Lebih Dekat dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (10)

Oleh Bahron Ansori, jurnalis MINA

Mengenal dan Rasulullah

Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bukanlah seorang yang keji dan tidak suka berkata keji, beliau bukan seorang yang suka berteriak-teriak di pasar dan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Bahkan sebaliknya, beliau suka memaafkan dan merelakan. (HR. Ahmad)

Kesaksian Husein bin Ali Tentang Akhlak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam

Al-Husein cucu beliau menuturkan keluhuran budi pekerti beliau. Ia berkata, “Aku bertanya kepada ayahku tentang adab dan etika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terhadap orang-orang yang bergaul dengan beliau, ayahku menuturkan, “Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam senantiasa tersenyum, luhur budi pekerti lagi rendah hati. Beliau bukanlah seorang yang kasar, tidak suka berteriak-teriak, bukan tukang cela, tidak suka mencela makanan yang tidak disukainya. Siapa saja yang mengharapkanya pasti tidak akan kecewa dan siapa saja yang memenuhi undangannya pasti akan senantiasa puas. Beliau meninggalkan tiga perkara, “riya’, berbangga-bangga diri dan hal yang tidak bermanfaat.” 

Dan beliau menghindarkan diri dari manusia karena tiga perkara, “beliau tidak suka mencela atau memaki orang lain, beliau tidak suka mencari-cari aib orang lain, dan beliau hanya berbicara untuk suatu maslahat yang bernilai pahala.”

Jika beliau berbicara, pembicaraan beliau membuat teman-teman duduknya tertegun, seakan-akan kepala mereka dihinggapi burung (karena khusyuknya). Jika beliau diam, barulah mereka berbicara. Mereka tidak pernah membantah sabda beliau. Bila ada yang berbicara di hadapan beliau, mereka diam memperhatikannya sampai ia selesai bicara.

Pembicaraan mereka di sisi beliau hanyalah pembicaraan yang bermanfaat saja. Beliau tertawa bila mereka tertawa. Beliau takjub bila mereka takjub. Dan beliau bersabar menghadapi orang asing yang kasar ketika berbicara atau ketika bertanya sesuatu kepada beliau, sehingga para sahabat selalu mengharapkan kedatangan orang asing seperti itu guna memetik faedah.

Beliau bersabda, “Bila engkau melihat seseorang yang sedang mencari kebutuhannya, maka bantulah dia.” Beliau tidak mau menerima pujian orang kecuali menurut yang selayaknya. Beliau juga tidak mau memutuskan pembicaraan seeorang kecuali orang itu melanggar batas, beliau segera menghentikan pembicaraan tersebut dengan melarangnya atau berdiri meninggalkan majlis.”  (HR. At-Tirmidzi)

Kesaksian Anas Tentang Akhlak Rasulullah

Dari Anas radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Pada suatu hari, beliau mengutus saya untuk suatu keperluan. Maka saya berkata, ‘Saya tidak akan pergi’, tetapi dalam hati saya mengatakan bahwasanya saya akan pergi untuk melaksanakan perintah Rasulullah itu. Kemudian saya keluar dan melewati anak-anak yang sedang bermain di pasar.

Tiba-tiba Rasulullah menepuk pundak saya dari belakang. Anas berkata,”Saya melihat Rasulullah tersenyum kepada saya dan berkata, ‘Hai Unais, apakah kamu sudah pergi untuk melaksanakan apa yang aku perintahkan kepadamu?’ Anas menjawab, “Ya. Saya akan pergi untuk melaksanakannya ya Rasulullah.”

