Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

LGBT: Sebuah Isu untuk Tujuan Besar (Bagian 1)

Rana Setiawan - Senin, 15 Februari 2016 - 00:11 WIB

Senin, 15 Februari 2016 - 00:11 WIB

404 Views

Shamsi Ali (Foto: Istimewa)
Imam <a href=

Shamsi Ali (Foto: Arsip)" width="204" height="300" /> Imam Shamsi Ali (Foto: Arsip)

Oleh Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation*

Akhir-akhir ini tanah air tercinta dilanda demam. Biasa demam sebuah isu besar. Dan semoga demam itu tidak menipu perhatian umat. Bahwa demam itu adalah sebuah “tanda” dari akar permasalahan yang lebih akut.

Dengan demikian jangan sampai energi dan perhatian terkuras menangani tanda atau “symptom” (indikator), lalu terlupakan isu yang sesungguhya ingin dikembangkan.

LGBT di Dunia Barat

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan

Di dunia barat LGBT sudah demikian lama digemborkan, dan bahkan menjadi bagian dari pembahasan HAM dan kebebasan (Freedom & Human Rights). Kemenangan penggagas LGBT salah satunya adalah keberhasilan mereka menjadikan isu ini sebagai isu HAM dan Freedom.

Artinya menentang LGBT adalah penentangan terhadap hak asasi dan kebebasan manusia itu sendiri.

Konsekwensinya adalah politisi atau agamawan atau siapa pun yang punya pendapat yang berlawanan dengan para pendukung LGBT akan dianggap menentang HAM dan kebebasan, bahkan dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi dan modernitas.

Lebih jauh lagi, menawarkan solusi atau apa yang biasa disebut “counseling” terhadap pengidap kecenderungan LGBT akan dianggap peperangan terhadap HAM dan kebebasan. Di sebagian negara bagian bahkan menawarkan counseling dapat dianggap kriminal.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya

Di Amerika sendiri dukungan terhadap LGBT ini meningkat drastis setelah menjadi bahasan hangat para politisi. Puncaknya ketika dua partai besar Amerika berbeda pendapat terhadap isu ini. Demokrat mendukung sepenuhnya dan Republikans, walau tidak sepenuhnya menilak LGBT, tapi menolak perkawinan sejenis.

Puncak dukungan kemudian terjadi ketika komunitas Hollywood turun tangan. Mereka secara masif mendukung LGBT, dan bahkan kampanye perkawinan sejenis. Dari statement, film-film, bahkan dukungan finansial mengalir ke para politisi yang mendukung LGBT.

Dukungan itu kemudian terakumulasi dalam bentuk lobby-lobby, baik di White House maupun Kongres, untuk meloloskan agenda-agenda mereka. Keberhasilan demi keberhasilan mereka raih, mulai dari tingkatan negara bagian (states) hingga puncaknya ketika mereka memenangkan kasus mereka di pengadilan tinggi Amerika (Supreme Court) beberapa bulan lalu.

Dengan kemenangan mereka di Supreme Court menjadikan Amerika, dan beberapa negara Eropa lainnya, menjadi negara yang resmi menghalalkan perkawinan sejenis (same sex marriage).

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Agenda Besar

Ada satu hal yang sering kita lupakan. Bahwa di dunia kita sekarang sedang terjadi pertarungan sengit (qitaal). Pertarungan itu bukan antara Muslim dan non Muslim, atau antara Sunni dan Syiah, apalagi antara Muhammadiyah dan NU, atau Syafi dan Hambali, Sufi dan Wahabi.

Sesungguhnya yang terjadi saat ini adalah peperangan sengit yang sedang terjadi antara kekuatan agama dan moralitas dan kekuatan sekuler dan anti agama. A war of secular and anti religious forces against religious and moral forces, dalam bahasa seorang ahli.

