Larangan Menjadikan Orang Kafir dan Nasrani Sebagai Wali

Oleh: Imaamul Muslimin, K.H. Yakhsyallah Mansur

Firman Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوْا الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ (المائدة [٥]: ٥١

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Q.S. [5]: 51)

Asbabun Nuzul

Ubadah bin Shamit  berkata, “Ketika Bani Qainuqa’ (salah satu suku Yahudi di Madinah) memerangi Rasulullah , Abdullah bin Ubay bin Salul (tokoh munafik Madinah) yang terikat perjanjian dengan Bani Qainuqa’ menyatakan tetap terikat dengan perjanjiannya dan akan membela Bani Qainuqa’. Sementara itu Ubadah bin Shamit  yang juga terikat perjanjian untuk saling membela dengan Bani Qainuqa’, melihat kejahatan Bani Qainuqa’ terhadap Rasulullah , dia berangkat menghadap Rasulullah  untuk menyatakan diri kepada Allah  dan Rasul-Nya bahwa dia tidak lagi terikat perjanjian dengan Bani Qainuqa’ serta bergabung dengan Rasulullah  dan menyatakan hanya taat kepada Allah  dan Rasul-Nya dan membela orang yang beriman. Maka turunlah ayat di atas yang membenarkan sikap Ubadah bin Shamit  dan menyalahkan sikap Abdullah bin Ubay bin Salul. (H.R. Ibn Ishaq, Ibn Jarir, dan Al-Baihaqi)

Meskipun ayat ini turun berkenaan pada orang tertentu, namun yang dijadikan pedoman adalah isinya. Sebagaimana kaidah Ushul Fiqh:

الْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

“Yang dipandang adalah umumnya lafadz, bukan khususnya sebab.”

Penjelasan

Di dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang senada dengan ayat ini, antara lain:

بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۚ أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا (النساء [٤]: ١٣٨-١٣٩

Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang- menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.(Q.S. An-Nisaa [4]: 138-139)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۚ أَتُرِيدُونَ أَن تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُّبِينًا (النساء [٤]: ١٤٤

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?(Q.S. An-Nisaa [4]: 144)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِّنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ  (المائدة [٥]: ٥٧)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. (Q.S. Al-Maidah [5]: 57)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (التوبة [٩]: ٢٣)

Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Q.S. At-Taubah [9]: 23)

Ketika menafsirkan ayat di atas Ibnu Katsir (700-774 H) menyatakan:

يَنْهَى تَعَالَى عِبَادَهُ الْمُؤْمِنِيْنَ عَنْ مُوَالَاةِ الْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى، الَّذِيْنَ هُمْ أَعْدَاءُ الْإِسْلَامِ وَأَهْلِهِ، قَاتَلَهُمُ اللَّهُ.

“Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk menjadikan orang Yahudi dan orang Nasrani sebagai wali mereka, karena mereka adalah musuh-musuh Islam dan para penganutnya; semoga Allah membinasakan mereka.”

Kata “wali” berasal dari bahasa Arab yaitu وَلِيٌّ.

Ar-Raghib Al-Isfahani (w. 502 H) dalam “Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an” menjelaskan pengertian Wali:

أَنْ يَحْصُلَ شَيْئَانِ فَصَاعِدًا حُصُوْلًا لَيْسَ بَيْنَهُمَا مَا لَيْسَ مِنْهُمَا

“Dua pihak atau lebih yang menghasilkan sesuatu yang tidak dapat dilakukan kecuali dengan kerjasama antara dua belah pihak.”

Dalam bahasa Arab, kata wali mempunyai beberapa arti di antaranya orang yang dekat, yang menguasai, mengurus, memerintah, mencintai, menolong, dan memimpin.

Menjadikan “wali” berarti menjadikan seseorang sebagai pemimpin, penanggug jawab, teman dekat atau orang kepercayaan untuk melaksanakan berbagai urusan. Sesuai dengan pengertian wali yang dikemukakan oleh Al-Ishfahani di atas, maka urusan itu tidak akan terlaksana dan terwujud tanpa adanya kerjasama antara yang diang-kat sebagai wali dan yang mengangkatnya sebagai wali.

