Lebih Sedekade Perang, Benghazi Jadi Kota Kacau Balau

Sebuah tanda nama kota digambarkan di depan bangunan yang dilanda perang di kota Benghazi, Libya timur, pada 15 Oktober 2021. (Photo by Abdullah DOMA / AFP) (Photo by ABDULLAH DOMA/AFP via Getty Images)

, MINA – Lebih dari satu dekade perang di , kota kedua Benghazi, telah berkembang hingga dua kali ukurannya, menciptakan (perluasan perkotaan) yang tidak terencana dan kacau.

Pertempuran telah menggusur warga yang tak terhitung jumlahnya, memaksa banyak orang untuk membangun rumah baru tanpa izin di lingkungan yang tidak terencana yang seringkali kekurangan infrastruktur, dari jalan yang layak hingga sekolah atau sistem saluran pembuangan.

Ketika negara itu mencoba untuk menstabilkan dan membangun kembali, pihak berwenang berusaha keras untuk mengatasi warisan bertahun-tahun tanpa perencanaan kota.

“Kami harus meninggalkan rumah kami di pusat kota karena perang,” kata seorang warga Benghazi, Jalal Al-Gotrani, seorang pegawai Kementerian Kesehatan di kota pesisir timur laut itu, demikian Arab News melaporkan.

“Ketika pertempuran berhenti, kami mendapati rumah kami hancur dan tidak dapat dihuni. Kami tidak mampu membayar sewa, jadi kami harus membangun rumah kecil di lingkungan yang tidak direncanakan.”

Benghazi adalah pusat pemberontakan 2011 yang menggulingkan penguasa lama Muammar Qaddafi, yang memicu kekacauan tanpa hukum selama bertahun-tahun di Libya.

Kota itu adalah lokasi serangan ekstremis tahun 2012 yang menewaskan Duta Besar AS Christopher Stevens, dan terjadi pertempuran yang lebih sengit antara tahun 2014 dan 2017 yang menghancurkan distrik-distrik besar.

Al-Gotrani, yang menghidupi keluarga bersama enam anak dengan gaji hanya $130 per bulan, mengatakan bahwa sejauh ini “belum ada rencana negara dan tidak ada bantuan untuk membangun kembali daerah yang hancur.”

Akibatnya, seluruh lingkungan informal bermunculan di daerah-daerah terpencil yang dikategorikan untuk pertanian, tanpa izin bangunan dan tanpa rencana induk.

“Berhenti membangun dan hubungi departemen perencanaan!” Demikian bunyi pemberitahuan di pagar salah satu situs bangunan tidak resmi di pinggiran Benghazi.

Negara menghadapi lonjakan pembangunan gedung yang tidak diatur yang “tidak dapat mengimbanginya,” kata Abu Bakr Al-Ghawi, Menteri Perumahan di pemerintah persatuan Libya, yang mengambil alih kekuasaan pada bulan Maret.

Kepala Perencanaan Kota Osama Al-Kazza memperingatkan, fenomena tersebut menciptakan distrik yang kekurangan jalan, ruang hijau dan sekolah serta tidak terhubung ke jaringan air dan saluran pembuangan yang vital.

Kota timur telah membengkak dari 32.000 hektar menjadi 64.000 hektar sejak rencana induk perkotaan terakhir pada tahun 2009, sebagian besar karena bangunan tanpa izin yang sekarang membentuk setengah kota, katanya.

“Lebih dari 50.000 unit rumah berada di luar rencana public,” kata Al-Kazza. “Pembangunan berjalan lebih cepat dari perencanaan.”

Ibu kota Libya, Tripoli, sekitar 1.000 km ke barat, juga melihat seluruh distrik muncul tanpa satu izin bangunan, untuk alasan yang sama.

Pertempuran selama setahun antara Jenderal Khalifa Haftar yang berbasis di timur dan kelompok bersenjata yang berbasis di Tripoli menyebabkan kerusakan besar di pinggiran ibu kota, menggusur ribuan orang dan menciptakan krisis perumahan.

Setahun relatif damai sejak gencatan senjata Oktober 2020, dengan upaya yang dipimpin PBB sedang dilakukan untuk membawa perdamaian yang lebih permanen, telah memusatkan pikiran pada pekerjaan rekonstruksi besar-besaran.

Ghawi mengatakan, pemerintah bekerja sama dengan konsultan Libya dan asing untuk menyusun strategi pembangunan perkotaan nasional yang baru, yang ketiga dalam sejarah negara itu.

Yang terakhir, pada tahun 2009, tidak pernah dilaksanakan karena perang dan tahun-tahun pelanggaran hukum setelah penggulingan Qaddafi.

Namun, perjuangan untuk menegakkan undang-undang perencanaan tanpa menyediakan perumahan alternatif memiliki konsekuensi kemanusiaan.

Dalam beberapa pekan terakhir, pihak berwenang di Tripoli telah menghancurkan serangkaian bangunan yang dibangun sejak jatuhnya Qaddafi, termasuk kafe, restoran, dan rumah.

Namun dengan menghancurkan gedung-gedung tanpa izin tanpa memberikan alternatif kepada penghuninya, pihak berwenang berisiko membuat beberapa keluarga, yang sudah mengungsi akibat perang, kehilangan tempat tinggal untuk kedua kalinya. (T/RI-1/P1

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.