Oleh : Rana Abu Abdurrahman*
Iman adalah keyakinan dalam hati yang diucapkan atau dilafadzkan dengan lisan dan diaplikasikan dengan amal perbuatan. Ihtisab berarti hitungan, koreksi, penilaian. Ihtisab adalah suatu koreksi diri dan penilaian sendiri sehingga akan membawa pada pengharapan terhadap ridho Allah Subhanahu Wa Ta’ala Semata.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
Baca Juga: Ahlul Qur’an, Pelita Umat dalam Cahaya Ilahi
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini…” (QS. Al-Kahfi; 18:28)
Juga Nabi Muhammad Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ
Dari Anas, dari Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam, beliau bersabda : “Tiga hal, barangsiapa memilikinya maka ia akan merasakan manisnya iman. (yaitu) menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selainnya, mencintai seseorang semata-mata karena Allah, dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api neraka.” (HR. Bukhari).
Baca Juga: Menikah Itu Ibadah, Bukan Ajang Pamer Mahar
Rasulullah memberitahukan bahwa iman memiliki rasa nikmat, maka buah dari keridhaan adalah mencicipi lezatnya iman.
Sedangkan buah dari ihtisab adalah kesabaran, ketabahan, dan kemampuan menahan diri dengan perhitungan yang matang. Maka Ihtisab akan membawa seseorang untuk bertindak benar sesuai apa yang Allah perintahkan dan Rasulullah amalkan.
Buah iman dan ihtisab ini akan tercermin pada diri seorang hamba yang hanya senantiasa mengharapkan ridho dan ampunan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Suatu ketika, Abdullah ibnu Ummi Maktum –seorang sahabat yang buta- keluar dari rumahnya. Suasana masih sangat gelap. Hujan yang turun membuat padang pasir yang membentang antara rumahnya dan masjid berubah menjadi medan lumpur. Angin gurun terasa begitu menusuk. Abdullah masih tertatih bersama sebuah tongkat yang senantiasa memandunya. Pagi itu, ia ingin mengumandangkan adzan subuh di masjid untuk menyeru manusia yang sedang terlelap agar bangkit menunaikan shalat subuh berjamaah.
Baca Juga: Korupsi, Dosa dan Bahayanya dalam Islam
Di tengah perjalanan, Abdullah terjatuh dan bajunya kotor terkena lumpur. Ia memutuskan untuk kembali ke rumah, mengganti pakaian dan melanjutkan perjalanan. Hal itu ia lakukan dengan ikhlas dan sabar. Pada perjalanan kedua, ia kembali terjatuh. Dan untuk kedua kalinya ia kembali ke rumah, mengganti pakaian dan berangkat ke masjid. Kali ini ia lebih berhati-hati, agar tak terjatuh lagi.
Beberapa saat sebelum sampai ke masjid, ia tersandung, hampir saja terjatuh lagi. Tetapi seseorang telah menolongnya kali ini. Ternyata dua tangan menopangnya dari belakang. Kemudian orang asing itu memapahnya ke gerbang masjid.
Tiba di gerbang, Abdullah mengajak orang yang menolongnya tadi untuk ikut melakukan shalat berjamaah. Tapi orang itu menolak dan hendak segera pergi. Hal itu membuat Abdullah heran.
“Apakah orang itu bukan Muslim ? Lantas mengapa ia menolongku ?” gumam Abdullah. Selagi derap langkah orang itu masih terdengar, Abdullah segera memanggilnya kembali dan bertanya, “Siapa engkau ? Mengapa tidak mau ikut shalat bersamaku ?”
Baca Juga: Doa, Usaha, dan Keajaiban: Rahasia Hidup Berkah
“Abdullah, aku adalah syaitan yang datang untuk menggodamu. Sesungguhnya akulah yang mendorongmu hingga terjatuh pada kali pertama tadi. Aku berharap engkau akan mengurungkan niatmu untuk shalat subuh di Masjid. Namun, ketika engkau kembali ke rumah untuk mengganti pakaian dan melanjutkan perjalanan, Allah melihat keteguhan dan ketabahanmu. Maka Allah telah mengampuni seluruh dosamu. Kemudian aku pun kembali mendorongmu untuk kali yang kedua, agar engkau berputus asa. Ternyata engkau masih tabah; kembali ke rumah, mengganti pakaian dan melanjutkan perjalanan. Saat itulah Allah mengampuni dosa seluruh keluargamu. Hal ini justru membuatku putus asa. Maka saat tahu engkau akan terjatuh di kali yang ke tiga, sungguh itu bukan ulahku. Maka, aku pun membantumu dan mengantarmu ke sini. Aku takut Allah akan mengampuni dosa-dosa penghuni desa ini karena ketabahanmu. Aku tidak ingin usahaku mengelabui mereka selama ini menjadi sia-sia karena shalat subuh yang engkau kerjakan. ”
Lalu orang itu pun pergi meninggalkan Abdullah yang sedang dalam keheranan di depan pintu masjid. “Alhamdulillah Yang telah menyelamatkan aku dari syaitan yang terkutuk,” doa Abdullah saat bayang syaitan itu hilang di keremangan malam.
Semoga kita mampu merasakan lezatnya iman dan ihtisab sebagaimana Abdullah Ibnu Ummi Maktum, Muazzin kedua dalam sejarah Islam setelah Bilal itu telah menikmatinya. Wallahu ‘Alam. (P02)
*Redaktur Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Mengapa Islam Menekankan Hidup Berjama’ah?