Prof. DR. Hamka (1908–1981) ketika menafsirkan ayat ini menyatakan, “Di sini jelas, bahwa bagi orang yang beriman ada satu konsekwensi sendiri karena imannya. Dia tidak akan mengangkat pemimpin atau menyerahkan pimpinannya kepada orang Yahudi atau Nasrani. Atau menyerahkan kepada mereka rahasia yang tidak patut mereka ketahui, sebab dengan demikian bukan penyelesaian yang didapat, melainkan ber-tambah kusut.”

Ibn Abi Hatim meriwayatkan, “Bahwa Khalifah Umar bin Khattab  pernah memerintahkan Abu Musa Al-Asy’ari , Wali di Syam untuk melaporkan kepadanya tentang semua yang diambil dan yang diberi-kannya (pemasukan dan pengeluarannya) dalam satu catatan leng-kap. Sementara yan menjadi sekretaris Abu Musa  saat itu adalah seorang Nasrani. Dengan bantuannya Abu Musa  melaporkan semua yang diperintahkan oleh Khalifah Umar . Khalifah merasa kagum dengan laporannya, lalu berkata, “Sungguh laporan ini sangat accoun-table. Apakah kamu dapat membacakan laporan yang datang dari Syam ini di masjid?” Abu Musa  menjawab, “Khalifah, dia tidak dapat melakukannya,” Khalifah Umar  bertanya, “Apakah dia sedang junub?” Abu Musa  menjawab, “Tidak, tetapi dia seorang Nasrani.” Maka Khalifah Umar  membentakku dan memukul pahaku, lalu berkata, “Pecatlah dia.” Selanjutnya beliau membaca firman Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (المائدة [٥]: ٥١)

Setelah Allah  melarang orang beriman menjadikan orang Yahudi dan orang Nasrani sebagai wali, Allah  menyatakan, بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ (Sebagian mereka adalah pemimpin bagi yang lain).

Menurut Asy-Syaukani (w. 1250 H) dalam “Fathu Qadir”, kalimat ini merupakan alasan, mengapa orang beriman dilarang menjadikan orang Yahudi dan orang Nasrani sebagai pemimpin, karena orang Yahudi dan orang Nasrani adalah pemimpin, pelindung, dan penolong bagi yang lain dalam menghadapi orang yang beriman. Maksud ayat ini dalam dan jauh. Walaupun orang Yahudi dan orang Nasrani kadang-kadang terlibat dalam permusuhan dan saling membenci tetapi apabila mereka menghadapi orang yang beriman, mereka akan saling memimpin dan saling membantu dan rela bekerja sama untuk mencelakakan orang yang beriman. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِّن دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ ۚ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْقِلُونَ (ال عمران [٣]: ١١٨)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.(Q.S. Ali Imran [3]: 118)

Pada ayat ini Allah  menjelaskan sifat-sifat orang kafir yang tidak boleh dijadikan teman dekat (bithanah). Kata bithanah berasal dari kata bathin (batin) yaitu teman yang dijadikan tempat menumpahkan perasaan hati (batin) yang tersembunyi karena sudah sangat diperca-ya.

Sifat-sifat orang kafir yang tidak boleh dijadikan teman akrab adalah karena mereka:

  1. Tidak henti-hentinya (terus menerus) menyusahkan orang ber-iman
  2. Sangat mengharapkan kehancuran orang beriman
  3. Perkataan (mulut) nya selalu menebarkan kebencian kepada orang beriman bahkan apa yang disembunyikan dalam hati ke-benciannya lebih besar lagi.

Terhadap orang kafir (non muslim) yang memiliki sifat-sifat yang seperti ini, orang beriman harus berhati-hati. Berhubungan dalam berbagai aspek sosial seperti berbisnis, berolahraga, bertetangga, diperbolehkan tetapi berteman akrab dilarang.