Anas berkata, “Demi Allah, sembilan tahun lamanya saya mengabdi kepada Rasulullah SAW dan tidak pernah saya dapatkan beliau menegur saya atas apa yang saya kerjakan dengan ucapan, ‘Mengapa kamu tidak melakukan begini dan begitu?’ ataupun menegur terhadap apa yang tidak saya laksanakan dengan perkataan, ‘Begini dan begini.'” (HR. Muslim)

Kesaksian Abu Sufyan Tentang Akhlak Rasulullah

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman Al Hakam bin Nafi’ dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhri telah mengabarkan kepadaku Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud bahwa Abdullah bin ‘Abbas telah mengabarkan kepadanya bahwa Abu Sufyan bin Harb telah mengabarkan kepadanya; bahwa Heraclius menerima rombongan dagang Quraisy, yang sedang mengadakan ekspedisi dagang ke Negeri Syam pada saat berlakunya perjanjian antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Abu Sufyan dan orang-orang kafir Quraisy. Saat singgah di Iliya’ mereka menemui Heraclius atas undangan Heraclius untuk didiajak dialog di majelisnya,  saat itu Heraclius bersama dengan para pembesar-pembesar Negeri Romawi.

Heraclius berbicara dengan mereka melalui penerjemah. Heraclius berkata; “Siapa di antara kalian yang paling dekat hubungan keluarganya dengan orang yang mengaku sebagai Nabi itu?.”

Abu Sufyan berkata; maka aku menjawab; “Akulah yang paling dekat hubungan kekeluargaannya dengan dia”.

Heraclius berkata; “Dekatkanlah dia denganku dan juga sahabat-sahabatnya.” Maka mereka meletakkan orang-orang Quraisy berada di belakang Abu Sufyan.

Lalu Heraclius berkata melalui penerjemahnya: “Katakan kepadanya, bahwa aku bertanya kepadanya tentang lelaki yang mengaku sebagai Nabi. Jika ia berdusta kepadaku maka kalian harus mendustakannya.”

“Demi Allah, kalau bukan rasa malu akibat tudingan pendusta yang akan mereka lontarkan kepadaku niscaya aku berdusta kepadanya.”

Abu Sufyan berkata, “Maka yang pertama ditanyakannya kepadaku tentangnya (Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) adalah, “Bagaimana kedudukan nasabnya di tengah-tengah kalian?”  Aku jawab, “Dia adalah dari keturunan baik-baik (bangsawan) “.

Tanyanya lagi, “Apakah ada orang lain yang pernah mengatakannya sebelum dia?” Aku jawab, “Tidak ada”. Tanyanya lagi, “Apakah bapaknya seorang raja?” Jawabku, “Bukan”.

“Apakah yang mengikuti dia orang-orang yang terpandang atau orang-orang yang rendah?” Jawabku, “Bahkan yang mengikutinya adalah orang-orang yang rendah”.

Heraclius  bertanya lagi, “Apakah bertambah pengikutnya atau berkurang?” Aku jawab, “Bertambah”.

Dia bertanya lagi, “Apakah ada yang murtad disebabkan dongkol terhadap agamanya?” Aku jawab, “Tidak ada”.

Dia bertanya lagi, “Apakah kalian pernah mendapatkan dia berdusta sebelum dia menyampaikan apa yang dikatakannya itu?” Aku jawab, “Tidak pernah”.

Dia bertanya lagi, “Apakah dia pernah berlaku curang?” Aku jawab, “Tidak pernah. Ketika kami bergaul dengannya, dia tidak pernah melakukan itu”. Berkata Abu Sufyan, “Aku tidak mungkin menyampaikan selain ucapan seperti ini”.

Dia bertanya lagi, “Apakah kalian memeranginya?” Aku jawab, “Iya”. Dia bertanya lagi, “Bagaimana kesudahan perang tersebut?” Aku jawab, “Perang antara kami dan dia sangat banyak. Terkadang dia mengalahkan kami terkadang kami yang mengalahkan dia”.

Dia bertanya lagi, “Apa yang diperintahkannya kepada kalian?” Aku jawab, “Dia menyuruh kami, ‘Sembahlah Allah dengan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun, dan tinggalkan apa yang dikatakan oleh nenek moyang kalian. ‘ Dia juga memerintahkan kami untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, berkata jujur, saling memaafkan dan menyambung silaturrahim”.