Kita ingat bahwa sejak beberapa dekade terakhir Tuhan atau agama kembali memainkan peranan krusial di kehidupan publik manusia. Para pemain atau aktor dan para pengambil kebijakan kerap kali kembali melibatkan agama, atau tepatnya pimpinan agama, dalam pengambilan keputusan untuk urusan publik.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Terakhir bahkan Sekejn PBB berencana untuk membentuk “religious advisory council” setelah sekian lama ada ECOSOC atau Economic Social Council. Presiden Amerika, bahkan di masa Bush membentuk apa yang disebut “Religious Initiative” untuk memberikan masukan-masukan kepada presiden dalam mengambil keputusan publiknya.

Kenyataan ini menjadikan kekuatan sekuler dan anti agama semakin agresif. Mereka yang pernah mendeklarasikan kematian tuhan (God is dead) semakin terusik dengan perkembangan agama dan semakin meluasnya peranan agama dalam kehidupan publik.

Seujurnya bahkan religiuisasi (mengagamakan) terorisme dan perang juga menjadi bagian dari monsterisasi agama. Dengan menculik agama sebagai sumber teror dan peperangan menjadikan agama sebagai momok yang semakin menakutkan.

Dengan demikian, agresifitas pengembangan LGBT harus dilihat dari perspektif yang lebih besar. Bersikukuh pada isu LGBT bisa jadi menjadikan kita terlupa akan agenda yang lebih besar. Yaitu memerangi agama dan moralitas dalam kehidupan manusia. Yang pada akhirnya memang bertujuan untuk membangun kehidupan yang “laa diiniyah wa laa khuluqiyah” (tanpa agama dan akhlak).

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Komprehensif Approach

Untuk menghadapi gencarnya kampanye dukungan terhadap LGBT diperlukan pendekatan yang menyeluruh. Jangan terpusat pada satu isu. Sebab boleh jadi kita masih sibuk dengan satu isu, mereka sudah mengembangkan ke isu lain dalam rangka agenda besar tadi.

Dimulai dari pembenahan sistim kekeluargaan, pendidikan anak, sistim kehidupan sosial, hingga kepada pengembangan kultur yang berasas religi dan moral. Semua itu tentunya memerlukan dukungan politik dan kekuatan finansial.

Oleh karenanya para guru, asatidz, dan para pemain di sektor politik harus bergandengan tangan untuk membangun strategi yang pas dan solid. Tugas ini bukan sekedar tugas sepihak dari tatanan kebangsaan. Tapi tugas kolektif dari seluruh komponen bangsa.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Jangan Terperangkap

Sekali lagi tujuan besar dari gerakan massif itu adalah mematikan peranan agama dan moralitas dalam kehidupan. Oleh karenanya, jangan sampai dalam upaya menangkal lalu yang terjadi adalah justifikasi.

Maksudnya metode penangkalan terhadap LGBT itu jangan sampai menjadi justifikasi bahwa agama memang tidak sejalan dengan nilai-nilai peradaban modern (values of modern civilization). Dengan metode yang kurang tepat jangan sampai menjadi justifikasi bahwa agama itu memang benar anti HAM dan kebebasan.

Oleh karenanya perlu perumusan metode yang cerdik, manusia, tapi mengena dan efektif. Dan ini memerlukan keluasan visi, ketajaman analisa, dan kejelian dalam melihat peluang atau juga tantangan yang akan ditimbulkannya.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Iqra’ bismi Rabbik“.(R05/R02)

 

New York, 14 Februari 2016

*) Shamsi Ali adalah imam di Islamic Center of New York dan direktur Jamaica Muslim Center, sebuah yayasan dan masjid di kawasan timur New York, Amerika Serikat, yang dikelola komunitas Muslim asal Asia Selatan. Shamsi Ali aktif dalam kegiatan dakwah Islam dan komunikasi antaragama di Amerika Serikat (terutama pantai timur).

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Khadijah
Amerika
Palestina
Kolom
MINA Health
Kolom