisasi oleh negara dan partai penguasa kepada kelompok minoritas. Selama itu juga berarti pengingkaran terhadap keragaman (multikulturallsme) dan kebencian terhadap Islam (Islamophobia),” lanjut pernyataan.

Mereka meminta Pemerintah dan Partai Penguasa di India untuk dapat hidup berdampingan, merangkul umat Islam di India yang berjumlah hampir 200 juta sebagai warga sebangsa dan setanah air.

Mereka juga mengingatkan, sikap pelarangan jilbab itu bertentangan dengan ajaran Mahatma Gandhi sendiri, pendiri India, tentang tidak boleh menyakiti siapapun (ahimsa) dan cinta tanah air berdasarkan kemanusiaan (swadesi).

Harapan umat Islam keseluruhan tentu adalah bagaimana kerukunan, toleransi dan persaudaraan kebangsaan di India dapat terjalin dengan baik dan adil. Sehingga India sebagai bangsa yang besar dapat memacu lebih cepat pembangunan nasional secara keseluruhan, bersaing dengan negara-negara lainnya.

Jangan lagi ada Islamofobia terhadap minoritas di India. Sebab umat Islam di manapun berada pada hakikatnya adalah warga yang baik, patuh dan dapat bersinergi dan berkolaborasi dalam kebaikan Negara dan bangsanya.

Di India, boleh saja umat Islam minoritas, hanya sekitar 14% atau 209 juta orang dari 1,38 miliar penduduk India keseluruhan.

Itu tentu bukan bilangan yang sedikit jika bergerak bersama. Ditambah masih ada miliaran umat Islam di seluruh dunia dan aktivis hak asasi manusia yang berada di belakang mereka. (A/RS2/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.