Oleh Bahron Ansori, jurnalis MINA
Pengakuan Kejujuran Rasul
Tatkala Abu Talib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam, ia memanggil kemenakannya – yang ketika itu sudah berumur duapuluh lima tahun. “Anakku,” kata Abu Talib, “aku bukan orang berpunya. Keadaan makin menekan kita juga. Aku mendengar, bahwa Khadijah mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi aku tidak setuju kalau akan mendapat upah semacam itu juga. Setujukah kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?”
“Terserah paman,” jawab Muhammad. Abu Talibpun pergi mengunjungi Khadijah, “Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?” tanya Abu Talib. “Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta Tapi buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor.”
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
“Kalau permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak kusukai, akan kukabulkan, apalagi buat orang yang dekat dan kusukai,” jawab Khadijah.
Kembalilah sang paman kepada kemenakannya dengan menceritakan peristiwa itu. “Ini adalah rejeki yang dilimpahkan Tuhan kepadamu,” katanya.
Setelah mendapat nasehat paman-pamannya Muhammad pergi dengan Maisara, budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir kafilah itupun berangkat menuju Syam, dengan melalui Wadi’l-Qura, Madyan dan Diar Thamud serta daerah-daerah yang dulu pernah dilalui Muhammad dengan pamannya Abu Talib tatkala umurnya baru duabelas tahun. (Sirah Muhammad Husain Haikal)
Ibnu Ishaq berkata, “Khadiah binti Khuwailid adalah seorang saudagar wanita keturunan bangsawan dan kaya raya. Dia mempekerjakan tenaga laki-laki dan melakukan sistem bagi hasil terhadap harta (modal) tersebut sebagai keuntungan untuk mereka nantinya. Kabilah Quraisy dikenal sebagai kaum pedagang handal.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Tatkala sampai ke telinga Khadijah perihal kejujuran bicara, amanah dan akhlak Rasulullah yang mulia, dia mengutus seseorang untuk menemuinya dan menawarkan kepadanya untuk memperdagangkan harta miliknya tersebut ke negeri Syam dengan imbalan paling istimewa yang tidak pernah diberikan kepada para pedagang lainnya, dengan didampingi seorang budak laki-laki milik Khadijah bernama Maisarah. Beliau menerima tawaran tersebut dan berangkat dengan barang-barang dagangan Khadijah bersama budak tersebut hingga sampai di negeri Syam.” (Sirah Shafiyurrahman Al Mubarakfuri)
Pengakuan Abu Jahal
Abu Jahal pernah berkata,”Wahai Muhammad! Sesungguhnya kami tidak pernah mendustakanmu akan tetapi kami mendustakan apa yang engkau bawa.” Lalu turunlah ayat,”Sebenarnya mereka bukan mendustakanmu, tetapi orang-orang yang zhalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.”(Qs. Al An’am:33)(Siroh Shafiyurrahman Al Mubarakfuri)
Pengakuan Abdullah bin Salam
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Pada tahun 622 Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meninggalkan Mekkah menuju Yastrib. Ketika sampai di Yastrib dan berhenti di Quba, Seseorang dengan tergesa-gesa memasuki kota, berseru mengabarkan kedatangan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Saat itu saya sedang mengerjakan sesuatu diatas pohon kurma. Bibi saya Khalidah binti al-Harith sedang duduk dibawah pohon. Begitu mendengar kabar itu, saya berteriak, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Waktu bibi saya mendengar teriakan takbir saya itu, dia mengecam “Semoga Tuhan menyusahkan kamu. Demi Tuhan kalau seandainya yang kamu dengar itu berita kedatangan Musa pasti kamu tidak akan sesenang itu.”
“Bibi, Dia itu sungguh utusan Tuhan. Saudara Musa dan mengikuti agamanya, dia diutus untuk misi yang sama dengan Musa.” Dia terdiam lama kemudian berkata, “Apakah dia itu nabi yang pernah kamu katakan pada kami yang akan membenarkan kebenaran dakwah para nabi terdahulu? dan menggenapi firman Tuhan?” Jawab saya, “Ya”.
Tanpa ragu-ragu atau menunda saya pergi untuk menemui nabi. Saya melihat kerumunan orang banyak di pintu rumahnya, saya lewati kerumunan itu hingga berada didekatnya. Ucapan pertama yang saya dengar darinya, “Wahai saudara-saudara sekalian, tebarkan salam, beri makan mereka yang kelaparan, dirikanlah salat malam hari saat orang terlelap, maka kalian akan masuk surga dalam damai.”
Saya menghampiri dia, dari dekat mengamati dirinya dengan seksama dan diyakinkan oleh wajahnya bukanlah seorang pendusta, lalu saya mendekatinya dan menyatakan keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah. Nabi menatap saya dan bertanya, “Siapa namamu?” Jawab saya, “Al Husayn ibn Sailam.”
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
“Sekarang namamu diganti jadi Abdullah bin Salam,” katanya, memberikan nama baru buat saya. “Ya saya setuju, Abdullah bin Salam (memang seharusnya begitu). Demi Dia yang telah mengutus engkau dalam kebenaran, saya tidak berniat memiliki nama lain setelah hari ini.” Saya pulang kerumah dan memperkenalkan Islam kepada istri, anak-anak dan semua orang di rumah termasuk bibi Khalidah yang sudah lanjut usia tapi saya meminta mereka menyembunyikan ke-Islaman kami dari orang-orang Yahudi sampai saya mengizinkan dan mereka setuju.
Kesaksian Utbah Ketika Menemui Sahabat Sahabatnya
lbnu Ishaq berkata, “Setelah itu, Utbah pulang menemui sahabat-sahabatnya. Sebagian di antara mereka berkata kepada sebagian yang lain, ‘Kami bersumpah dengan asma Allah, sungguh, Abu Al-Walid datang ke tempat kalian dengan wajah yang berbeda dengan wajah ketika ia berangkat.’
Ketika Utbah telah duduk, mereka berkata kepadanya, ‘Apa yang ada dibelakangmu, wahai Abu Al-Walid?’ Utbah menjawab, ‘Demi Allah, sungguh aku baru saja mendengar perkataan yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Demi Allah, perkataan tersebut bukan syair. Bukan sihir. Bukan dukun, “Hai orang-orang Quraisy, taatlah kepadaku, serahkan persoalan Quraisy kepadaku, dan biarkan orang tersebut (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) dan apa yang ia bawa, dan tinggalkan dia!”
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Demi Allah, ucapannya yang aku dengar tadi pada suatu saat akan menjadi berita besar. Jika saja ucapannya tersebut dimiliki orang-orang Arab, sungguh mereka sudah merasa cukup dengannya tanpa kalian. Jika ia berhasil mengalahkan semua orang-orang Arab, maka kekuasaannya ialah kekuasaan kalian,dan kejayaannya adalah kejayaan kalian, kemudian kalian menjadi manusia yang paling berbahagia dengannya.’ Mereka berkata, ‘Demi Allah, dia telah menyihirmu dengan mulutnya.’ Utbah berkata, ‘Ini pendapatku tentang dia. Oleh karena itu, kerjakan apa saja yang kalian inginkan!”
Ya, begitulah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, ia tidak pernah berdusta. “Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami potong dia pada tangan kanannya. Kemudian sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu.” (Qs. al-Haaqqah : 44-47) (Sirah Al Buthy)
Bagaimana dengan kita hari ini? Seringkali kita sengaja berdusta karena hanya untuk membuat orang lain tertawa.(R02/P001)
Sumber: Ar Rasul, karya Said Hawwa
Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)