Maka Heraclius berkata kepada penerjemahnya, “Katakan kepadanya, bahwa aku telah bertanya kepadamu tentang keturunan orang itu, kamu ceritakan bahwa orang itu dari keturunan bangsawan. Begitu juga laki-laki itu dibangkitkan di tengah keturunan kaumnya.”

“Dan aku tanya kepadamu apakah pernah ada orang sebelumnya yang mengatakan seperti yang dikatakannya, kamu jawab tidak. Seandainya dikatakan ada orang sebelumnya yang mengatakannya tentu kuanggap orang ini meniru orang sebelumnya yang pernah mengatakan hal serupa.”

Aku tanyakan juga kepadamu apakah bapaknya ada yang dari keturunan raja, maka kamu jawab tidak. Aku katakan seandainya bapaknya dari keturunan raja, tentu orang ini sedang menuntut kerajaan bapaknya.

Dan aku tanyakan juga kepadamu apakah kalian pernah mendapatkan dia berdusta sebelum dia menyampaikan apa yang dikatakannya, kamu menjawabnya tidak. Sungguh aku memahami, kalau kepada manusia saja dia tidak berani berdusta apalagi berdusta kepada Allah.

“Dan aku juga telah bertanya kepadamu, apakah yang mengikuti dia orang-orang yang terpandang atau orang-orang yang rendah?” Kamu menjawab orang-orang yang rendah yang mengikutinya. Memang mereka itulah yang menjadi para pengikut Rasul.

Aku juga sudah bertanya kepadamu apakah bertambah pengikutnya atau berkurang, kamu menjawabnya bertambah. Dan memang begitulah perkara iman hingga menjadi sempurna.

Aku juga sudah bertanya kepadamu apakah ada yang murtad disebabkan marah terhadap agamanya. Kamu menjawab tidak ada. Dan memang begitulah iman bila telah masuk tumbuh bersemi di dalam hati.

Aku juga sudah bertanya kepadamu apakah dia pernah berlaku curang, kamu jawab tidak pernah. Dan memang begitulah para Rasul tidak mungkin curang.

Dan aku juga sudah bertanya kepadamu apa yang diperintahkannya kepada kalian, kamu jawab dia memerintahkan kalian untuk menyembah Allah dengan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun, dan melarang kalian menyembah berhala, dia juga memerintahkan kalian untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, berkata jujur, saling memaafkan dan menyambung silaturrahim.

Seandainya semua apa yang kamu katakan ini benar, pasti dia akan menguasai kerajaan yang ada di bawah kakiku ini. Sungguh aku telah menduga bahwa dia tidak ada di antara kalian sekarang ini. Seandainya aku tahu jalan untuk bisa menemuinya, tentu aku akan berusaha keras menemuinya hingga bila aku sudah berada di sisinya pasti aku akan basuh kedua kakinya.

Kemudian Heraclius meminta surat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang dibawa oleh Dihyah untuk para Penguasa Negeri Bashrah. Diberikannya surat itu kepada Heraclius, maka dibacanya dan isinya berbunyi, “Bismillahir rahmanir rahim. Dari Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya untuk Heraclius. Penguasa Romawi, Keselamatan bagi siapa yang mengikuti petunjuk. Kemudian daripada itu, aku mengajakmu dengan seruan Islam; masuk Islam-lah kamu, maka kamu akan selamat, Allah akan memberi pahala kepadamu dua kali. Namun jika kamu berpaling, maka kamu menanggung dosa rakyat kamu, dan: Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Rabb selain Allah”. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”