Sebagaimana ditegaskan oleh Allah :

لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (الممتحنة [٦٠]: ٨)

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.(Q.S. Al-Mumtahanah [60]: 8)

Ayat ini menjadi pedoman kuat bagi kehidupan sosial umat Islam sejak masa Rasulullah  hingga saat ini. Umat Islam hidup bergaul baik dengan non Islam. Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah  pernah memasak seekor kambing yang telah dikupas kulitnya dan beliau suruh antarkan beberapa bagian dagingnya kepada Yahudi, tetangganya. Sahabat-sahabat Rasulullah  juga berbuat demikian. Mereka menunjukkan toleransi yang tinggi kepada penganut agama Yahudi dan Nasrani dan toleransi itu terus terjaga sampai sekarang diikuti oleh generasi sesudahnya sehingga di negeri-negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, agama-agama lain terjamin keamanannya.

Selanjutnya Allah  mengingatkan, وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِّنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ (Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesunguhnya orang itu termasuk golongan mereka).

Kalimat ini merupakan ancaman keras bagi orang yang menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai Wali. Prof. DR. Hamka menyata-kan, “Suku ayat ini sangat penting diperhatikan, yaitu barangsiapa mengambil Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpinnya, tandanya dia telah termasuk golongan mereka, artinya telah bersimpati kepada mereka. Tidak mungkin seseorang yang mengemukakan orang lain jadi pimpinannya kalau dia tidak menyukai orang itu. Meskipun da-lam kesukaannya kepada orang yang berlainan agama itu dia belum pindah ke dalam agama orang yang disukainya itu.

Ketika menjelaskan ayat ini Ibnu Katsir menukilkan perkataan Abdullah bin Utbah :

لِيَتَّقِ أَحَدُكُمْ أَنْ يَكُوْنَ يَهُوْدِيًّا أَوْ نَصْرَانِيًّا وَهُوَ لَا يَشْعُرُ

“Hati-hatilah salah seorang di antara kalian akan menjadi Yahudi atau Nasrani, sedang dia tidak merasa.” Kemudian beliau membaca ayat ini.

Apabila orang beriman telah menjadikan orang Yahudi dan Nasrani menjadi pimpinan, maka dia termasuk golongan orang yang diangkat-nya itu karena orang yang mengangkat seseorang menjadi pimpinan pasti memiliki pemikiran dan langkah yang sama dengan orang yang diangkatnya.

Inilah yang disyaratkan oleh sebuah hadits:

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ. شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوْهُمْ. قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللَّهِ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟ (رواه مسلم)

“Sungguh kalian akan mengikuti cara-cara orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Bahkan seandainya mereka masuk ke dalam lubang biawak niscaya kalian akan mengikuti mereka.” Kami bertanya, “Hai Rasulullah (apakah mereka) orang Yahudi dan Nasrani? Beliau menjawab, “Ya, siapa lagi?” (H.R. Muslim)

Yang dimaksud mengikuti cara-cara mereka sejengkal-sejengkal, sehasta-sehasta, bahkan mengikuti mereka seandainya mereka masuk ke lubang biawak adalah cerminan sikap setuju dengan apa yang mereka lakukan dan selalu mendukung mereka.

Akhirnya ayat ini ditutup dengan peringatan keras, إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (Bahwa Allah tidak akan memberi petunjuk kaum yang dzalim). Artinya orang yang telah mengambil Yahudi dan Nasrani menjadi wali adalah orang yang dzalim dan tidak akan diberi petunjuk oleh Allah .

