Lelah yang Dicintai Allah (bag. 1)

Oleh: Bahron Ansori, wartawan MINA

Setiap manusia pasti pernah mengalami rasa , terlebih jika baru saja melakukan pekerjaan yang cukup menguras tenaga dan pikiran. Namun, tahukah kita, kelelahan yang diterima dan dirasakan itu akan Subhanahu Wa Ta’ala selama seseorang itu merasa ikhlas menerimanya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda,

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, atau penyakit, atau kehawatiran, atau kesedihan, atau gangguan, bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” (HR. Al-Bukhari no. 5642 dan Muslim no. 2573).

Imam Al-‘Aini rahimahullah Menjelaskan,

قوله ” من نصب” أي من تعب وزنه ومعناه.

“Makna “Nashab” adalah rasa lelah (capek), wazannya (cetakan bahasa Arab) dan maknanya (sama).” (‘Umdatul Qari’ 21/209)

Setidaknya ada beberapa kelelahan yang Allah Ta’ala cintai, antara lain sebagai berikut.

Pertama, lelah saat berjihad di jalan Allah. Pengertian jihad tentu saja secara bahasa bukan sekedar mengangkat senjata, tapi juga bisa bermakna bersungguh-sungguh dalam mengerjakan satu amal kebaikan. Jihad, menjadi puncak dari segala amalan. Di jaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam jihad yang dilakukan para sahabat adalah mengangkat senjata untuk mengalahkan segala bentuk kekafiran kaum Quraisy.

Allah Ta’ala sangat mengapresiasi setiap Muslim yang berlelah-lelah melakukan jihad di jalan-Nya. Seperti yang tersirat di dalam al Qur’an surat at Taubah (9) ayat 111, yang berbunyi,

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ  (111)

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (Qs. At Taubah: 111).

Ayat ini menerangkan bahwa Allah Ta’ala akan membeli diri dan harta benda orang beriman dari mereka sendiri yang dibayar-Nya dengan surga. “Allah membalas segala perjuangan dan pengorbanan yang telah diberikan orang beriman, baik jiwa raga maupun harta benda, dengan balasan yang sebaik-baiknya, yaitu kenikmatan dan kebahagiaan di surga.

Sebuah ungkapan yang sangat indah. Bahkan menjadi motivasi setiap Muslim untuk berjihad, karena menggambarkan suatu ikatan jual beli yang sangat menguntungkan setiap pelakunya. Di samping itu jual beli yang terjadi antara Allah dan kaum Muslimin ini tak akan pernah dibatalkan. Tidaklah seperti ikatan jual beli yang terjadi antara sesama manusia yang kadang-kadang dapat dibatalkan.

Kedua, lelah dalam berdakwah (mengajak manusia kepada kebaikan). Setiap Muslim yang mengajak orang lain untuk melakukan kebaikan, maka Allah akan membalas usahanya itu. Bahkan, kelelahan yang dialami seorang mukmin untuk mengajak orang lain berbuat kebaikan, akan menjadi jalan tumbuhnya cinta Allah kepadanya. Hal ini seperti tertulis dalam firman Allah Ta’ala Qur’an surat Fush-Shilat (41) ayat 33.

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya, daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri’.” (Qs. 41: 33).

Ayat ini mengandung makna yang umum mencakup setiap orang yang menyeru manusia kepada kebaikan, sedangkan dia sendiri mengerja­kannya dengan penuh konsekuen, dan orang yang paling utama dalam hal ini adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam. Demikianlah menurut pendapat Muhammad ibnu Sirin, As-Saddi, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam.

Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud adalah para juru azan yang saleh, seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim melalui salah satu hadisnya yang mengatakan,

“الْمُؤَذِّنُونَ أَطْوَلُ النَّاسِ أَعْنَاقًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ”

Juru adzan adalah orang yang paling panjang lehernya (terhormat) kelak di hari kiamat. Dan di dalam kitab sunan disebutkan melalui salah satu hadisnya yang berpredikat marfu’:

“الْإِمَامُ ضَامِنٌ، وَالْمُؤَذِّنُ مُؤْتَمَنٌ، فَأَرْشَدَ اللَّهُ الْأَئِمَّةَ، وَغَفَرَ لِلْمُؤَذِّنِينَ”

Imam adalah penjamin, dan juru adzan adalah orang yang dipercaya. Maka Allah memberi petunjuk kepada para imam, dan memberi ampun bagi para juru adzan.

Tulisan ini insya Allah bersambung ke bagian selanjutnya dengan judul yang sama, “Lelah yang Dicintai Allah”. Semoga bisa menjadi motivasi bagi setiap Muslim untuk jangan pernah bosan merasakan kelelahan itu. Sebab ada satu rahasia besar dibalik rasa lelah yang dialami oleh setiap mukmin, yakni datang dan tumbuhnya rasa cinta Allah Ta’ala kepadanya.

Jadi, jangan merasa sedih jika kita merasakan kelelahan itu. Terima kelelahan itu dengan rasa penuh keikhlasan. Sebab, kelelahan dalam melakukan kebaikan jika diiringi dengan rasa ikhlas akan mendatangkan cinta Allah Ta’ala, wallahua’lam. (A/RS3/R01)

bersambung…

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.