Abu Sufyan menuturkan, “Setelah Heraclius menyampaikan apa yang dikatakannya dan selesai membaca surat tersebut, terjadilah hiruk-pikuk dan suara-suara ribut, sehingga mengusir kami. Aku berkata kepada teman-temanku setelah kami diusir keluar, “Sungguh dia telah diajak kepada urusan anak Abu Kabsyah. Heraclius mengkhawatirkan kerajaan Romawi.” Pada masa itupun aku juga khawatir bahwa Muhammad akan berjaya, sampai akhirnya (perasaan itu hilang setelah) Allah memasukkan aku ke dalam Islam. Dan adalah Ibnu An Nazhur, seorang Pembesar Iliya’ dan Heraclius adalah seorang uskup agama Nashrani, dia menceritakan bahwa pada suatu hari ketika Heraclius mengunjungi Iliya’ dia sangat gelisah, berkata sebagian komandan perangnya, “Sungguh kami mengingkari keadaanmu.”

Selanjutnya kata Ibnu Nazhhur, “Heraclius adalah seorang ahli nujum yang selalu memperhatikan perjalanan bintang-bintang. Dia pernah menjawab pertanyaan para pendeta yang bertanya kepadanya, “Pada suatu malam ketika saya mengamati perjalanan bintang-bintang, saya melihat raja Khitan telah lahir, siapakah di antara umat ini yang dikhitan?”

Jawab para pendeta, “Yang berkhitan hanyalah orang-orang Yahudi, janganlah anda risau karena orang-orang Yahudi itu. Perintahkan saja ke seluruh negeri dalam kerajaan anda, supaya orang-orang Yahudi di negeri tersebut di bunuh.” Ketika itu dihadapkan kepada Heraclius seorang utusan raja Bani Ghasssan untuk menceritakan perihal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, setelah orang itu selesai bercerita, lalu Heraclius memerintahkan agar dia diperiksa, apakah dia berkhitan ataukah tidak. Seusai di periksa, ternyata memang dia berkhitan. Lalu di beritahukan orang kepada Heraclius. Heraclius bertanya kepada orang tersebut tentang orang-orang Arab yang lainnya, dikhitankah mereka ataukah tidak?”

Dia menjawab, “Orang Arab itu dikhitan semuanya.” Heraclius berkata, ‘inilah raja umat, sesungguhnya dia telah terlahir.” Kemudian Heraclius berkirim surat kepada seorang sahabatnya di Roma yang ilmunya setara dengan Heraclisu (untuk menceritakan perihal kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam). Sementara itu, ia meneruskan perjalanannya ke negeri Himsha, tetapi sebelum tiba di Himsha, balasan surat dari sahabatnya itu telah tiba terlebih dahulu. Sahabatnya itu menyetujui pendapat Heraclius bahwa Muhammad telah lahir dan bahwa beliau memang seorang Nabi.

Heraclius lalu mengundang para pembesar Roma supaya datang ke tempatnya di Himsha. Setelah semuanya hadir dalam majlisnya, Heraclius memerintahkan supaya mengunci semua pintu. Kemudian dia berkata, ‘Wahai bangsa Rum, maukah anda semua beroleh kemenangan dan kemajuan yang gilang gemilang, sedangkan kerajaan tetap utuh di tangan kita? Kalau mau, akuilah Muhammad sebagai Nabi!.”

Mendengar ucapan itu, mereka lari bagaikan keledai liar, padahal semua pintu telah terkunci. Melihat keadaan yang demikian, Heraclius jadi putus harapan yang mereka akan beriman (percaya kepada kenabian Muhammad). Lalu diperintahkannya semuanya untuk kembali ke tempatnya masing-masing seraya berkata, “Sesungguhnya saya mengucapkan perkataan tadi, hanyalah sekedar menguji keteguhan hati anda semua. Kini saya telah melihat keteguhan itu.” Lalu mereka sujud di hadapan Heraclius dan mereka senang kepadanya. Demikianlah akhir kisah Heraclius. Telah di riwayatkan oleh Shalih bin Kaisan dan Yunus dan Ma’mar dari Az Zuhri. (HR. Bukhari)

(R02/P2)

Sumber: Ar Rasul, karya Said Hawwa

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.