Dzalim secara bahasa berarti gelap, dengan demikian dia telah memilih jalan hidup yang gelap karena cahaya hidayah (petunjuk) dicabut Allah  dari dalam jiwanya sehingga hidupnya akan bergelimang dengan berbagai persoalan yang tidak berkesudahan. Bagaikan orang yang berjalan di tempat gelap tanpa membawa alat penerang. Kebaikan yang ingin diraih dengan mengangkat Yahudi dan Nasrani sebagai wali tidak akan dapat tercapai dan umat Islam yang berpegang teguh kepada petunjuk Allah  akan menyalahkannya karena dia telah melanggar ketentuan Allah . Sementara orang Yahudi dan Nasrani yang dia angkat sebagai wali tidak mungkin menuruti keinginannya bahkan mungkin dia akan menjadi korban dari pemimpin yang diangkatnya. Seperti yang dialami Wazir Al-Aqlani Ar-Rafidz yang berkhianat kepada Khalifah Al-Mu’tashim dan berpihak kepada Hulagu Khan dalam penghancuran Baghdad (656 H), akhirnya dia menjadi korban Hulagu Khan. Inilah bukti kebenaran firman Allah  Q.S. Al-An’am [6]: 122.

Jalan terbaik agar umat Islam tetap mendapat petunjuk Allah  adalah dengan menjadikan orang beriman sebagai wali, sebagaimana firman-Nya:

وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُوْلَهُ وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُوْنَ (المائدة [٥]: ٥٦)

Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. (Q.S. Al-Maidah [5]: 56)

Dalam menjelaskan ayat ini Prof. Dr. Hamka menjelaskan, “Ayat ini (56) menjadi peringatan keras bagi kita kaum muslimin yang menga-ku dirinya pejuang yang menegakkan cita-cita Islam di tanah air kita Indonesia atau di manapun dalam dunia Islam. Tadi di atas (ayat 51) diterangkan bahwa orang yang beriman tidaklah akan mengambil Yahudi atau Nasrani jadi pimpinannya. Di ayat ini dijelaskan lagi bahwa yang memimpin umat Islam itu adalah Allah , sesudah itu Rasul, sebab Rasul itu menjalankan perintah Allah . Sesudah itu orang yang beriman, sebab orang beriman selalu berusaha menja-lankan bimbingan Allah  dan Rasul.”

Selanjutnya beliau menulis, “Fahamkan ujung ayat ini baik-baik, yaitu partai yang akan menang ialah yang menjadikan Allah  dan Rasul dan orang-orang yang beriman sebagai pemimpinnya. Hendaknya difahami maksud ayat ini. Sebab yang dimaksud menang ialah menang menegakkan kebenaran dan keadilan. Bukan menang karena menda-pat kedudukan yang empuk. Sebab dalam kenyataan, banyak sekali orang yang mengkhianati Allah  dan Rasul dan mengkhianati ama-nat mereka itu mendapat kemenangan, terutama dalam berjuang merebut kekuasaan. Jadi yang dimaksud menang dalam ayat ini, bu-kan menang dapat merebut kekuasaan tetapi yang dimaksud menang adalah menang dapat menegakkan kebenaran dan keadilan walaupun terkadang hidupnya melarat, teraniaya, terbuang, dihinakan, bahkan terbunuh dalam perjuangan.”

Menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi, mengangkat non muslim sebagai wali tidak berlaku dalam urusan dunia yang dapat menguntungkan kedua belah pihak.

Larangan menjadikan non Muslim (Yahudi dan Nasrani) sebagai wali adalah wujud ajaran Islam yang rahmatan lil alamin sehingga terjadi harmonisasi kehidupan antar kelompok dalam masyarakat. Orang beriman dipimpin oleh orang beriman sementara orang kafir dipimpin oleh orang kafir sebagai bagian dari prinsip kemajemukan dan pluralitas yang diakui keberadaannya dalam Al-Qur’an, firman Allah :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (الحجرات [٤٩]: ١٣)

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. Al-Hujurat [49]: 13)

Ayat ini mengakui pluralitas kelompok sosial yang dibedakan menurut bahasa, suku, bangsa, bahkan agama, sebagaimana firman-Nya:

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (الكافرون [١٠٩]: ٦)

Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. (Q.S. Al-Kafirun [109]: 6)

Khusus dalam perbedaan agama, menurut ayat ini diberikan garis yang jelas bahwa dalam pengamalan masing-masing ajaran agama, sepenuhnya diarahkan kepada penganut masing-masing agama itu sendiri.

(P004/R01)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)